Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIUH rendah suara pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta, dan pasar konvensional lain yang mengeluhkan sepinya penjualan direspons pemerintah dengan menggelar rapat terbatas pada Senin, 25 September lalu. Presiden Joko Widodo memanggil Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan serta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agenda rapat membahas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan ini menyorot peran media sosial dalam transaksi jual-beli secara online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Zulkifli merevisi peraturan tersebut dua hari seusai rapat terbatas itu. Isinya memisahkan media sosial sebagai platform komunikasi dan platform berdagang. TikTok Shop adalah media sosial yang paling populer untuk berniaga karena menyediakan fasilitas berjualan secara langsung.
Peraturan baru itu juga mengatur apa saja barang impor yang boleh dijual di dalam negeri melalui social commerce tersebut serta persamaan perlakuan terhadap barang impor dan barang dalam negeri, juga membatasi produk impor yang bisa dijual di e-commerce hanya yang berharga di atas US$ 100.
Pemerintah memberikan tenggat satu pekan kepada social commerce seperti TikTok Shop untuk bermigrasi ke platform e-commerce lain. “Prinsipnya kami tidak melarang, tapi mengatur,” kata Teten Masduki kepada Abdul Manan dan Aisha Shaidra dari Tempo di Jakarta, Kamis, 28 September lalu.
Menurut Teten, pemerintah sudah mencium bahaya platform social commerce seperti TikTok Shop bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Salah satunya adalah predatory pricing melalui penentuan harga yang sangat murah sehingga mengalahkan harga barang UMKM.
Jadi pedagang sudah tidak bisa berjualan di TikTok?
Kami tidak melarang TikTok. Kami mengatur. Menurut laporan, ada 2 juta seller-nya. “Oh, kami sekarang sudah tidak bisa berjualan, bagaimana pemerintah bertanggung jawab?” Saya ditanyai wartawan, “Apakah pemerintah sudah menyiapkan uang kompensasi bagi seller yang sekarang tidak bisa lagi berjualan di TikTok Shop?” Saya bilang, “Memangnya mereka berjualan hanya di TikTok Shop? Para seller ini kan berjualan di banyak tempat juga.”
Apa regulasi ini tak menghambat e-commerce?
Kami enggak melarang. TikTok yang tadinya menyatu dengan social media kami pisah.
Apa rujukan regulasi ini?
Cina paling pesat ekonomi digitalnya, menyumbang 41,5 persen ke produk domestik bruto 2020. Itu naik lima kali lipat sejak 2011. Produk mereka unggul dan murah, tapi mereka juga memagari. Mereka tahu bahaya platform global ini. Ada aturan pembatasan penjualan di e-commerce dengan nilai transaksi maksimal. Produk impor yang dijual di e-commerce lintas batas harus melalui bea-cukai. Nah, kami tiru sekarang. Di Cina, produk impor wajib mematuhi regulasi penjualan produk impor, seperti sertifikasi, labeling, standar internasional (ISO). Di Indonesia, TikTok leluasa menjual barang dengan harga yang sangat murah, yang memukul daya saing produk UMKM baik di pasar online maupun offline. Di Cina, ada Antitrust Guideline for Platform Economy dan Anti-Monopoly Regulation of Digital Platform yang menghalangi platform melakukan monopoli. Di Cina sendiri enggak boleh.
Kita enggak punya aturan seketat itu?
Kita terlambat memagari pasar kita.
Dalam rapat terbatas bersama Presiden kok ada Wishnutama? Dia kan komisaris GoTo. Bukankah ada konflik kepentingan?
Dia diundang Sekretaris Kabinet sebagai ahli. Kalau saya jelaskan dari awal, ini panjang. Soalnya ini memukul semua. Bahkan nanti investasi juga akan dievaluasi. Kalau sekarang investasi bisa sampai 100 persen. Presiden mau lihat lagi semua. Makanya peraturan Menteri Perdagangan ini hendak digugat idEA (Indonesian E-Commerce Association).
Apa kepentingan GoTo?
Karena merugikan semua, mereka (idEA) mau mengajukan permohonan judicial review.
Platform e-commerce lain mengeluhkan TikTok Shop?
Enggak. Mereka keberatan terhadap pembatasan harga di atas US$ 100. Mereka mau meminta judicial review. Jadi saya digugat juga oleh semua platform. Makanya jangan curiga dulu aturan ini hanya untuk membatasi TikTok. Ini mengatur semua dan mereka keberatan dan mau gugat kami.
Omong-omong, sejak kapan pemerintah memantau TikTok Shop?
Sejak Menteri Perdagangan masih Muhammad Lutfi. Waktu itu saya sudah lapor ke Presiden soal transformasi digital yang perlu disiapkan secara matang supaya lebih terarah. Karena saya melihat perkembangannya lebih pesat di hilir, di sektor jasa perdagangan. Transformasi itu tak terjadi di hulu atau digitalisasi industri. Presiden menugasi saya menyiapkan apa saja yang perlu direformasi. Ini strategi besar. Perlu ada kebijakan nasional dan badan yang mengatur. Tapi waktu itu yang urgen saya hadapi dan menjadi tanggung jawab saya itu di e-commerce yang sudah memukul UMKM. Karena itu, usul pertama adalah revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020.
Apa yang jadi perhatian pemerintah?
Ketika muncul social commerce. Saya sudah melihat tren e-commerce, lalu social commerce, mungkin nanti game commerce, sementara peraturan Menteri Perdagangan belum mengatur semua itu.
Social commerce sudah ada waktu itu?
TikTok sudah bikin TikTok Shop. Padahal belum ada regulasinya.
Apa dampak TikTok Shop terhadap UMKM?
Produk-produk asing sudah masuk platform digital. Di TikTok Shop, Shopee, Lazada. Saya waktu itu menegur Shopee. Tapi yang lebih awal GoFood. Waktu itu GoFood beli saham dari Rebel Food India. Ketika Rebel Food makin kuat, orang berbelanja kuliner di platformnya. Nah, Rebel Food-nya akhirnya membuat dapur sendiri sehingga UMKM yang berjualan di platformnya dikeluarkan. Ini jadi masalah besar di India. Ia mau investasi, pindahin model Rebel Food ke sini. Saya melihat problem di India ini, kemudian saya khawatir kalau GoFood melakukan itu. Habis nanti sajian kuliner UMKM.
Apa yang Anda lakukan waktu itu?
Saya bicara dengan komisaris GoFood, Boy Thohir. Saya bilang kalau bisa model Rebel Food jangan dipakai di sini. Ini pasti ada dampak ekonomi, sosial untuk yang kecil-kecil. Ini bahaya. Bagaimana kalau bikin dapur bersama saja? Isu GoFood itu tidak efisien biaya logistiknya. Akhirnya sepakat bikin dapur bersama di mana para penjual makanan di GoFood bikinnya di dapur-dapur bersama itu, mendekati konsumen yang ada di berbagai area ini.
Akhirnya Rebel Food enggak jadi berinvestasi?
Model bisnis Rebel Food di India enggak jadi dipraktikkan di sini.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (kanan) menyaksikan pedagang menawarkan produk melalui layanan 'live shopping' di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, 19 September 2023/Antara/M Risyal Hidayat
Lalu mulai kapan Anda memantau TikTok Shop?
Sebelum TikTok, sudah banyak penjualan barang Cina. Waktu itu ada pakaian muslim di Shopee. Harganya murah. Kami menyebutnya predatory pricing. Saya panggil orang Shopee. Saya sampaikan, “Ini mengganggu ekonomi UMKM, menjual pakaian muslim sangat murah. Ini memukul para pengusaha konfeksi pakaian muslim dan itu UMKM semua.”
Seberapa murah barangnya?
Ada kerudung harganya Rp 1.200, sementara di dalam negeri ongkos produksinya Rp 17 ribu.
Karena barangnya dari Cina?
Iya. Ia punya produk sendiri, mungkin ambil dari UMKM di Cina, ia sendiri yang jual di platform sendiri. Kalau ia menjual produknya sendiri, algoritmanya akan mengarahkan ke produknya.
Algoritmanya akan memprioritaskan barang produk sendiri?
Pasti. Mereka punya algoritma. Saya bilang, ini akan mengancam. "Bisa atau enggak kamu keluarkan ini? Toh, kamu bisa datangin produk dari Cina yang lain, yang memang belum bisa kita bikin. Market Indonesia kan cukup besar.” Mereka setuju. Shopee cukup kooperatif. Setelah itu saya dihubungi Presiden soal ini.
Anda juga memanggil Lazada?
Enggak. Karena lintas negara cuma dua, Lazada juga ikut. Saya melihat dari situ memang perlu pengaturan platform digital ini. Jangan sampai, misalnya, platform itu menjual produknya sendiri. Ini pengaturan yang kedua. Terus, produk impor yang dijual di e-commerce itu enggak boleh predatory pricing. Setelah itu, kami merumuskan aturannya.
Konsep pengaturannya seperti apa?
Kami lihat negara lain mengatur. Soal retail online. Jadi produk impor yang lewat retail online itu langsung dari luar negeri ke konsumen. Nah, ini enggak apple to apple dengan UMKM lokal. Sebab, kalau di lokal kan harus mengurus izin edar ke Badan Pengawas Obat dan Makanan, mengurus standar nasional Indonesia (SNI). Kalau produk makanan, minuman, obat-obatan, harus ada sertifikat halal. Barang impor enggak urus.
Apa bahaya bagi konsumen? Bukankah harganya bisa lebih murah?
Belum tentu. Di negara asalnya belum tentu produk-produk itu diproduksi memakai standar, kan?
Apa pertimbangan membatasi produk impor di e-commerce di atas harga US$ 100?
Pertama, kami ingin melindungi produk UMKM dalam negeri. Presiden berpesan kepada saya, “Kalau kita sudah punya produk, bisa bikin produk itu, enggak usah impor." Kami memikirkan bagaimana cara melindunginya. Nah, hitung-hitungannya, menurut saya, kalau di atas US$ 100 cukup aman. Jadi yang kita impor itu yang bukan barang sehari-hari.
Dengan pembatasan itu otomatis tak akan ada lagi barang murah?
Berarti enggak mungkin ada lagi di Shopee penjual tas seharga Rp 2.000, skincare Rp 2.000.
Mengapa peraturan Menteri Perdagangan ini baru disahkan dua hari seusai rapat kabinet terbatas?
Saya enggak punya kewenangan. Kewenangan mengatur platform ada di Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Perdagangan, dan Menteri Keuangan. Saya pihak yang terkena dampak. Saya mengajukan permohonan perubahan peraturan, tapi enggak bergerak-gerak.
Kenapa?
Karena menterinya ganti. Banyak di pemerintahan enggak mengerti teknologi digital. Enggak mengerti teknologi digital ini enggak bisa dibiarkan liar. Kalau enggak, disrupsinya liar juga. Nah, keburu ramai kasus TikTok Shop mulai masif menyerbu pasar digital kita dengan produk impor. Saya jengkel juga. Akhirnya saya teriak, karena saya ditekan juga oleh para produsen UMKM. Mereka mengadu.
Apa aduan pedagang?
Mereka mengeluh enggak bisa berjualan di TikTok karena banyak yang di-ban, di-shadowban (dilarang diam-diam). Jadi enggak bisa bersaing, enggak laku. Di media sosial banyak usul sebaiknya pedagang di Tanah Abang didampingi supaya punya kemampuan berjualan secara online. Mereka semua sudah berjualan online. Persoalannya bukan UMKM belum pindah ke online. Persoalannya mereka tidak bisa bersaing karena produk dari luar sangat murah. Itu predatory pricing.
Teten Masduki
Tempat dan tanggal lahir:
- Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 1987
Pekerjaan:
- Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
- Koordinator Indonesia Corruption Watch
- Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
- Komisioner Ombudsman RI
- Kepala Staf Kepresidenan, 2015-2018
- Ketua Dewan Pengawas Badan Urusan Logistik, 2018-2019
- Koordinator Staf Khusus Presiden, 2018-2019
- Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2019-sekarang
Penghargaan:
- Suardi Tasrif Award, 1999
- Ramon Magsaysay Award, Filipina, 2005
Anda pernah memanggil TikTok. Apa hasilnya?
Kami juga waktu itu mempelajari Project S TikTok di Inggris. Proyeknya kira-kira begini. Jejaring sosialnya, media sosial, perdagangannya, pembayaran, transportasi, komputasi logistik berada di dalam satu platform. Inggris dalam waktu singkat dikuasai. Tapi di sana enggak ada problem UMKM. Yang dijual produk-produk consumer goods.
Di Inggris enggak jadi isu?
Enggak jadi isu. Di Amerika Serikat isu TikTok soal keamanan. Berbeda isunya.
Klarifikasi dari TikTok?
Ia bilang tidak akan melanjutkan. Itu sekitar lima bulan lalu.
Apakah ada indikasi Project S akan diterapkan di Indonesia?
Saya tahu mereka sedang mengajukan permohonan izin sistem pembayarannya. Mereka juga mau masuk ke bisnis film dan musik.
Apakah TikTok Shop beroperasi sesuai dengan regulasi?
TikTok sebagai media sosial enggak ada masalah. TikTok di sini hanya kantor perwakilan. Dalam peraturan Menteri Perdagangan itu masuknya KP3A (kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing). Sebagai media sosial, mereka hanya boleh dimanfaatkan untuk tiga hal: memenuhi kewajiban melindungi konsumen, melakukan pembinaan untuk peningkatan daya saing, dan menyelesaikan sengketa. Tidak boleh berdagang. Tidak boleh bertransaksi. Jadi, dengan berjualan, mereka melakukan praktik ilegal. Cuma, saya heran kenapa oleh Kementerian Perdagangan dibiarkan, padahal saya sudah ngomong lama.
Kenapa dibiarkan?
Itu pertanyaan saya.
Apakah regulasi ini tidak merugikan konsumen karena era barang murah berakhir?
Konsumen pasti terganggu. Mereka kan yang penting murah saja. Tapi ini yang dijual bukan barang pokok. Ini barang kebutuhan tersier. Saya kira kita bisa mengaturnya lebih tegas.
Apa kekhawatiran terbesar Anda?
Dari sisi ekonomi, yang harus diatur jangan sampai membunuh produksi dalam negeri. Karena inti ekonomi itu produksi. Kalau konsumsi sebenarnya bisa diatur dari suplai. Kalau produksi lumpuh, berarti pengangguran bertambah. Artinya, mereka yang tidak bisa bersaing dengan produk Cina adalah industri manufaktur, bukan hanya UMKM.
Benarkah kelesuan di Pasar Tanah Abang itu terjadi karena adanya social commerce, bukan yang lain?
Itu pengaruh besar. Ada tiga yang memang diatur, yaitu platform, arus barang, dan perdagangannya, supaya yang offline dan online setara. Tapi, yang keempat, dalam jangka menengah-panjang kami harus mengatur supaya produk dalam negeri punya daya saing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, wawancara ini terbit di bawah judul "Kami Tak Melarang TikTok, Hanya Mengatur"