Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bersih-bersih Takhta Putra Mahkota

Pangeran Muhammad bin Salman menangkap sejumlah pangeran dan dua ratusan pejabat. Terkait dengan takhta Kerajaan Arab Saudi.

21 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman dalam sebuah acara sumpah setia kepada Kerajaan Saudi, di Mekkah, Arab Saudi, November 2017./ Handout via Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Saudi menangkap dua pangeran yang pernah menjadi putra mahkota.

  • Polisi menciduk 298 pejabat, termasuk perwira militer, polisi, dan hakim, dengan tuduhan korupsi.

  • Dewan Kesetiaan tak sreg Pangeran Salman menjadi putra mahkota.

TAK ada tanda-tanda bakal ada kegemparan pada Jumat, 6 Maret lalu. Pangeran Ahmad bin Abdulaziz al-Saud baru saja pulang dari perjalanan berburu elang di luar negeri. Pria 78 tahun itu sempat memberikan sambutan dalam sebuah acara yang dihadiri orang-orang dekatnya pada Kamis malam sebelumnya. Ahmad mengatakan bahwa abangnya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud, ingin bertemu dengannya pada Jumat pagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Esoknya, Ahmad pergi ke istana kerajaan di Riyadh bersama para pengawalnya. Saat memasuki kompleks istana, tiba-tiba ia ditangkap pasukan penjaga keamanan kerajaan. “Dia tidak bertemu dengan Raja. Itu benar-benar pengkhianatan,” kata sumber Middle East Eye. Pangeran Ahmad adalah bekas Menteri Dalam Negeri dan salah satu keturunan terakhir pendiri Arab Saudi, Raja Abdulaziz al-Saud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, polisi juga menangkap mantan Menteri Dalam Negeri, Pangeran Muhammad bin Nayef bin Abdulaziz. Pangeran 60 tahun itu sepupu Raja Salman dan cucu Raja Abdulaziz. Pada 2015, Nayef diangkat sebagai putra mahkota, tapi kemudian digantikan oleh Pangeran Muhammad bin Salman, yang biasa disebut MBS, pada Juni 2017.

Keluarga Kerajaan Arab Saudi, Ahmed bin Abdulaziz./ Reuters/Fahad Shadeed

Tak ada pengumuman resmi dari pemerintah Saudi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. The Wall Street Journal menyatakan penangkapan itu terkait dengan “upaya kudeta” untuk menggulingkan Raja Salman dan Pangeran Muhammad bin Salman. Tapi rumor yang beredar menyatakan hal ini terkait dengan kesehatan Raja Salman. Untuk membantah rumor tersebut, Saudi Press Agency merilis foto-foto raja 84 tahun itu tampak bugar dalam sebuah acara pengambilan sumpah duta besar baru Saudi untuk Ukraina dan Uruguay.

“Ada sejumlah rumor dan sindiran bahwa ada keributan di keluarga kerajaan dalam bentuk kritik. Tapi itu tidak membenarkan penangkapan mereka sebagai penjahat oleh pasukan keamanan bertopeng yang menyerbu kamar-kamar keluarga kerajaan dan meneriaki mereka agar keluar dari rumah,” ucap Khalil Jahshan, Direktur Eksekutif Arab Center, di Washington, DC, Amerika Serikat, kepada Al Jazeera.

Guncangan di negara kaya minyak itu belum berakhir. Dua hari kemudian, polisi menciduk 298 pejabat pemerintah, termasuk petinggi militer, polisi, dan hakim, dengan tuduhan korupsi. Lewat Twitter, badan antikorupsi Nazaha menyatakan mereka akan didakwa dalam kasus penyuapan dan penyelewengan kekuasaan dengan kerugian negara senilai 379 juta riyal atau Rp 1,6 triliun lebih.

Menurut Reuters, delapan perwira militer diduga terlibat penyuapan dan pencucian uang yang berhubungan dengan kontrak-kontrak pemerintah selama 2005-2015. Tuduhan serupa ditujukan kepada 29 pejabat Kementerian Dalam Negeri, termasuk tiga kolonel, seorang mayor jenderal, dan seorang brigadir jenderal.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman dalam pertemuan G20 di Jepang, Juni 2019./Reuters/Kevin Lamarque

Menurut Nazaha, dua hakim juga ditahan karena menerima suap. Sembilan pejabat dituduh melakukan korupsi dalam proyek di Almaarefa University di Riyadh yang mengakibatkan kerusakan parah pada bangunan dan menyebabkan sejumlah orang tewas serta beberapa lainnya terluka. Badan antirasuah itu tak menyebut nama-nama mereka dan rincian kasus.

Hal ini seakan-akan mengulang kejadian pada 2017. Saat itu, pemerintah Saudi di bawah kendali MBS juga menangkap sejumlah pangeran, politikus, dan pengusaha dengan dalih memberantas korupsi yang telah mengganggu investasi asing. Mereka disekap di Hotel Ritz-Carlton, Riyadh. Tahun lalu, pengadilan menyatakan kampanye antikorupsi ini akan berakhir setelah 15 bulan, tapi kemudian pemerintah justru menyatakan akan mulai menangani kasus korupsi oleh pejabat biasa.

Seorang bekas penasihat Raja Saudi Abdullah yang masih berhubungan dengan kerajaan mengatakan alasan terbesar di balik penangkapan-penangkapan itu adalah penolakan Pangeran Ahmad untuk bersetia kepada MBS. “Raja Salman telah memanggil Ahmad setiap tahun untuk meyakinkan Ahmad agar menerima putranya sebagai ahli waris kerajaan,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Ahmad terakhir kali dipanggil bulan lalu. “Tapi Ahmad menolak berbaiat kepada MBS dan menyatakan bahwa kursi kerajaan adalah haknya, berdasarkan wasiat ayahnya,” kata sumber itu. “Pangeran Salman merasa bahwa jika dia tak ditahbiskan sebagai raja selama Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkuasa, dia tak akan pernah punya kesempatan lagi.”

Saad al-Faqih, pembangkang Saudi dan pemimpin Gerakan Reformasi di Arabia, membenarkan adanya masalah di balik penangkapan besar-besaran itu. “Pangeran Ahmad sudah dua kali dipanggil ke istana dalam beberapa bulan belakangan sebagai upaya menekan dia agar menerima MBS. Tapi dia menolak,” ucap Faqih kepada Al Jazeera.

“Ahmad mungkin telah berbicara dengan sepupu-sepupunya tentang penolakan ini dan berupaya mendorong yang lain bersikap sama,” katanya. “Meskipun semua komunikasi dipantau karena dia berada dalam pengawasan MBS, pembicaraan ini mungkin dinilai istana sebagai upaya kudeta atau pengkhianatan.”

Faqih juga menyangka MBS khawatir Trump kalah dalam pemilihan presiden tahun ini sehingga dia akan kehilangan dukungan Amerika. Dukungan Trump sangatlah kentara. Meskipun sang Pangeran dituduh terlibat dalam pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis Saudi, di konsulat negara itu di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018, Trump tetap menyatakan sebagai sekutu setia Saudi.

Menurut Glen Carl, bekas pejabat intelijen Amerika dan ahli Kerajaan Saudi, jika pemerintah Amerika berubah, pendekatan Washington terhadap Saudi sangat mungkin berubah juga. “Akan ada tekanan yang lebih terbuka atau kemungkinan isolasi MBS dalam tataran internasional... dan perubahan kebijakan untuk mengekang beberapa tindakan Saudi,” ujar Carl mengacu pada peran Saudi dalam konflik di Timur Tengah, termasuk perang sipil di Yaman.

Pangeran Ahmad satu dari tiga anggota Dewan Kesetiaan (Hayat al-Bayah), badan kerajaan yang dibentuk pada 2007 oleh Raja Abdullah untuk memuluskan suksesi di kerajaan setelah semua putra Abdulaziz—pendiri kerajaan—wafat. Sebelumnya, penentuan ahli waris kerajaan adalah hak prerogatif raja. Kini dewan inilah yang memutuskan.


“Pangeran Salman merasa bahwa jika dia tak ditahbiskan sebagai raja selama Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkuasa, dia tak akan pernah punya kesempatan lagi.”


 Dewan ini memegang dua peran penting: menentukan apakah raja masih mampu memenuhi tugasnya atau menerima pengunduran diri raja dan mengumumkan siapa putra mahkota baru yang dipilih dari tiga kandidat yang diajukan raja. Bila pemilihan putra mahkota harus dilakukan dengan pemungutan suara, biasanya dewan mengikuti keinginan raja.

Namun ada satu pasal kecil tapi penting dalam aturan dewan. Pasal itu mengatur jika raja adalah cucu pendiri kerajaan, putra mahkotanya tak bisa dari garis keturunan yang sama, seperti saudara atau putranya. Dengan pasal ini, jika menjadi raja, MBS akan memilih salah satu sepupunya sebagai putra mahkota.

Dewan sendiri berpandangan bahwa Pangeran Ahmad lebih sah sebagai penerus takhta. Ahmad juga secara terbuka sering mengkritik kebijakan MBS, termasuk peran kerajaan dalam perang Yaman. Pada akhir 2018, sebuah video yang beredar menunjukkan Ahmad melihat unjuk rasa di luar tempat tinggalnya di London, Inggris. Dalam video itu, Ahmad mengkritik soal perang Yaman, yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

“Jangan salahkan seluruh keluarga (kerajaan). Tanggung jawab ini pada raja dan putra mahkotanya,” tuturnya saat itu. “Di Yaman dan di mana saja, kita berharap perang ini akan berakhir hari ini.” Meskipun Ahmad segera menarik komentarnya dengan alasan pernyataan itu telah keluar dari konteks, pesan-pesan dukungan dan janji kesetiaan mulai membanjirinya.

Selain Ahmad, Pangeran Muhammad bin Nayef dianggap sebagai pesaing terkuat MBS. Mantan Menteri Dalam Negeri itu dinilai sebagai sekutu setia Amerika dan tokoh yang dihormati dalam perang melawan teror. “Bagi Amerika dan Inggris, Nayef ditimbang sebagai penerus kerajaan yang tepat,” ucap Carl.

Langkah kuda MBS terjadi justru di tengah situasi pelik kerajaan. Selain menghadapi wabah virus corona yang memaksa Saudi menutup Mekah dan Madinah, kerajaan itu terlilit masalah keuangan. Dengan turunnya harga minyak mentah, perekonomian negara itu hanya tumbuh 0,3 persen pada 2019, turun dari 2,4 persen setahun sebelumnya. Ali Shihabi, komentator pendukung rezim MBS di Washington, mengatakan kerajaan itu tengah mengalami “keengganan suksesi generasi”.

IWAN KURNIAWAN (MIDDLE EAST EYE, AL JAZEERA, REUTERS, THE WALL STREET JOURNAL)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus