Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pembelaan itu Bisa Be rbalik Jadi Bumerang

Jaksa Agung Marzuki Darusman menunda proses hukum 21 pengutang kakap di BPPN. Gara-gara perlakuan khusus Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, dan Prajogo Pangestu?

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kebijakan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang diperagakan sepanjang pekan silam telah menyita perhatian orang. Yang pertama Senin pekan lalu, ketika ia mengumumkan bos Gadjah Tunggal, Sjamsul Nursalim, sebagai tersangka. Lalu yang kedua terjadi pada Kamis, 26 Oktober 2000, tatkala Marzuki mengumumkan penundaan proses hukum terhadap 21 pengutang terbesar di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Keputusan pertama menimbulkan berbagai spekulasi, sedangkan keputusan kedua membuat khalayak bertanya, Jaksa Agung mau ke mana. Satu hal pasti, kebijakan yang diambil Marzuki berkait erat dengan pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid di Seoul dua pekan silam, yang meminta penundaan proses hukum bagi Marimutu Sinivasan (Grup Texmaco), Sjamsul Nursalim (Gadjah Tunggal), dan Prajogo Pangestu (Barito/Chandra Asri).

Menurut Presiden, ketiganya diberi penundaan karena perusahaan mereka menjadi penggerak ekspor Indonesia. Mendengar "pembelaan" ini, kontan berbagai protes menggebrak pemerintah. Situasi bisa berbalik dan jadi bumerang. Soalnya, Presiden dituding punya agenda sendiri dengan mengabaikan hukum dan rasa keadilan masyarakat. "Mereka dibutuhkan oleh siapa, oleh Gus Dur atau oleh rakyat? Itu dalih yang tidak masuk akal," kata Ketua MPR Amien Rais.

Bahkan, ekonom Sjahrir melangkah lebih jauh. Aktivis mahasiswa 1974 ini berusaha menggalang pendapat umum ke satu tujuan: mengganti Presiden Abdurrahman Wahid secara konstitusional. "Pernyataan itu menunjukkan Presiden tidak mengerti hukum," kata Sjahrir, Senin lalu. Di tengah tekanan yang bertubi-tubi itulah, tiba-tiba Marzuki Darusman menunda proses hukum 21 konglomerat, meskipun sempat menjadikan Sjamsul sebagai tersangka kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kebijakan Presiden tampaknya bertolak dari sikap yang menafikan data dan akurasi penelitian. Soalnya, kalau saja Presiden menelusuri hasil audit BPK, di situ jelas dipaparkan adanya penyelewengan BLBI yang dilakukan Sjamsul. Dalam laporan BPK yang dirilis Juli lalu terungkap, BDNI menyelewengkan Rp 24,5 triliun dari Rp 37 triliun BLBI yang diterimanya. Dari jumlah itu, sepertiganya dipakai untuk pembayaran valuta asing.

Begitu pula Sinivasan dan Prajogo, yang menyebabkan sejumlah bank nyaris kolaps. Utang Sinivasan yang macet di BPPN kini mencapai Rp 19,8 triliun atau hampir separuh subsidi BBM pada tahun anggaran 2000, yang mencapai Rp 44 triliun. Utang Prajogo tak kalah besarnya, sekitar Rp 9,8 triliun.

Dengan reputasi mereka yang seburuk itu, seharusnya Presiden Abdurrahman tidak perlu turun tangan, repot-repot membantu tiga konglomerat itu. Kalaupun perusahaan mereka memang andalan ekspor Indonesia, tentu perusahaan itulah yang diselamatkan. Tapi tidak para pemiliknya, yang justru secara kasat mata telah melanggar Undang-Undang Perbankan. Gara-gara mereka pulalah, rakyat Indonesia harus merelakan dana Rp 45 triliun untuk membayar bunga obligasi pemerintah.

Katakanlah perusahaannya perlu diselamatkan, maka bukan berarti pemiliknya yang ama harus disantuni. Apalagi perusahaan itu kini sudah berada di bawah kuasa pemerintah alias BPPN. Satu-satunya tindakan yang harus diambil pemerintah adalah mengajukan tiga konglomerat itu ke pengadilan.

Namun, tak ada salahnya menyorot "isi perut" tiga perusahaan yang telanjur dipuji oleh Gus Dur itu. Benarkah kinerjanya hebat dan menyilaukan? Berikut ini kinerja Texmaco, Barito, dan Gadjah Tunggal.

Marimutu Sinivasan

Pengusaha tekstil kelahiran Medan ini memang dikenal liat dan jarang berada jauh dari kekuasaan. Pada zaman Soeharto, Sinivasan mendapat kredit ekspor senilai Rp 9,8 triliun. Selain itu, Polysindo Eka Perkasa dan Texmaco Perkasa Engineering juga mendapat fasilitas tax holiday. Sedangkan pada zaman Habibie, Texmaco memperoleh kemudahan dalam pembayaran kredit ekspor tersebut. Fasilitas tax holiday juga masih diterima.

Pada zaman Abdurrahman Wahid, Grup Texmaco pun seolah tak pernah kehilangan oase. Kelompok usaha yang bergerak di bidang tekstil dan produk tekstil serta engineering (rekayasa) ini mendapatkan fasilitas berganda. Selain memperoleh kredit ekspor senilai US$ 96 juta (Rp 700 miliar), restrukturisasi utang Texmaco juga "menguntungkan" Sinivasan karena dia masih mendapatkan saham 30 persen plus peluang untuk membeli kembali perusahaannya, setelah utangnya lunas.

Benarkah Texmaco menjadi salah satu lokomotif ekspor? Berdasarkan penjelasan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Beny Sutrisno, ekspor Texmaco rata-rata per tahunnya US$ 200 juta dan hanya menduduki peringkat ke-8 dalam barisan eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT). Jumlah itu kira-kira hanya 2 persen dari total nilai ekspor TPT Indonesia yang mencapai US$ 7-8 miliar per tahun.

Memang, Sinivasan pernah mengungkapkan bahwa jika semua investasinya oke, ekspor Texmaco dalam lima tahun ke depan akan mencapai US$ 2 miliar. Sebagian besar (60 persen) akan disumbang ke divisi rekayasa. Tapi banyak pihak yang tak yakin proyeksi itu tercapai. Pertama, utang Texmaco sangat besar, sekitar Rp 19,5 triliun di BPPN dan utang luar negerinya US$ 1,7 miliar. Kedua, di pasar internasional, produk rekayasa Texmaco harus bersaing dengan produk AS, Jerman, Jepang, dan negara industri baru seperti Korea Selatan dan Cina.

Dengan prospek sesuram itu, sulit untuk percaya bagaimana Texmaco bisa keluar dari bayang-bayang utang yang mahabesar itu. Dan lagi, dalam tiga tahun terakhir, perusahaan andalan Texmaco semuanya merugi. Jika kondisinya seperti itu, pantaskah Texmaco dibela?

Selain prospek bisnisnya yang suram, niat baik Sinivasan—sebagai debitor—layak dipertanyakan. Soalnya, sebelum meneken nota kesepahaman (MoU) restrukturisasi utang, Texmaco kabarnya sempat menjual 60 persen sahamnya di Trevira GmbH. Menurut Deputi Kepala BPPN, Irwansyah Siregar, BPPN sedang meneliti masalah itu. Jika betul, Texmaco berarti telah melanggar kesepakatan karena seluruh proses jual beli anak perusahaan Texmaco harus setahu BPPN.

Prajogo Pangestu

Sebagai pengusaha, Prajogo bisa dibilang jarang tampil di depan publik. Tapi, dalam perkara lobi, Prajogo salah satu jagonya. Beberapa bisnisnya punya cantelan kuat dengan pusat kekuasaan. Salah satu yang fenomenal adalah Chandra Asri. Di proyek petrokimia dengan investasi US$ 1,67 miliar ini, Prajogo menggandeng Bambang Trihatmodjo, putra ketiga mantan presiden Soeharto. Namun, bisnis utamanya adalah industri kehutanan dengan bendera Barito Pacific.

Kalau Presiden Abdurrahman Wahid membicarakan ekspor Prajogo, pastilah yang dimaksudkannya adalah Barito Pacific. Selama ini, hampir seluruh produk kayu lapis Barito memang untuk ekspor. Berdasarkan laporan keuangan 1999, ekspor Barito diperkirakan US$ 200 juta. Sebagai perusahaan tunggal, ekspor Barito memang tergolong besar. Tapi, jika dibandingkan dengan total ekspor kayu lapis Indonesia, sumbangan Barito kurang dari 10 persen.

Tentu adalah keliru jika Presiden Abdurrahman Wahid hanya melihat Prajogo dari kaca mata Barito, tanpa mempertimbangkan Chandra Asri. Bagaimanapun, Chandra Asri memang besar dan berkembang di tangan Prajogo. Namun, masalah Chandra Asri jauh melebihi manfaat yang diperoleh dari Barito. Jika dirupiahkan, utang Chandra Asri dan Grup Barito kepada BPPN mencapai Rp 9,8 triliun.

Kelemahannya yang lain ada pada kualitas olefin yang dihasilkan Chandra Asri, yang hanya mampu bersaing dengan produk impor berkat belas kasihan pemerintah—yang memberlakukan bea masuk tinggi untuk olefin impor. Jika tak dibantu pemerintah, boleh jadi Chandra Asri sudah tutup sejak dibuka pada 1995. Sampai akhir tahun lalu, Chandra Asri tak pernah untung dan total kerugiannya mencapai US$ 650 juta. Karena itu, apa yang membuat Presiden sampai membela Prajogo habis-habisan?

Sjamsul Nursalim

Cita-cita Sjamsul Nursalim mendirikan Dipasena memang layak diacungi jempol. Bos Grup Gadjah Tunggal ini berniat membangun tambak udang terbesar di dunia dengan luas konsesi 97 ribu hektare atau satu setengah kali DKI Jakarta. Tapi sampai kini pemilik Grup Gadjah Tunggal ini baru membangun sekitar 16 ribu hektare. Untuk membangun tambaknya, Sjamsul mengajak 11 ribu petambak udang dan seluruh hasilnya diekspor.

Malang tak dapat ditolak, krisis menghantam usaha Sjamsul dengan telak. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ditutup dan dia harus membayar kewajibannya senilai Rp 28,5 triliun. Sjamsul membayar tunai Rp 1 triliun, kekurangannya dibayar dengan menyerahkan saham 12 anak perusahaannya. "Saya kini cuma jadi pegawai BPPN," kata Sjamsul.

Lalu apa yang membuat Presiden Abdurrahman Wahid sangat terkesan dengan ekspor Gadjah Tunggal? Kepada TEMPO, Sjamsul yakin bahwa tambak udangnya akan mampu mengekspor sekitar US$ 400 juta, tahun depan. Jika digabung dengan pabrik yang lain, termasuk ban dan kimia, kata Sjamsul, "Kami akan bisa mengekspor US$ 1 miliar." Benarkah?

Kalau menilik kinerja ekspornya selama 1999, agaknya sulit bagi Gadjah Tunggal memenuhi target itu. Lihat saja laporan keuangan Gadjah Tunggal. Pada 1999, ekspornya sekitar Rp 1,2 triliun atau US$ 150 juta. Sedangkan ekspor Dipasena hanya US$ 105 juta. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan itu juga masih merugi. Jika begitu, alasan apa lagi yang akan dikemukakan Presiden Abdurrahman?

M. Taufiqurohman, Wenseslaus Manggut, I G.G. Maha Adi

Kewajiban Tiga Konglomerat

Nama GrupPemilikJumlah Kewajiban (Rp miliar)Jenis Kewajiban
Texmaco Marimutu Sinivasan19.500Kredit macet
Barito dan Chandra AsriPrajogo Pangestu9.800Kredit macet
BDNISjamsul Nursalim27.500BLBI

Kinerja Ekspor Konglomerat

Nama GrupJenis ProdukPemilikEkspor (US$ juta)Ekspor Produk Sejenis (US$ uta)Keterangan
Texmaco Tekstil dan Produk TekstilMarimutu Sinivasan200 7.000-8.000Angka rata-rata per tahun
Barito PacificKayu LapisPrajogo Pangestu2002.2541999
DipasenaUdangSjamsul Nursalim105 9671999

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus