Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 60 orang hadir di gedung pertunjukan Melba Hall di lingkungan Conservatorium of Music, University of Melbourne, Australia, pada Kamis, 12 Maret lalu. Mereka tampak antusias mengantisipasi kuliah umum dan pertunjukan “Gamelan: Philosophy and Expression in Javanese Music” oleh Sutanto Mendut malam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutanto Mendut, seniman, aktivis budaya, dan inisiator Festival Lima Gunung, melakukan residensi singkat di Melbourne pada 5-15 Maret lalu. Dia datang atas undangan Victorian College of the Arts (VCA), University of Melbourne. Residensi singkat ini juga bisa dibaca sebagai kunjungan balasan. Setiap tahun sejak 2017, sekelompok mahasiswa seni yang berasal dari program studi Community Practices dan Social Practice and Community Engagement di VCA rutin berkunjung ke Studio Mendut dan beberapa desa lokasi pelaksanaan Festival Lima Gunung. Festival Lima Gunung merupakan festival tahunan komunitas desa yang berlokasi di sekitar lima gunung di Jawa Tengah—Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh—berkumpul bersama untuk menyalurkan ekspresi seni dan kreativitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dialog antara Sutanto (kiri), Danny Butt (kanan) dari University of Melbourne, dan Nuraini Juliastuti, tentang “Festival Lima Gunung and Collaborative Practices in Rural and Urban Cultures.” Instagram Sutanto Mendut 91
Antusiasme tersebut dibentuk oleh perasaan terbiasa dalam menerima dan mendengarkan gamelan. Pertunjukan gamelan, eksperimen gamelan dengan musik kontemporer atau elemen musik tradisional lain dari Indonesia, telah menjadi bagian dari lanskap pertunjukan secara luas. Gamelan telah eksis sebagai mata kuliah dalam studi musik dan Asia Tenggara di beberapa universitas di Australia. Ia juga telah menjadi bahan kajian yang berumur panjang dalam disiplin etnomusikologi dan perlintasannya dengan antropologi seni. Selama residensi, Sutanto melakukan beberapa aktivitas, dari menggelar pertunjukan gamelan dan workshop tari sampai dialog. Tiap aktivitas mengeksplorasi beragam dimensi dari kolaborasi.
Di atas panggung di Melba Hall, tidak ada seperangkat gamelan sebagaimana layaknya pertunjukan gamelan lain. Alih-alih melihat perkakas gamelan, tiap penonton mendapat selembar kertas musik gamelan berjudul Allahuakbar, and an invitation yang diciptakan Sutanto pada 1989. Di atas kertas musik terdapat empat kelompok lirik yang disusun seperti pundak berundak mendatar. Ia seperti bujur sangkar bertingkat dua yang bergerak makin besar ke luar. Di tengah susunan, terdapat sebuah lingkaran kecil dengan tulisan “Bagi Jody Diamond dan Larry Polansky - Sutanto 1989”. Karya ini diciptakan Sutanto sebagai respons atas kerja Diamond dan Polansky yang datang ke Indonesia untuk meneliti praktik musik kontemporer. Semua kalimat di kertas musik ditulis dengan tangan. Bentuk susunan tersebut juga tampak menyerupai Candi Borobudur jika dilihat dari atas, dengan menggunakan pandangan mata burung.
Tiap kelompok lirik terdiri atas sembilan kalimat. Satu kelompok lirik berbeda dengan yang lain karena disusun secara bervariasi. Susunan kalimat tersebut berbunyi demikian: Allahuakbar / Bem Bem Bem Bem / Ting Tong Ning Nang Nong / Tak Tak Gendendang Gendendang / Ning Ning Nong Nong Ning Ning Gerrr / Ning Ning Nong Nong Ning Ning Gerrr / Kling Klong Kling Kling Kling Klong / Tak Tak Gendendang Det Gerrr / Allahuakbar.
Meski tampak bertanya-tanya, penonton yang hadir menyambut ajakan dan panduan Sutanto untuk mengucapkan suara-suara berbeda dari lirik di kertas. Sutanto lantas melakukan beberapa percobaan dengan penonton. Ia membagi penonton dalam dua kelompok, lalu berikutnya menjadi empat kelompok. Dalam tiap percobaan, ia mengajak penonton menyuarakan kelompok lirik yang berbeda dalam waktu bersamaan. Di lain waktu, Sutanto mengajak satu kelompok penonton meningkahi kelompok lain dengan suara apa pun—lagu, gumaman, atau teriakan.
Ruangan lantas terasa mendengung dengan suara-suara spesifik, mirip suara gamelan tapi keluar dari mulut manusia, dan sesekali ditingkahi bunyi lain, dari konteks sosial lain. Sayup-sayup terdengar suara lagu Jawa, Gundul-gundul Pacul, dari sudut lain di ruangan. Dari keriuhan suara tersebut, bisa tertangkap harmoni yang tercipta dari pengulangan pengucapan lirik. Kebebasan ruang yang tiba-tiba diberikan kepada penonton untuk ikut serta memproduksi musik gamelan, atau “gamelan cangkem” menurut Sutanto, seperti mengembuskan kepercayaan tafsir lain dari gamelan.
Beberapa penonton meninggalkan ruangan—mungkin kecewa karena tak mendengarkan musik gamelan seperti yang diharapkan. Tapi, dalam sesi tanya-jawab, seorang penonton menanyakan alasan Sutanto tidak membawa perangkat gamelan di pertunjukan gamelan. “Gamelan itu alat musik bagi kaum elite. Ia mahal, makan tempat, dan terasa makin tidak cocok untuk ruang hidup yang makin terbatas. Selain itu, saya merasa makin dikepung oleh beragam suara manusia dan agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, saya ciptakan komposisi ini,” kata Sutanto.
Sutanto Mendut di Melbourne University. Gintani Swastika
Beberapa pertanyaan utama yang menggerakkan percakapan bertajuk “Festival Lima Gunung and Collaborative Practices in Rural and Urban Cultures” antara Sutanto; Danny Butt, koordinator program studi Community Practices dan Social Practice and Community Engagement, University of Melbourne; dan saya di Bus Projects pada Jumat, 13 Maret lalu, berputar pada soal pengelolaan, makna independensi, dan bagaimana Festival Lima Gunung bisa bertahan begitu lama. Ruangan diskusi di Bus Projects yang tak seberapa luas dipenuhi seniman, aktivis budaya, peneliti, juga mahasiswa Indonesia yang bermukim di Melbourne.
Cara hidup di desa, menurut Sutanto, menyimpan strategi, manajemen, dan kebijaksanaan yang tidak hanya berfungsi sebagai inspirasi pelaksanaan festival, tapi juga digerakkan ulang untuk merawat kebersamaan. Dia mengatakan upacara merti desa, praktik sambatan (bukan gotong-royong ala Orde Baru yang hierarkis), serta pengorganisasian upacara perkawinan merupakan “rahasia” dan taktik yang diserapnya untuk diaplikasikan dalam menyelenggarakan festival. Pola manajemen yang dijalankan dalam festival sebagai “manajemen bodoh” ketika kekacauan dan konflik diizinkan untuk muncul dan dipakai sebagai cara belajar bersama. Menjalankan seni dan mengorganisasi festival ditawarkan sebagai tambahan amunisi dalam kapasitas hidup di desa, bukan sebagai komoditas turisme. “Atau mungkin saya menciptakan festival ini karena saya kesepian. Dan mungkin saya hanya beruntung,” ujarnya.
Dalam dialog tersebut, Sutanto merespons dengan gayanya bahwa banyak intelektual di kampus yang seperti hanya bicara dan lupa akan kebijaksanaan hidup yang ditawarkan orang desa.
NURAINI JULIASTUTI, PENDIRI KUNCI STUDY FORUM AND COLLECTIVE, YOGYAKARTA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo