Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali memasuki usia pensiun pada 7 April mendatang.
Mahkamah belum menyiapkan sidang paripurna pemilihan ketua baru.
Ada tiga kandidat pengganti Hatta Ali.
MENJELANG usia 70 tahun pada 7 April mendatang, belum ada tanda-tanda Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali akan lengser. Pada saat menyampaikan pidato di sidang pleno istimewa laporan tahunan Mahkamah pada 26 Februari lalu, Hatta tak menyinggung usia pensiunnya atau mengucapkan perpisahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya, Hatta lebih banyak membanggakan capaian Mahkamah yang menjatuhkan putusan terhadap 20.058 perkara sepanjang 2019. Menurut dia, tingginya angka itu buah dari pengaturan waktu penanganan perkara. “Ini merupakan jumlah terbanyak yang diputus dalam sejarah MA,” kata Hatta dalam pidatonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung pada 2012, Hatta kembali menjabat posisi itu pada 2017. Masa jabatan periode keduanya akan selesai bersamaan dengan pensiunnya dia sebagai hakim agung. Undang-Undang Mahkamah Agung membatasi usia hakim agung hingga 70 tahun.
Meski pensiun Hatta sudah dekat, Mahkamah belum menyiapkan sidang paripurna pemilihan ketua baru. “Kami belum tahu, panitia juga belum ada,” ucap Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah pada Kamis, 19 Maret lalu.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin ( kanan) dan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menghadiri Sidang Pleno Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2019 di Jakarta , 26 Februari lalu./ANTARA/Sigid Kurniawan
Pegawai MA malah mematangkan rencana Rapat Kerja Nasional Akbar pada 5-7 April mendatang di Hotel Sultan dan Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Surat pemberitahuan rangkaian kegiatan sudah diedarkan kepada semua ketua pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, panitera, serta sekretaris lingkungan peradilan di seluruh Indonesia sejak 11 Maret lalu.
Dari daftar acara yang diperoleh Tempo, panitia membuka kegiatan akbar itu dengan agenda ramah tamah Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali beserta jajarannya di Ballroom Hotel Sultan pada Ahad malam, 5 April 2020. Esoknya, panitia akan menjemput semua peserta untuk mengikuti rapat di Assembly Hall JCC. Rapat akan berlangsung mulai pagi hingga tengah malam. Pada penutupan acara, panitia menyiapkan acara tiup lilin ulang tahun Hatta Ali.
Abdullah mengatakan panitia sudah merampungkan persiapan acara tersebut. Tapi, karena merebaknya virus corona, Mahkamah menunda kepastian acara hingga 31 Maret nanti. “Kita lihat keputusan setelah 31 Maret, memungkinkan untuk menggelar acara atau tidak,” ujarnya.
Pengamat peradilan, Asep Iwan Iriawan, mengatakan sepinya rencana pergantian Ketua Mahkamah Agung kurang lazim. Menurut mantan hakim itu, menjelang pergantian Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa pada 2012, Mahkamah sudah menggaungkan pemilihan sebulan sebelumnya. Salah satunya dengan membentuk panitia pemilihan.
Asep mengatakan perhatian orang saat ini memang berfokus pada pandemi Covid-19 di Tanah Air. Tapi ia menganggap hal itu bukan alasan untuk menunda pemilihan. “Pemilihan bisa dilakukan secara daring, tanpa tatap muka,” katanya.
Hatta Ali memang belum mengucapkan salam perpisahan, tapi tiga hakim agung diam-diam disebut bersiap-siap menggantikannya. Nama pertama adalah Sunarto. Pria 60 tahun ini menjadi hakim agung pada 2015 setelah merintis karier sebagai hakim sejak 1986. Ia terpilih sebagai Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial Mahkamah pada 2018. Sebelumnya, di Mahkamah, ia menjabat Ketua Muda Mahkamah Bidang Pengawasan.
Hakim agung kedua adalah Muhammad Syarifuddin, 65 tahun. Memulai karier sebagai hakim pada 1982, ia menjadi hakim agung sejak 2013. Syarifuddin menjabat Wakil Ketua Bidang Yudisial Mahkamah sejak 2016 mengungguli Andi Samsan Nganro.
Orang yang pernah dikalahkan Syarifuddin ini juga menjadi kandidat pengganti Hatta Ali. Andi Samsan kini menjabat Ketua Muda Mahkamah Bidang Pengawasan. Pria 67 tahun itu pernah bersaing dengan Hatta Ali dalam pemilihan Ketua Mahkamah Agung pada 2012 dan 2017.
Muhammad Syarifuddin saat diambil sumpah jabatannya di Istana Negara, Jakarta, Mei 2016./Biro Pers/Setpres
Namun persaingan itu agaknya sudah menjadi masa lalu. Seorang pejabat Mahkamah mengatakan Hatta Ali memberikan sinyal mendukung Andi Samsan. Salah satu alasannya: keduanya sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan. Penunjukan Andi Samsan sebagai Ketua Muda Mahkamah Bidang Pengawasan oleh Hatta pada Februari lalu juga disebut sebagai indikasi dukungan Hatta.
Andi Samsan hanya tertawa saat dimintai konfirmasi soal dukungan Hatta Ali terhadap dirinya dan langkahnya menuju kursi Ketua MA. Menurut dia, Hatta masih belum memberikan keterangan mengenai pemilihan ketua baru. “Yang pasti, kami sudah sering melakukan pemilihan di sini. Tidak ada kampanye besar-besaran. Menjaga stabilitas juga, jangan ada semacam gesekan antarhakim agung,” ujar Andi.
•••
TAK adanya woro-woro menjelang pergantian Ketua Mahkamah Agung juga menarik perhatian anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani. Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan pemilihan Ketua MA harus tetap digelar pada awal April mendatang. Ia mengacu pada pergantian Harifin Tumpa pada 2012. Harifin berhenti sebagai hakim agung karena memasuki usia 70 tahun sesuai dengan undang-undang. “Jadi sudah ada presedennya,” ucap Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu.
Andi Samsan Nganro./ANTARA/M Risyal Hidayat
Menurut Arsul, Ketua Mahkamah Agung yang baru diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum rampung di era Hatta Ali. Ia menyoroti cara Mahkamah dalam menjaga independensi dan kode etik hakim yang masih kendur. Misalnya, kata dia, aturan bahwa hakim tak boleh berolahraga bersama pengacara, jaksa, atau pihak yang sedang beperkara dan berpotensi memiliki perkara ditegakkan dengan lurus. “Hakim juga tidak boleh menggelar kegiatan sosial atau olahraga yang disponsori atau dibantu pihak swasta,” tuturnya.
Aktivitas olahraga para hakim kerap mendapat sorotan. Pada 2016, misalnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengungkap kesaksian seorang pengusaha yang mengaku memberikan Rp 1,5 miliar untuk penyelenggaraan turnamen tenis di lingkungan Mahkamah Agung. Duit diserahkan kepada Sekretaris Mahkamah saat itu, Nurhadi Abdurrachman. Dalam sejumlah kesempatan, Nurhadi membantah soal pemberian uang tersebut.
Sunarto/Tempo/Imam Sukamto
Sebagian besar hakim bergabung dalam Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP). Organisasi ini tersebar di berbagai daerah dan umumnya dipimpin ketua pengadilan. Pada 2018, PTWP melaporkan juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dengan tuduhan mencemarkan nama. Mereka membantah kabar adanya pungutan Rp 150 juta kepada setiap kantor pengadilan untuk membiayai turnamen tenis yang digelar PTWP, seperti yang disampaikan Farid ke media.
Informasi soal perilaku miring sejumlah hakim agung sebenarnya sudah banyak mendarat di meja Komisi Yudisial. Tapi laporan tersebut kerap hanya masuk laci. Salah satunya laporan soal kunjungan Hatta Ali ke lokasi proyek pembangunan sebuah hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada November tahun lalu.
Buktinya adalah foto yang memperlihatkan Hatta didampingi para petinggi pengadilan dan seorang pengusaha yang diduga pemilik proyek tersebut. Padahal pembatasan pertemuan dengan sejumlah pihak sudah dimuat dalam Surat Ketua Mahkamah Tahun 2002, yang dipertegas melalui Surat Edaran Mahkamah Nomor 3 Tahun 2010. Dalam wawancara dengan Tempo pada 2015, Hatta bahkan mengingatkan koleganya untuk membatasi diri jika berada di luar kantor.
Farid Wajdi enggan memberikan tanggapan soal mengendapnya sejumlah laporan hakim agung di lembaganya. “Silakan langsung menyampaikan ke ketua,” kata Farid. Ketua Komisi Yudisial Achmad Jayus belum merespons permintaan wawancara.
Hingga Sabtu, 21 Maret lalu, Hatta belum menanggapi permintaan wawancara Tempo. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah mengatakan pertemuan Hatta Ali dengan pihak di luar pengadilan masih dianggap wajar. Ia menyebutkan publik kerap menyalahartikan pertemuan itu. “Betapa susahnya jadi hakim kalau ketemu orang lain saja tidak boleh,” ujarnya.
LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo