Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Edi Sudradjat: "Golkar itu Rumah Bobrok"

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edi patut merasa nyaman di lingkungan ribuan kader PKP. Maklum, partai yang dideklarasikannya pada 15 Januari tahun lalu ini didirikan sebagai wadah bagi kepentingan politik kelompoknya, sekaligus wujud dari luapan kekecewaan mereka terhadap Partai Golkar. Edi, yang selepas pensiun sempat memilih Golkar sebagai rumah politiknya, ternyata tak merasa betah. Setelah gagal dalam pertarungan memperebutkan kursi ketua umum, ia hengkang. "Saya meninggalkan Golkar karena, sebagai rumah, fondasi Golkar bobrok dan tak bisa lagi direparasi," katanya.

Penilaian itu diberikannya dengan sejumlah alasan. Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar dua tahun lalu, ia berpendapat pemilihan Ketua Umum Golkar dipenuhi rekayasa politik. Saat bersaing dengan Akbar Tandjung untuk menjadi ketua umum, Edi terpental. Padahal, dalam sesi pemandangan umum, ia merasa banyak daerah yang berpihak kepadanya. Edi menuduh Akbar telah bersekutu dengan Presiden Habibie dan Panglima TNI Wiranto untuk mencegahnya menjadi Ketua Golkar.

Maka, ketika PKP resmi didirikan, Edi tetap mempertahankan posisinya sebagai seteru Akbar. Ketika Golkar menjagokan Akbar sebagai calon anggota DPR dari daerah pemilihan Bogor, Jawa Barat, Edi dipasang sebagai calon dari kota yang sama. "Pak Edi memang minta dipasang di Bogor untuk bersaing dengan Akbar Tandjung," kata John Pieris, salah seorang Ketua PKP.

Namun, kekuatan PKP belum mampu menandingi beringin Golkar yang telah lama berurat dan berakar. Edi gagal masuk Senayan. Partainya bahkan cuma mampu mengirim empat wakilnya ke DPR. Perolehan suara PKP yang tak banyak bahkan menjadikan partai itu besar kemungkinan akan tak diizinkan ikut dalam Pemilu 2004. Tapi Edi tetap optimistis dalam meneruskan perjuangannya. Pada Kongres I PKP, ia juga tetap dipercaya memimpin partai tersebut.

Dilahirkan di Jambi pada 22 April 1938 dan masuk Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1957, Edi menjadi dewasa di lingkungan tentara. Lulusan terbaik AMN 1960 ini pernah ditempatkan sebagai Komandan Peleton Yonif 515, selain dipercaya menjadi Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad, Panglima Kodam II Bukit Barisan, dan Panglima Kodam VI Siliwangi. Sebelum menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, Panglima ABRI, dan Menteri Pertahanan dan Keamanan, ia sempat dipercaya sebagai Asisten Operasi Kepala Staf Umum ABRI.

Wartawan TEMPO Iwan Setiawan menemui Edi Sudradjat, Sabtu dua pekan lalu, untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:


Apa motivasi Anda ketika bergabung dengan Golkar?

Setelah pensiun, saya ingin tetap berjuang. Saya pelajari bahwa untuk mengubah kondisi masyarakat yang penuh ketidakadilan, saya harus terjun ke dunia politik. Saya melihat, dibandingkan dengan PPP atau PDI, cita-cita dan tujuan Golkar lebih cocok buat saya.

Tapi belakangan Anda meninggalkan Golkar. Benarkah Anda keluar karena kecewa setelah kalah dengan Akbar Tandjung?

Ha-ha-ha…. Orang yang mengatakan itu harus bisa membuktikannya. Saya sama sekali tidak sakit hati dengan Golkar. Saya meninggalkan Golkar karena, ibarat rumah, fondasinya sudah rusak parah dan bobrok sehingga tidak bisa lagi direparasi. Saya lebih baik meninggalkan gedung besar tapi bobrok dan membangun rumah sederhana.

Maksud Anda bobrok karena kekalahan Anda tidak fair?

Pemilihan itu direkayasa. Buktinya, sewaktu pemandangan umum, lebih banyak pengurus daerah yang mendukung saya. Saya dengar ada keterlibatan TNI dan kubu Habibie untuk memenangkan Akbar.

Apakah intervensi itu diketahui Wiranto sebagai Panglima TNI?

Jelas, dong. Siapa yang memerintahkan kodam-kodam mendekati dewan pimpinan daerah Golkar agar mendukung Akbar Tandjung? Wiranto tidak hanya tahu, tapi sejak awal bekerja sama dengan kubu Habibie. Setahu saya, Akbar Tandjung, Wiranto, dan Habibie memang satu kubu, satu kroni.

Anda menguasai Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri), sementara Wiranto menguasai TNI aktif. Lalu, apa yang diperoleh Wiranto dengan tidak mendukung Anda?

Kamu tanya saja pada Wiranto. Mungkin oleh Habibie ia dijanjikan bakal memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Tapi, kenyataannya, justru sekarang Wiranto tidak mendapatkan apa pun. Yang jelas, dia cuma dimanfaatkan oleh Golkar. (Wiranto membantah cerita ini. "ABRI bersikap netral dan tidak melakukan intervensi terhadap jalannya Munaslub Golkar," katanya kepada pers beberapa hari menjelang perhelatan itu dilakukan. Bantahan yang sama datang dari Akbar Tandjung.)

Jika Golkar seperti rumah bobrok, di mana letak kebobrokan itu?

Pengurus Golkar lebih mementingkan ambisi pribadi mereka sendiri. Golkar tidak lagi punya kepedulian untuk menyelamatkan bangsa Indonesia secara utuh. Komitmen Golkar terhadap integrasi bangsa patut dipertanyakan. Lihat saja komentar-komentar tokoh Golkar terhadap persoalan disintegrasi seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, atau Irian. Mereka tidak peduli apakah komentar mereka membuat situasi makin panas. Yang penting, kepentingan politik mereka terlaksana. Jika mereka bilang mereka sekarang ini adalah Golkar baru, itu omong kosong belaka.

Mengapa omong kosong? Bukankah dalam banyak hal Golkar sudah berubah?

Yang berubah baru sebatas slogan alias kulit. Isinya bahkan semakin bobrok. Mengapa? Karena, sampai saat ini, Golkar masih dikungkung penyakit lamanya, yaitu tidak bisa mandiri. Kamu kira dana Golkar itu dari mana? Coba tanya pada Habibie atau Akbar Tandjung. Mereka masih memanfaatkan fasilitas pemerintah. Selain itu, mereka masih meminta dari Yayasan Dakab (Yayasan Dana Abadi Karya Bakti, yang diketuai bekas presiden Soeharto—Red.) dan dari kalangan birokrat.

Golkar bobrok, toh, Anda sempat berada di sana?

Saya masuk Golkar karena cocok dengan watak kebangsaannya. Sedangkan PDI dan PPP tidak begitu jelas. Karena saya berpaham kebangsaan, jadi klop. Tapi, pada pelaksanaannya, apa yang dilakukan tokoh Golkar jauh berbeda dari platform Golkar.

Saat ini, PKP mendapatkan empat kursi DPR. Partai Anda bahkan terancam tidak diizinkan ikut Pemilu 2004. Anda akan terus bersama PKP?

Ibarat rumah, PKP itu rumah kecil dan sederhana tapi fondasinya bagus. Saya akan terus berjuang untuk meminta agar pelaksanaan aturan perolehan suara minimal itu ditunda. Aneh, aturan itu dibuat pada 1999 lalu, tapi langsung diterapkan pada partai politik yang baru. Bagaimana mungkin partai baru mampu mendapatkan suara yang cukup, sementara waktu kampanye dan sosialisasi partai terbatas? Jika usulan penundaan aturan itu tidak disetujui DPR, kami akan ikut pemilu dengan nama baru. PKP toh sudah punya cabang hampir di semua provinsi.

Menurut Anda, sejak kapan TNI tidak netral dan ikut berpolitik?

Sejak Feisal Tanjung diangkat menjadi Panglima ABRI. Sejak saat itulah sistem ABRI rusak. Untuk memilih Panglima ABRI, misalnya, banyak syarat yang mestinya dipenuhi seorang perwira. Dari ketahanan mental, prestasi lapangan, sampai riwayat hidupnya selama menjadi tentara dipelajari oleh Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Feisal Tanjung dipilih menjadi Panglima ABRI bukan karena prestasi atau dipilih oleh Wanjakti, melainkan karena sponsor Habibie yang ketika itu adalah wakil presiden. Saya tahu pasti karena saat itu saya adalah Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Lalu, mengapa Anda tidak mencegah pengangkatan Feisal Tanjung?

Saya tidak tahu rencana pengangkatan Feisal sebagai Panglima ABRI. Suatu hari, saya diundang oleh Pak Harto untuk membicarakan siapa kira-kira calon Panglima ABRI yang layak. Ketika saya memberikan nama-nama perwira tinggi yang paling berprestasi, ternyata Pak Harto menolak. Katanya, "Wah, ndak usah. Saya sudah menentukan calon yang lainnya." Belakangan, saya tahu bahwa naiknya Feisal Tanjung bukan karena prestasi atau promosi Wanjakti, melainkan atas permintaan Habibie kepada Soeharto. (Feisal membantah tuduhan ini. "Presiden meminta saya menjadi Pangab untuk melakukan konsolidasi," katanya dalam buku Feisal Tanjung: Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI.)

Apa tujuan Habibie menaikkan Feisal Tanjung?

Sebaiknya kamu tanya saja pada Habibie. Yang jelas, kita semua bisa melihat bagaimana hubungan Habibie dan Feisal Tanjung setelah itu. Sejak itu, mulai dikenal istilah ABRI hijau dan ABRI merah-putih. ABRI hijau adalah mereka yang memakai Islam sebagai kedok kepentingannya sendiri.

Feisal termasuk ABRI hijau?

Ya, begitulah….

Belakangan, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Hartono mengatakan kader ABRI adalah juga kader Golkar seraya memakai jaket kuning?

Wah, Hartono jelas salah. Saya dan beberapa sesepuh ABRI saat itu juga memprotes dan tidak menyetujui apa yang dilakukan Hartono dengan memakai jaket kuning. Sebab, seharusnya, ABRI sebagai salah satu pilar negara tidak boleh berpihak kepada partai politik tertentu, apalagi kepada Golkar. Masa, setelah ada ABRI hijau, juga ada ABRI kuning? Seperti saya katakan tadi, semenjak Feisal naik menjadi Panglima ABRI, sistem ABRI macet. Dan apa yang dilakukan Hartono tadi sebenarnya juga tidak berbeda jauh dengan Feisal. Yang mendapatkan getahnya adalah institusi ABRI.

ABRI dikorbankan?

Institusi ABRI dikorbankan demi ambisi Hartono untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Menurut saya, dia sebenarnya tidak mampu menjadi KSAD. Ketika saya mendengar bahwa Hartono mau diangkat menjadi KSAD, saya tanyakan pada Pak Harto. Tapi beliau cuma menjawab begini, "Sudah, kamu ndak usah khawatir. Apa yang kamu pikirkan itu tidak akan menjadi kenyataan."

Apakah Anda melapor soal Hartono yang mendorong TNI condong ke Golkar?

Sudah. Dalam suatu kesempatan di bulan Ramadan, para perwira tinggi diundang untuk berbuka puasa di rumah Pak Harto di Cendana. Seusai makan bersama, seorang jenderal mempertanyakan tindakan Hartono yang memakai jaket kuning kepada Pak Harto. Tapi Pak Harto cuma bilang, "Ah, enggak apa-apa."

Mengapa Pak Harto berbuat seperti itu?

Di masa Orde Baru, kekuasaan yang dibangun Pak Harto bersifat monolitik. Semua kekuatan, baik politik, militer, maupun ekonomi, diarahkan untuk mendukung kekuasaan Orde Baru. Sementara itu, di pihak lain, ada orang-orang yang berambisi besar untuk meraih kekuasaan dengan cara cepat. Bagi ABRI, apa yang mereka lakukan tidak membawa keuntungan kecuali rusaknya sistem ABRI.

Setelah reformasi, citra tentara khususnya Angkatan Darat tetap buruk. Mengapa ini bisa terjadi?

Sejak dulu, ABRI itu seperti gadis manis yang diperebutkan banyak pihak. Mereka ingin meminang atau merangkul ABRI untuk kepentingannya sendiri. Begitu juga di masa Orde Baru. Harus diakui bahwa saat itu pelan-pelan ABRI terseret ke dalam kekuasaan yang monolitik tadi. Akibatnya, ABRI hanya dipakai sebagai alat untuk menjaga kekuasaan Orde Baru. Ketika Orde Baru tumbang, semua kesalahannya terbongkar, termasuk kesalahan TNI.

Tapi mengapa Agus Wirahadikusumah yang berusaha melakukan reformasi TNI justru ditentang perwira lain?

Saya kira para perwira itu bukan tidak setuju dengan langkah Agus. Saya termasuk yang mendukung apa yang diperjuangkan Agus. Yang saya tidak setuju adalah caranya. Dalam tradisi militer, setiap persoalan harus diselesaikan di dalam organisasi. Misalnya korupsi di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dibongkar Agus ketika menjadi Panglima Kostrad. Sebagai pemimpin, jika benar menemukan indikasi korupsi, seharusnya ia langsung menindak dan menyelesaikan persoalan itu lewat prosedur yang ada. Jangan membuka kasus ini di media massa. Akibatnya, masalah ini lalu menjadi polemik, ruwet, dan kabur hingga sulit diselesaikan. Selain itu, membuka kasus ini di media massa akan mengundang pihak-pihak luar yang punya kepentingan lain untuk memanfaatkan ABRI. Hal ini berbahaya.

Jadi, Anda setuju dengan Agus Wirahadikusumah yang menyarankan penghapusan dwifungsi ABRI?

Begini. Sejarah TNI menunjukkan bahwa ABRI berasal dari rakyat yang berjuang melawan penjajah. Jadi, tentara berasal dari rakyat dan berjuang untuk membela rakyat. Saya tidak setuju jika tentara tidak diizinkan ikut serta memikirkan persoalan yang dihadapi bangsanya. Dwifungsi itu tujuannya bukan untuk menjadikan tentara sebagai presiden atau gubernur. Dengan dwifungsi diharapkan tentara bisa mengabdikan diri secara lebih luas kepada bangsa.

Menurut Anda, bagaimana cara memperbaiki citra TNI yang telanjur rusak?

Tidak ada cara selain menghidupkan kembali sistem yang ada di dunia militer. Sejak rekrutmen calon tentara, penilaian jenjang karir, hingga pengawasan, semua harus menggunakan ukuran yang jelas. Prestasi, kelakuan, intelektualitas, mental, kepemimpinan, dan pengalaman tugas dinilai bukan oleh satu atau dua orang, tapi oleh satu tim, agar obyektif. Sistem sponsor atau rekomendasi oleh pejabat tinggi di luar TNI harus dipangkas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus