Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Dosa Kalau Tak Menyelesaikan Masalah TKI

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia. Dan, di dalam dunia yang berubah pesat ini, banyak hal yang harus dibereskan: dari buruh migran Indonesia, perundingan batas laut dengan negara tetangga, keterlibatan Indonesia di forum internasional, hingga perintah Presiden agar diplomat menjadi marketer.

Pada era Bu Menlu Retno Marsudi ini, seorang diplomat juga dituntut menguasai perdagangan-pemasaran dan tanggap melayani kebutuhan warga Indonesia di luar negeri. Apalagi jika warga negara itu seorang tenaga kerja Indonesia. Dalam suatu resepsi perkawinan belum lama ini, perhatian Retno sekonyong-konyong begitu terserap pada telepon seluler di tangannya.

Seorang buruh migran Indonesia di Sudan kabur dari rumah majikannya. Mendapat perlakuan buruk, TKI itu kabur ke Bandar Udara Khartoum. Retno cepat mengontak duta besar di sana. Dalam hitungan menit, perempuan malang itu pun bisa diselamatkan.

Rabu pekan lalu, wartawan Tempo—Purwani Diyah Prabandari dan Qaris Tajudin—serta juru foto Dian Triyuli Handoko menemui Retno di kantor Kementerian Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat.

Presiden Joko Widodo meminta para diplomat menjadi marketer. Kok, diplomat disuruh jadi salesman?

Intinya, diplomat itu harus tahu detail perkembangan ekonomi kita di negara mereka berada. Kalau ke toko yang biasa menjual barang-barang Indonesia, dia harus bertanya: barang ini kok enggak ada? Ke mana, ya? Sebagai diplomat, dia harus ingin tahu dan bertanya ke yang punya toko, "Bu, ini kecapnya kok enggak ada?" Kalau pasokannya dari Indonesia susah, dia harus bertanya kenapa susah. Kita cari importir yang memasukkan kecap tersebut di negara itu. Kita tanya kenapa kamu tidak bisa mendatangkan kecap itu. Mungkin pasokan dari Indonesia memang susah. Kita tanya eksportirnya di Indonesia, kenapa susah.

Jadi apa yang diharapkan dari seorang diplomat Indonesia?

Perwakilan kita tidak hanya mempresentasikan gejala itu dalam laporan, tapi sekaligus menyelesaikannya di perwakilan. Kalau ada yang terkait dengan pihak lain, tentunya menghubungi pihak terkait. Jadi itu penerjemahan dari yang dikatakan oleh Presiden bahwa diplomat harus menjadi penjual, marketer bagi negaranya. Ini mengubah total mindset para diplomat.

Mereka enggak terkaget-kaget?

C'est la vie. Itulah hidup. Pola kerja kita kan ditentukan dari guidelines-nya. Tapi memang perubahan mindset yang luar biasa ini membutuhkan waktu untuk bisa diserap total. Itu menuntut kita turun ke bawah. Menuntut kita untuk tahu persis masalah warga negara kita, tahu persis kenapa ekspor kita turun.

Jadi akan ada penambahan di atase perdagangan?

Tidak. Kami optimalkan yang sudah ada. Kalau ada tugas baru jangan serta-merta mengatakan, oh, mari kita mekarkan. Aku akan tanya dulu, apakah sanggup melakukannya? Apakah benar kita sudah bekerja delapan jam terus-menerus? Kalau ternyata masih lima jam, tinggal kita optimalkan. Kalau sudah dioptimalkan, apakah sudah memenuhi ekspektasi? Kalau belum, baru kita berpikir untuk memperbesar tim.

Apakah pejabat Kementerian Luar Negeri di Indonesia punya kewajiban yang sama?

Menjual produk Indonesia di luar negeri tidak bisa dilakukan hanya oleh Kementerian Luar Negeri. Kita harus bekerja sama. Nanti aku akan berbicara dengan para direktur badan usaha milik negara, duduk mengobrol sambil sarapan. Pertanyaanku begini: "Pak, Bu, apa yang bisa saya jual? Bapak punya apa? Senjata? Senjatanya jenis apa? Spesifikasinya apa? Target negara Bapak mana?" Kalau mereka bilang di negara X, saya tinggal menghubungi duta besar di sana, "Pak, jualin senjata kita." Setelah dengan BUMN, aku akan berbicara dengan investor Indonesia yang punya bisnis di luar negeri, termasuk para eksportir. Kita kan harus melindungi bisnis mereka. Jadi akan aku dengarkan keluhan dan keinginan mereka. Dari dialog itu, kita punya ilmu banyak dan terkoneksi dengan kepentingan negara. Biasanya kan diplomasi itu di awang-awang, enggak jelas iki ngomong opo. Sekarang tidak. Apa yang kita omongkan terkoneksi dengan kepentingan kita di sana.

Apakah Anda punya pengalaman menjadi marketer saat bertugas dulu?

Mungkin aku boleh mencontohkan apa yang terjadi di Belanda. Di sana, ada 1.600 restoran Indonesia. Orang Belanda biasa makan makanan Indonesia, karena ada 10 persen penduduk Belanda terkoneksi dengan Indonesia. Belum lagi masyarakat kita yang ada di sana. Itu semua adalah pasar potensial untuk makanan Indonesia.
Karena tak ingin bisnis makanan Indonesia turun, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, kami mengadakan workshop masakan Indonesia setiap tahun. Workshop ini untuk menjaga keaslian cita rasa dan diversifikasi jenis makanan, biar enggak nasi goreng melulu. Selain itu, kami katakan kepada para pemilik restoran, kalau kamu mau cita rasa orisinal, harus pakai produk Indonesia. Misalnya jahe. Jahe yang di luar negeri itu besar-besar, tapi tidak pedas. Jahe kita cilik-cilik, neng nyengat. Kalau kamu mau cita rasa orisinal, pakai produk kami. Itu artinya ekspor jahe kita ke sana harus lancar.

Jadi kedutaan yang mengimpor bumbu-bumbu?

Bukan. Saya kemudian berbicara ke Garuda Indonesia, punya ruang kosong untuk kargo? Bisa dipakai untuk ekspor? Mereka bilang bisa. Garuda masuk membawanya. Untuk mengenalkan restoran-restoran Indonesia, kedutaan membuat direktori restoran Indonesia. Kami membuat booklet yang disebar di hotel. Jadi, kalau ada turis asing datang ke Belanda, mereka akan ambil dan tahu. Jadi kami jadikan Belanda sebagai outlet promosi makanan Indonesia. Begitu, lo. Dari satu hal saja tentang makanan bisa terkoneksi dengan banyak hal.

Supaya begitu, bagaimana kita mengubah pola pikir?

Saya sudah berbicara dengan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan kami untuk mengatasi masalah ini. Bukan hanya mindset untuk menjadi marketer, melainkan juga bagaimana menjadikan diplomat kita peduli terhadap urusan warga negara Indonesia. Untuk bisa care, mereka harus punya passion. Saya percaya, passion itu bisa disuntikkan. Dari awal harus disuntikkan terus, "Kamu harus punya passion kepada warga negara Indonesia."

Dari mana menyuntikkan pikiran ini?

Dari pendidikan. Aku cegat di hulu, saat merekrut diplomat baru. Di kurikulum pendidikan calon diplomat, hal-hal seperti ini harus diperbanyak. Mereka harus dididik untuk memakai hati saat bekerja. Sebab, kalau tidak pakai hati, enggak bisa berhasil.

Kenapa sampai perlu pendoktrinan seperti itu?

Saat bertemu dengan Presiden pada 20 Oktober (setelah pelantikan presiden), menjelang tengah malam, dia menyampaikan beberapa hal. Di antaranya tentang perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri. Saat ini ada sekitar 4,3 juta warga negara kita di luar negeri. Lebih dari 60 persennya adalah buruh migran. Di Asia yang paling banyak, 73 persen. Sedangkan di Timur Tengah 20 persen. Yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana kita melindungi warga negara Indonesia, termasuk buruh migran.

Apa masalah buruh migran jadi tanggung jawab Kementerian Luar Negeri?

Ada masalah yang disebabkan di hulu, saat perekrutan dan pengiriman dari Indonesia. Kementerian Luar Negeri tugasnya melindungi mereka di hilir. Tapi, dalam perlindungan ini, kami akan kelabakan sekali kalau hulunya tidak dibereskan.

Jadi Kementerian Luar Negeri hanya kebagian "cuci-cuci piring kotor" dari ketidakberesan perusahaan yang mengirim tenaga kerja ke luar negeri?

Anda yang mengatakan itu. Yang jelas, setelah dilantik, pertemuan pertama saya adalah dengan Pak Menteri Ketenagakerjaan (Hanif Dhakiri). Esprit de corps di antara menteri kabinet sekarang ini tinggi sekali. Kami tinggal telepon untuk membereskan banyak hal. Saya berbicara dengan Menteri Tenaga Kerja di ruangan ini, beliau mempresentasikan apa yang akan beliau lakukan. Saya katakan, ayo kita selesaikan masalah TKI ini. Kalau tidak, kita berdosa. Ini menyangkut nasib orang, wong cilik. Tapi, saya tahu juga, tantangan yang Pak Menaker hadapi di sini besar sekali.

Bagaimana dengan pelayanan warga kita di luar sana?

Minggu lalu, kami kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta beberapa penyedia layanan komunikasi. Nanti, saat warga negara Indonesia tiba di suatu negara dan membuka ponsel, akan muncul pesan pendek berisi alamat kantor perwakilan Indonesia di wilayah itu beserta nomor teleponnya. Dengan begitu, warga negara kita nyaman. Kalau ada apa-apa tahu ke mana mengadu.

Problemnya dengan TKI, jangankan ponsel, paspor pun kerap ditahan para majikannya. Bagaimana mereka bisa menelepon?

Nah itulah mengapa kami barusan bekerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kami mensinergikan data buruh migran yang berangkat. Kami juga akan bekerja sama dengan imigrasi. Nantinya data warga negara Indonesia yang ada di luar negeri akan terkoneksi dengan sejumlah lembaga, termasuk kantor perwakilan Indonesia. Data ini sangat penting. Kalau nanti semua terkoneksi, data nomor paspor dan tempat tinggal seorang buruh migran yang berangkat ke negara X sudah masuk.
Banyak masalah buruh migran kita di Timur Tengah muncul karena perlindungan kepada mereka lemah. Negara-negara itu tidak memiliki aturan yang melindungi pekerja asing.
Kita tidak akan mengirimkan buruh migran kita ke negara yang tidak memiliki peraturan nasional yang melindungi buruh asing. Kalau tidak punya, harus ada perjanjian bilateral dengan kita untuk perlindungan. Kalau dua-duanya tidak ada, tidak kita kirim.

Negara mana yang belum punya?

Misalnya Arab Saudi. Kita kan sekarang sedang melakukan moratorium (menghentikan sementara) pengiriman tenaga kerja ke sana karena mereka tidak memiliki peraturan yang melindungi buruh asing. Tapi kemudian kita membuat MOU dengan mereka. MOU sudah ditandatangani, tapi belum diratifikasi oleh mereka. Jadi kita masih belum buka jalur pengiriman buruh migran ke Saudi.

Selain soal perdagangan dan perlindungan warga negara di luar negeri, apa konsentrasi kerja Anda saat ini?

Soal kedaulatan dan keterlibatan Indonesia di dunia internasional. Beberapa pihak bertanya, kok kayaknya pemerintah saat ini berkonsentrasi ke dalam negeri, nih. Bahwasanya presiden ingin membangun dan memperkuat ekonomi, semua orang tahu. Tapi penguatan di dalam negeri ini jangan disalahpahami sebagai penarikan peran kita di dunia internasional. Dengan kerja sama dengan negara lain, kita justru menguatkan apa yang akan kita lakukan di dalam.

Soal kedaulatan itu seperti isu bahwa ada tiga desa di Nunukan, Kalimantan Timur, yang warganya berpindah kewarganegaraan?

Saat berita itu muncul, saya sedang di Brisbane, Australia. Langsung saya cek ke teman-teman, lalu kita buat statemen bahwa tidak benar ada kepindahan kewarganegaraan dari tiga desa itu. Tapi kita juga harus sadar bahwa rakyat perlu melihat kehadiran negara sampai di tempat paling ujung di perbatasan. Di antaranya dengan menambah fasilitas kehidupan di sana.

Apa itu tugas Menteri Luar Negeri?

Bukan, tapi ini saling berkaitan. Kalau soal perbatasan darat, itu yang memimpin adalah Kementerian Dalam Negeri. Yang menjadi tugas pokok Kementerian Luar Negeri dalam soal kedaulatan adalah perundingan perbatasan maritim. Ini terkait dengan diberlakukannya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, yang diterapkan secara efektif pada 1994). Ini rezim baru yang mengubah semua penentuan batas laut negara. Batas-batas baru itulah yang harus kita rundingkan dengan negara tetangga.

Berapa banyak yang beres?

Kira-kira 65 persen sudah selesai. Saya bandingkan dengan data Menteri Koordinator Kemaritiman, memang 60-65 persen sudah beres. Berarti kita harus menyelesaikan 35-40 persen masalah perbatasan laut. Kami membuat road map 2015. Kami rencanakan perundingan dengan Malaysia, Vietnam, Palau, dan Timor Leste pada paruh awal 2015. Sedangkan dengan Thailand dan Filipina pada paruh kedua.

Bagaimana dengan gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti? Dia membakar banyak kapal milik nelayan dari negara tetangga.

Komunikasi yang Kementerian Luar Negeri sampaikan ke dunia luar, hal itu kita lakukan untuk law enforcement. Dan saya kira setiap negara memiliki kedaulatan untuk menegakkan hukumnya. Orang itu dihormati kalau orang lain tahu bahwa dia tidak bisa dibeli. Kalau kita punya aturan yang saat diimplementasikan bisa diubah dengan sogokan, kita tidak dihormati oleh negara lain.

Ada negara yang marah terhadap tindakan Bu Susi?

Saya belum menerima keluhan dari mereka.

Retno Lestari Priansari Marsudi
Tempat dan tanggal lahir: Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962

Pendidikan:

  • Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Semarang (1981)
  • Sarjana hubungan internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985)
  • Master hukum Uni Eropa Haagse Hogeschool, Belanda (2003)

    Karier:

  • Menteri Luar Negeri Indonesia (2014)
  • Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda (2012)
  • Direktur Jenderal Eropa dan Amerika, yang bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika (2006)
  • Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia (2005)
  • Direktur Eropa Barat (2003)
  • Direktur Kerja Sama Intra-Kawasan Amerika-Eropa (2002-2003)
  • Kepala Bidang Ekonomi Departemen Luar Negeri Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda (1997-2001)
  • Wakil Direktur Masalah Lingkungan Departemen Luar Negeri (1994-1997)
  • Staf Penerangan Kedutaan Besar Republik Indonesia Departemen Luar Negeri di Canberra, Australia (1990-1994)
  • Kepala Seksi Sekretaris Nasional Association of Southeast Asian Nations Departemen Luar Negeri (1987-1990)
  • Staf Biro Analisa dan Evaluasi Kerja Sama Association of Southeast Asian Nations Departemen Luar Negeri (1986)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus