Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Persekutuan Para Koboi

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Restoran Club Bimasena di Hotel Darmawangsa, Jakarta, suatu malam di bulan Mei 2000. Sejumlah lelaki muda, sekitar 40 tahunan, duduk berkumpul. Sambil menyeruput sari jeruk, mereka asyik mendengarkan keterangan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi—dua menteri yang baru dicopot dari kabinet Abdurrahman Wahid. Tampak hadir di antaranya anggota DPR asal Partai Golkar, Ade Komarudin dan A. Haviz Zawawi. Juga tampak Alvin Lie (Partai Amanat Nasional), Zulvan Lindan, Didik Supriyanto (PDI-P), Hamdan Zoelva (Partai Bulan Bintang), Ahmad Muqowam, Surya Dharma Ali (PPP), dan Mudahan Hazdie (Partai Daulat Umat).

Inilah untuk pertama kalinya anggota DPR dari berbagai partai itu menjalin keakraban. Majalah TEMPO ketika itu menggelari mereka Kelompok Koboi. Tidak ada alasan khusus kecuali hanya untuk memberi identifikasi. Soalnya, lebih dari sekadar arena kumpul-kumpul, kelompok ini ternyata punya posisi tawar politik yang tak kecil. Mereka datang dari berbagai partai, tapi mampu menjadi jembatan kepentingan partai politik, dan bersatu dalam sikap kritis terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Prestasi awal Kelompok Koboi adalah mengumpulkan tanda tangan anggota DPR untuk mengegolkan hak interpelasi guna mempertanyakan pemecatan Kalla dan Laksamana Sukardi. Hanya dalam 11 hari, mereka bisa mengumpulkan 277 tanda tangan—jumlah yang cukup untuk memaksa Abdurrahman Wahid datang ke DPR menjelaskan masalah ini. Selanjutnya, melalui panitia khusus skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei, kelompok ini berniat membuktikan keterlibatan Abdurrahman, bahkan menggiring Presiden ke arena sidang istimewa.

Padahal, sebelumnya, anggota Kelompok Koboi tak saling kenal. Mereka datang dari daerah dan latar belakang politik yang berbeda. Ade Komarudin, misalnya, adalah anggota DPR dari Jawa Barat dan bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam. Alvin Lie adalah bekas dosen Universitas Diponegoro dan anggota PAN dari Semarang. Herry Akhmadi juga dari PDI-P dan bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB. "Kami baru saling kenal, ya, di DPR ini," kata Alvin.

Setelah pertemuan di Hotel Darmawangsa, Kelompok Koboi kerap berkumpul. Lokasi rapat dilakukan berpindah-pindah. Kadang-kadang di restoran di Hotel Regent, lalu di Holiday Inn, hingga Restoran Anai Park di Hotel Boulevard, Slipi, Jakarta. Karena informal, tak ada yang jadi cukong. Uang dirogoh dari kocek masing-masing. "Kami selalu berpindah. Tidak enak, soalnya kita selalu dicurigai macam-macam, sih," kata Alvin Lie.

Materi diskusi dalam pertemuan mereka—meski banyak diselingi senda-gurau—memang bisa membuat merah kuping pemerintah. Ketika dulu Menteri Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rozy Munir akan mengadakah rapat dengan DPR, materi pertanyaan dewan dibahas bersama oleh Kelompok Koboi. Dalam skandal Bulog, Kelompok Koboi kerap bertemu untuk menguji data yang mereka peroleh perihal keterlibatan Presiden Abdurrahman.

Tapi, persekutuan itu tidak membuat anggota Kelompok Koboi tercabut dari partainya masing-masing. Apa pun yang mereka bicarakan, biasanya selalu dilaporkan kepada ketua partai. "Yang dilakukan kelompok ini adalah melengkapi lobi antarpimpinan partai," kata Alvin.

Lobi Kelompok Koboi di tingkat bawah inilah yang terasa penting di tengah sulitnya upaya menyatukan pendapat partai di tingkat ketua. Dalam banyak hal, Ketua PDI-P Megawati, Ketua Golkar Akbar Tandjung, dan pentolan Poros Tengah Amien Rais sulit bersatu suara. Dalam menyikapi kinerja Presiden, saat Akbar dan Amien bersuara keras, Megawati justru bersuara tak tegas.

Selain lobi di jajaran prajurit, Kelompok Koboi juga terbukti efektif sebagai sarana kontrol. Ketika Rabu lalu Akbar Tandjung bertemu Abdurrahman dan pengusaha Marimutu Sinivasan di rumah seorang pegurus Golkar, anggota Kelompok Koboi dari partai lain berteriak, "Gimana tuh bos elu, De?" Ade Komarudin lalu mengonfirmasikan berita ini kepada Akbar. Menurut Akbar, dia diundang Abdurrahman dan tidak tahu bahwa di tempat itu sudah ada Sinivasan.

Saat ini, nyaris semua keputusan DPR telah menjadi pembahasan Kelompok Koboi. Karena saling dukung, menurut Alvin, beberapa anggota DPR yang tak pernah muncul dalam pertemuan Kelompok Koboi kini rajin ikut-ikutan. "Lucunya, banyak anggota DPR yang mengaku-aku sebagai anggota Gang Koboi supaya didengarkan di rapat," kata Alvin, geli. Alvin boleh bangga. Dari semula hanya ajang kongko-kongko anak muda, Kelompok Koboi kini punya gigi.

Tapi, bagaimanapun, Kelompok Koboi tentu saja adalah kelompok informal. Pada akhirnya keputusan partai akan ditentukan oleh pimpinan tertinggi. Tapi, paling tidak Kelompok Koboi bisa membuktikan bahwa tak selamanya politisi partai tidak bisa akur.

Arif Zulkifli, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus