Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Laboratorium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sekarang bisa memeriksa sampel rujukan dari rumah sakit untuk deteksi virus corona.
Pemerintah menunjuk Lembaga Eijkman untuk memimpin konsorsium pengembangan vaksin buat menangkal dampak wabah Covid-19.
Berpengalaman menangani pandemi flu burung, Eijkman dan Universitas Airlangga memiliki kemampuan pengetesan sampel virus corona.
SEJAK Presiden Joko Widodo mengumumkan perlunya desentralisasi pengetesan virus corona, dua saluran telepon di kantor Lembaga Biologi Molekuler Eijkman tidak berhenti berdering. “Pengumuman itu menyebabkan rush. Banyak orang yang minta diperiksa di laboratorium Eijkman,” kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 18 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan terus melonjaknya kasus positif Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), pemerintah memutuskan tidak lagi memusatkan pengetesan sampel untuk mendeteksi virus corona di tangan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Dalam konferensi pers di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jumat, 13 Maret lalu, Jokowi menyatakan pemeriksaan juga dapat dilakukan antara lain di laboratorium Universitas Airlangga, Surabaya, dan Lembaga Eijkman, yang bernaung di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amin, 66 tahun, mengatakan keputusan Jokowi itu secara tak langsung menjawab surat yang pernah dia ajukan kepada Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro pada Januari lalu. Saat itu, wabah corona sedang merebak di tempat asalnya, Kota Wuhan di Provinsi Hubei, Cina. Dengan pengalaman menangani wabah flu burung pada 2005-2007, Amin mengklaim lembaganya memiliki laboratorium dan sumber daya mumpuni untuk mendeteksi virus corona. “Intinya kami siap membantu (Kementerian Kesehatan) kalau diminta mendeteksi langsung atau sebagai laboratorium konfirmasi,” ujarnya.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Gabriel Wahyu Titiyoga, Nur Alfiyah, dan Aisha Shaidra, Amin menjelaskan berbagai hal, dari metode pendeteksian virus corona, pelibatan Eijkman dalam pengujian sampel, hingga peluang pengembangan vaksin. Wawancara berlangsung dalam dua kesempatan. Dalam wawancara pertama pada Jumat, 28 Februari lalu, saat belum ada kasus positif corona di Indonesia, Amin telah menekankan pentingnya mewaspadai potensi penularan Covid-19 dari negara lain.
Apa peran Lembaga Eijkman dalam penanganan wabah virus corona?
Keterlibatan Eijkman saat ini di dua aktivitas. Pertama, ikut dalam deteksi virus dari sampel-sampel yang dikirim dari rumah sakit. Kedua, untuk pengembangan vaksin. Menteri Riset dan Teknologi pada Senin, 16 Maret lalu, menegaskan bahwa Lembaga Eijkman diminta memimpin pengembangan vaksin. Ditargetkan dalam waktu 12-18 bulan sudah ada bibit vaksin yang siap diserahkan ke industri, dalam hal ini PT Bio Farma, untuk diproduksi.
Siapa saja yang terlibat dalam pengembangan vaksin?
Konsorsium vaksin corona. Di dalamnya ada Litbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan), Eijkman, Bio Farma, dan beberapa perguruan tinggi. Kami belum memastikan semua anggotanya, baru mengidentifikasi siapa saja yang punya kompetensi dan komitmen.
Kapan Lembaga Eijkman pertama kali dihubungi pemerintah untuk dilibatkan dalam penanganan wabah Covid-19?
Ketika Pak Jokowi mengumumkan pada Jumat (13 Maret lalu) bahwa pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan oleh selain Litbangkes, yaitu Unair dan Eijkman. Tapi surat keputusan Menteri Riset dan Teknologi baru kami terima Selasa kemarin (17 Maret lalu).
Apakah Eijkman sejak awal memang minta dilibatkan?
Enggak. Pada Januari lalu, saya mengirim surat ke Menristek, menyampaikan bahwa Eijkman punya kemampuan, kapasitas, pengalaman, alat, reagen, dan sebagainya untuk mendeteksi virus corona. Intinya kami siap membantu kalau diminta mendeteksi langsung atau sebagai laboratorium konfirmasi. Mohon disampaikan ke Kementerian Kesehatan. Kami mengacu pada pengalaman sewaktu flu burung pada 2005-2007. Saat itu, hasil pemeriksaan di Litbangkes selalu dikonfirmasi ke kami.
Waktu itu tanggapannya seperti apa?
Pak Menristek langsung menyampaikan ke Menteri Kesehatan (Terawan Agus Putranto) secara lisan. Bahkan Menkes diundang ke Eijkman untuk melihat fasilitasnya, tapi belum jadi ke sini. Sampai kemarin kami belum dilibatkan, mungkin karena jumlah kasusnya masih sedikit dan masih bisa ditangani Kementerian Kesehatan.
Apakah Eijkman pernah menguji sampel dari orang yang terindikasi terjangkit virus corona?
Sejak awal kami sudah siap. Kami sebetulnya sudah menerima sampel dari beberapa rumah sakit secara tidak resmi, karena kami tahu beberapa pihak katanya sih lebih percaya sama Eijkman. Pada Januari lalu, kami menerima sepuluh sampel dari pasien yang kebetulan memenuhi kriteria WHO (Badan Kesehatan Dunia) sebagai suspek corona. Waktu itu nama virusnya masih nCoV-2019 (sekarang SARS-CoV-2).
Bagaimana hasilnya?
Waktu itu hasilnya masih negatif semua. Hanya ada virus-virus influenza biasa.
Apakah sampelnya dari rumah sakit yang kini menjadi rujukan pemerintah?
Bukan. Dari rumah sakit swasta dan beberapa institusi yang mengirim ke sini. Tapi saya tidak bisa disclosed di sini.
Dari daerah mana?
Jakarta semua.
Waktu itu pemerintah belum mengumumkan ada kasus positif di Indonesia.
Tapi sudah ada beberapa yang mengirim sampel. Kebetulan ada yang saya kenal, mereka juga kenal saya, kemudian minta diperiksa karena ada beberapa kasus yang mencurigakan.
Mencurigakan seperti apa?
Gejalanya memenuhi dan juga ada riwayat perjalanan ke luar negeri.
Apakah dari Wuhan?
Tidak selalu dari Wuhan. Tapi ada juga yang dari Wuhan hasilnya negatif. Mereka yang hampir terjebak di Wuhan. Mereka ikut tur, lalu begitu ada kejadian (wabah merebak) mereka buru-buru pulang ke Indonesia.
Berapa sampel yang diuji di Eijkman sejak dilibatkan dalam penanganan wabah Covid-19?
Ini yang kami masih mencatat karena baru Selasa kemarin dapat surat resminya. Tapi yang pasti telepon sudah enggak berhenti-berhenti. Jadi pengumuman (Jokowi) itu menyebabkan rush. Banyak orang, termasuk wartawan, minta diperiksa di Eijkman. Bahkan setelah Pak BKS (Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi) diumumkan positif, semua wartawan yang pernah meliput dekat beliau itu gelisah.
Bagaimana Anda menanggapi permintaan itu?
Karena kebijakan Eijkman tidak menerima sampel langsung, saya sarankan mereka ke rumah sakit. Tapi rumah sakit juga punya policy, kalau orangnya sehat walafiat, mereka enggak ada indikasi untuk merujuk. Jadi banyak ditolak. Lalu orang-orang itu balik ke saya lagi, “Saya kok ditolak di rumah sakit itu?” Jika tidak ada gejala, rumah sakit tak punya alasan untuk merujuk.
Dengan makin banyaknya pasien terjangkit virus tanpa menunjukkan gejala, bagaimana idealnya pemeriksaan dilakukan?
Mungkin dia carrier (pembawa). Kalau seperti itu kan dia sudah ada virusnya. Kalau virusnya menyerang dia sampai 14 hari masa inkubasi, pasti ada gejala. Kecuali kalau dia kemudian bisa mengatasi itu, ya virusnya hilang.
Jadi tidak perlu langsung memeriksakan diri?
Sebenarnya, kalau yang ada kontak (dengan orang yang terindikasi terjangkit virus), sebaiknya sih enggak langsung diperiksa. Tapi yang penting adalah karantina mandiri untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penularan sambil memastikan bahwa dia tidak terinfeksi. Kalau sampai 14 hari enggak ada gejala, kan dianggap aman.
Bagaimana dengan orang yang sebenarnya terinfeksi, tapi karena kondisi tubuhnya bagus sehingga tidak muncul gejala dan akhirnya menularkan virus ke orang lain?
Itu bisa terjadi. Sekarang kecenderungannya orang ingin tahu kena atau enggak. Katakanlah dalam masa inkubasi, pada hari kedua atau ketiga diperiksa hasilnya negatif. Itu tak menjamin bahwa hari berikutnya dia masih negatif. Siapa pun itu, apakah dia pernah kontak atau tidak. Ini berlaku untuk orang dalam masa inkubasi ataupun orang biasa yang ingin tahu. Jangan sampai diartikan bahwa nanti dia bisa dapat surat keterangan bebas corona. Di Singapura, misalnya, orang yang mau datang dari Indonesia harus bawa surat keterangan bebas corona. Padahal keterangan negatif itu hanya berlaku saat diperiksa. Jam berikutnya belum tentu.
Ada kesalahpahaman di masyarakat?
Iya, salah pemahaman. Kita tidak mungkin memastikan setiap saat kita bebas corona. Sama halnya surat keterangan sehat yang menyatakan pada saat ini dinyatakan sehat, nanti sore sakit kita enggak tahu, kan.
Jadi pemeriksaan yang ideal seperti apa?
Untuk memastikan kalau orang sudah menyelesaikan masa inkubasi 14 hari, di ujungnya harus diperiksa. Orang yang tadinya sakit, misalnya, untuk bisa dibebaskan harus diperiksa minimal dua kali berturut-turut selang dua hari (serial), baru dinyatakan positif atau negatif.
Bagaimana mekanisme koordinasi pemeriksaan sampel antar-laboratorium?
Sudah dibagi semacam zonasi. Misalnya laboratorium X untuk regional mana saja. Itu sebenarnya untuk mencegah satu laboratorium mendapatkan beban yang kelewat banyak.
Wilayah mana yang menjadi lingkup pemeriksaan laboratorium Eijkman?
Sebenarnya enggak banyak, cuma sekeliling sini saja. Tapi itu bukan pedoman kaku. Virus kan tidak bisa dibatasi geografis. Virus mengikuti manusia, manusianya bergerak di antara zona tertentu. Jadi kita tidak bisa membatasi virus di Jakarta Utara mungkin berbeda dengan di Jakarta Selatan.
Bagaimana kesiapan laboratorium Eijkman untuk pemeriksaan sampel?
Saat ini kami masih menggunakan fasilitas dan orang yang memang sudah rutin melakukan pekerjaan itu. Ada lima peneliti yang rutin mengerjakan PCR (polymerase chain reaction—metode deteksi virus). Untuk pemeriksaan sekarang masih bisa ditangani karena setiap kali running kami bisa mengerjakan sampai 80 sampel. Tapi nanti, kalau misalnya terjadi jumlah kasus yang meningkat drastis, kami mesti menaikkan kapasitas.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menganalisisnya?
Setiap hari kami running PCR satu kali. Sekali proses perlu waktu empat-lima jam. Jadi pagi diproses, kalau negatif, sudah selesai dan bisa dilaporkan. Kalau positif diproses sekali lagi untuk konfirmasi. Kami mesti memastikan kalau positif itu betul-betul positif, jadi tidak langsung disampaikan. Kalau sampel datangnya siang, terpaksa ikut kloter yang besok pagi. Makanya kami sampaikan pemeriksaannya selama dua-tiga hari.
Kepala Lembaga Eijkman Prof Amin Soebandrio di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidaya
Apakah masih perlu di-crosscheck dengan metode pengurutan gen?
Sebelum memakai alat dari WHO, kami menggunakan dua tahap. Pertama, PCR dengan primer pan-coronavirus, jadi semua jenis virus corona akan terdeteksi. Kalau positif, baru dikonfirmasi dengan genome sequencing. Tapi sekarang kami memakai satu tahap yang direkomendasikan WHO dan CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat) khusus untuk mendeteksi SARS-CoV-2.
Pemerintah sedang menggalakkan pemeriksaan dengan tes cepat. Apakah Eijkman juga menggunakan metode ini?
Rapid test yang dites bukan gen virusnya, tapi antibodi (orang yang terjangkit). Kami tidak menggunakan itu. PCR masih menjadi gold standard pengujian. Positif dengan tes cepat harus tetap dikonfirmasi dengan PCR. Tes cepat bisa untuk screening saat pasien datang dengan gejala mencurigakan dan dokter memutuskan harus diperlakukan seperti PDP (pasien dalam pengawasan) atau rawat biasa. Selama ini tes dengan PCR memakan waktu lama.
Apakah Eijkman juga dilibatkan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana?
Saya diminta sebagai anggota tim pakar (diketuai Profesor Wiku Adisasmito).
Apa saja yang sudah dibahas dalam Gugus Tugas?
Ada pertemuan di gedung BNPB pada Minggu siang (15 Maret 2020). Perwakilan dari IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) juga hadir. Salah satu yang direkomendasikan adalah pembukaan informasi pasien untuk memudahkan contact tracing. Wakil dari IDI menyatakan itu tidak melanggar hukum.
Apa pengaruhnya terhadap penanganan wabah?
Orangnya harus dikenali oleh orang lain. Dengan begitu, justru lingkungannya akan tahu, “Saya pernah kontak dengan si A.” Diharapkan mereka sukarela datang ke rumah sakit, laboratorium, atau dinas kesehatan, paling enggak lapor kalau pernah kontak dengan orang itu. Nanti mereka akan masuk ODP (orang dalam pemantauan).
Bukankah identitas pasien, selain jenis kelamin dan umur, tidak boleh dibuka ke publik?
Awalnya, pertimbangannya tidak dibuka kan untuk privasi pasien. Itu memang dalam sumpah dokter. Ada klausul dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Kedokteran, Undang-Undang Rumah Sakit bahwa identitas pasien dan data medisnya tidak boleh dibuka untuk umum, kecuali untuk permintaan pengadilan atau keperluan yang lebih besar.
Mengapa sekarang direkomendasikan untuk dibuka?
Data pasien bisa dibuka kalau ada hal lain yang lebih penting untuk kepentingan masyarakat lebih banyak. Kami melihat dari sudut pengendalian pandemi. Makin cepat orang yang terinfeksi diidentifikasi, makin cepat diatasi. Sebab, delay satu hari saja bisa menyebabkan orang itu bergerak ke mana-mana, sehingga lebih mungkin lagi menulari orang lain. Identifikasi bukan untuk dikucilkan. Kami sudah berkali-kali menyampaikan infeksi virus corona bukan aib, karena infeksi ini bukan lantaran tindakan yang enggak jelas. Ini semua orang bisa kena.
Dari pengalaman Eijkman menangani wabah flu burung, bagaimana peluang pembuatan vaksin untuk wabah Covid-19?
Saat itu vaksin untuk unggas. Dalam waktu sepuluh bulan kami bisa bikin bibit vaksinnya pada 2011. Untuk hewan, aturannya lebih longgar, tidak seketat pada manusia. Kebetulan kasus pada manusia juga tidak terlalu banyak. Sedangkan untuk manusia situasinya seperti sekarang, tidak ada antivirusnya. Waktu itu pengobatannya memakai Oseltamivir (obat anti-influenza).
Apakah pembuatan vaksin untuk manusia sekarang dimungkinkan?
Kami menyiapkan dua strategi. Kalau sudah punya virusnya, tinggal dipelajari antigennya yang bisa dipakai untuk vaksin. Tapi, karena belum punya isolat virusnya, kami bisa menggunakan teknik in-silico, yaitu berdasarkan informasi genetik virus corona yang sudah dikirim oleh peneliti negara lain ke GenBank atau GISAID. Dengan bioinformatika, informasi genetik virus bisa diotak-atik untuk memprediksi bagian mana yang bersifat antigenisitas. Dari informasi itu, dibuat peptidanya secara sintetis, lalu dijadikan sebagai bahan vaksin.
Ada yang menuding Eijkman dan lembaga riset lain ikut ambil bagian dalam penanganan wabah corona demi memperoleh pendanaan asing. Bagaimana tanggapan Anda?
Jika memang ada tuduhan seperti itu, ya silakan, tinggal dilihat saja. Tapi kami jalan terus, karena sebagian besar penelitian di Eijkman itu didanai Kementerian Riset dan Teknologi. Kami pasti bekerja sama dengan internasional. Kami tidak mungkin kerja sendirian.
Berapa porsi penelitian Eijkman yang dibiayai pemerintah?
Kerja sama dengan pihak luar negeri sekitar 15 persen dari total. Itu pun bantuannya tidak dalam bentuk uang karena secara resmi kami tidak boleh terima uang dari luar negeri. Jadi, mereka menyediakan alat, reagen, atau jika perlu mengambil sampel di luar kota, mereka membiayai perjalanannya. Dari situ bisa dilihat sebetulnya tidak terlalu besar juga.
Bagaimana kerja sama internasional ketika pandemi flu burung?
Dulu bantuannya dipusatkan di Komisi Nasional Flu Burung dan Pengendalian Influenza. Ada USAID dan lembaga internasional lain.
AMIN SOEBANDRIO | Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 2 Juli 1953 | Pendidikan: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1977); PhD bidang imunogenetik di Osaka-Kobe University, Jepang (1988); Spesialis Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1992); Profesor Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia | Karier: Kepala Satuan Medis Fungsional Mikrobiologi Klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (1996-2000), Asisten Deputi Bidang Perkembangan Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Kementerian Riset dan Teknologi (2000), guru besar ilmu mikrobiologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (sejak 2004), penasihat bidang kesehatan dan obat Menteri Riset dan Teknologi (2007-2013), Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (sejak 2014) | Penghargaan: Satyalancana Pembangunan (2000), Satyalancana Wirakarya (2002)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo