Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENARKAH Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlibat skandal Bulog? Jawaban pertanyaan itu kini sedang ditelisik oleh Panitia Khusus DPR. Pengakuan Soewondo, tersangka sekaligus saksi kunci skandal itu, bahwa Presiden bersih dari campur tangan skandal Bulog tidak menyurutkan langkah mereka. "Kami masih punya bukti dan saksi lain yang perlu diklarifikasi," ujar Alvin Lie, anggota Pansus asal Partai Amanat Nasional.
Di sisi lain, proses penangkapan tersangka kunci itu juga memunculkan tanda tanya. Jangan-jangan ia memang sengaja dimunculkan untuk menghapus jejak orang Istana dalam skandal Buloggate. Pengakuan awal bahwa Soewondo tidak mengenal Presiden Abdurrahman Wahidbelakangan, itu diralatnya sendirijuga menguatkan dugaan itu.
Selain itu, pernyataan polisi bahwa Presiden bersih dari noda skandal Bulog juga patut dicurigai. "Dari pemeriksaan, kami mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak punya kaitan dengan kasus Soewondo," kata Kadispen Polri, Brigjen Saleh Saaf. Pernyataan itu dibuat tidak lama setelah pria yang pernah populer sebagai "tukang pijat presiden" itu tertangkap. Padahal, pengusutan kasus itu sendiri sebenarnya bisa dibilang belum tuntas benar.
Wajar jika ada kecurigaan bahwa polisi sengaja memagari kasus Bulog agar tidak meluas sampai ke kalangan Istana. Sumber TEMPO, seorang anggota DPR, menerima informasi bahwa Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Suroyo Bimantoro, bertandang ke rumah Jenderal Rusdihardjo pada pertengahan Oktober lalu. Maksud kunjungan itu meminta agar Rusdihardjo tidak bicara banyak, apalagi membawa nama Presiden. Bahkan, kalau perlu, ia diminta menutupi kasus tersebut. Permintaan Bimantoro tersebut ditolak oleh mantan Kapolri itu. "Jika dipanggil Pansus, Rusdihardjo akan mengemukakan apa yang dia tahu," kata sumber yang mewanti-wanti agar namanya tidak disebut itu.
Adanya permintaan bernuansa tekanan itu dibantah Bimantoro. "Saya memang pernah bertemu Pak Rusdihardjo saat resepsi hajat mantu Wakil Presiden (23 Oktober 2000)," katanya kepada Adi Sutarwijono dari TEMPO. Dalam pertemuan singkat itu, menurut Bimantoro, mereka hanya saling menanyakan kabar dan bersalaman.
Penegasan serupa dilontarkan Kadispen Polri Brigjen Saleh Saaf. "Tidak ada kebijakan Kapolri untuk mendikte Pak Rusdihardjo agar tidak bicara tentang kasus Bulog," katanya. Bahkan, polisi mempersilakan Rusdihardjo untuk bicara. "Beliau kan memang pernah menangani perkara tersebut," ujarnya.
Pertanyaannya, cukupkah menyimpulkan Presiden tidak terlibat hanya dari pengakuan Soewondo saja? Jelas tidak. Apalagi ucapan pedagang barang antik itu tidak hanya janggal, tetapi juga bertabrakan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi yang lain, bahkan pengakuan Presiden sendiri di depan Komisi III DPR. "Hanya satu jawabannya, Soewondo itu penipu," Saleh Saaf menegaskan.
Sejumlah misteri memang belum terjawab hingga kini. Mengapa Presiden membicarakan dana nonbujeter Bulog dengan Sapuan, bukan dengan Jusuf Kalla, Kepala Bulog? Siapa yang merancang pertemuan tanggal 7 Januari 2000 itu: Sapuan, Soewondo, atau memang perintah Presiden sendiri? Keterangan saksi Buloggate punya jawaban yang berbeda-beda soal itu.
Presiden Abdurrahman membenarkan dirinya pernah bertemu Sapuan, meski tidak ingat kapan waktunya. Dalam pertemuan itu ia melontarkan pertanyaan tentang dana nonbujeter milik Bulog. Saat itu mantan wakil kepala Bulog, Sapuan, menjawab ada tetapi pengeluarannya harus melalui keputusan presiden (keppres). "Walah, kalau dengan keppres, panjang lagi urusannya," ujar Presiden, menjawab pertanyaan anggota DPR dari Komisi III, awal Juni lalu. Gus Dur mengaku tidak tahu atas inisiatif siapa pertemuan itu. Selain itu, kata Presiden, Soewondo tidak lagi berhubungan sejak ia menjadi presiden.
Menurut Sapuan, pertemuan antara dia dan Gus Dur itu terjadi atas perantaraan Soewondo. Maksud kunjungan ke Istana itu untuk menegaskan apa benar Presiden berniat menggunakan dana nonbujeter Bulog untuk kasus Aceh, seperti yang disampaikan Soewondo kepadanya. "Waktu itu beliau menjawab ya," kata Sapuan kepada anggota DPR, awal Juni silam. Dalam pertemuan empat mata itu pula, ia menyarankan agar Abdurrahman Wahid mengeluarkan keppres jika ingin memakai uang tersebut. Saat itu, tidak ada jawaban dari Abdurrahman Wahid.
Versi lain datang dari Soewondo. Menurut dia, sejak Abdurrahman Wahid jadi presiden, ia tidak lagi berhubungan dengannya. "Keinginan bertemu Presiden itu murni dari Sapuan," ujarnya. Kendati demikian, ia mengaku bahwa sebelum ke Istana, Sapuan bertandang ke rumahnya. Soewondo menyarankan agar Sapuan menemui Presiden sendiri.
Meski berbeda versi, Sapuan membenarkan ia berangkat ke Istana dari rumah Soewondo. Tidak jelas apakah ia bersama kolega bisnisnya itu saat ke Istana. "Menjelang magrib (selepas dari Istana), Soewondo mengatakan kepada saya bahwa permintaan untuk menerbitkan keppres ditolak Presiden," ujar Sapuan.
Pertemuan di rumah Soewondo diakui Tety Nursetiati. Kepada polisi, istri tersangka kunci itu membenarkan bahwa selama bulan Ramadan, Januari laluIdul Fitri jatuh pada 9 Januari 2000Sapuan dua kali bertandang ke rumahnya. Selain itu, Tety pernah mengatakan kepada wartawan bahwa memang ada pertemuan antara suaminya dan Presiden. "Bapak pernah bercerita kepada saya bahwa dirinya bertemu Gus Dur di Istana," ujarnya. Namun, Soewondo tidak menceritakan apa isi pertemuan itu kepada istrinya.
Pertanyaannya, mengapa Sapuan "minta izin" Soewondo untuk bertemu Presiden. Jelas, sebelumnya ada "sesuatu" antara Soewondo dan Presiden Abdurrahman.
"Aneh" yang lain adalah bahwa permintaan agar dana nonbujeter Bulog digunakan untuk Aceh ternyata bukan pertama kali diutarakan Presiden. Menurut Jusuf Kalla, pada Desember 1999 saat menghadap Presiden, hal itu juga disampaikan Abdurrahman Wahid kepadanya. Seperti juga Sapuan, Jusuf Kallasaat itu menjadi Kepala Bulogmenyarankan ada perintah tertulis dari Presiden. Nasihat itu tidak ditanggapi Presiden. Persoalan itu kemudian tidak dibicarakan lagi. Mengapa saat bertemu dengan Sapuan permintaan itu diulangi lagi?
Keengganan Presiden Abdurrahman mengeluarkan keppres, seperti yang dituturkannya sendiri kepada polisi, adalah karena masyarakat Aceh tidak sudi menerima bantuan yang asalnya dari negara. Dengan terbitnya keppres, bantuan itu menjadi atas nama negara.
Kejanggalan lain adalah munculnya nama Siti Farikha dalam aliran dana Yanatera itu. Pengusaha asal Semarang itu pada 13 Maret 2000 menerima cek Bank Bukopin dengan angka nominal Rp 5 miliar dari Aris Junaidi. Surat berharga bernomor AA 530601 tertanggal 13 Januari 2000 dan bercap Yanatera itu menurut Farikha merupakan bukti penyertaan dana dari Aris Junaidi, kawan lamanya sejak mahasiswa. Dua sahabat itu rencananya melakukan kerja sama bisnis pada Juni 2000.
Lantas, dari mana Aris Junaidi memperoleh cek Yanatera itu? Kepada polisi, ia mengaku dana itu sebagai pinjaman berbunga rendah dari temannya, Soewondo. Mengapa Soewondo meminjamkan uang itu kepada Aris Junaidi dengan bunga rendah, sementaraseperti pengakuannya sendiriuang milik Yanatera itu pinjaman bisnis?
Belum terjawab teka-teki itu, belakangan Siti Farikha mengembalikan dana Rp 5 miliar itu kepada polisi. Alasannya, ia baru tahu dana itu dari Yanatera setelah kasus itu diekspos oleh media massa, tiga bulan setelah ia menerima cek tersebut. Pengakuan tidak tahu itu juga aneh, mengingat pada cek jelas tertera cap Yanatera. Lagi pula, jika itu hubungan bisnis biasa dengan Aris Junaidi, mengapa ia harus mengembalikan?
Anehnyasulit mengatakan itu sebuah kebetulanSiti Farikha dan Aris Junaidi dikenal punya hubungan baik dengan Presiden. Abdurrahman Wahid sendiri juga mengaku kenal baik dengan Farikha. Bahkan, sebelum menjadi presiden, dia beberapa kali berkunjung ke rumah Farikha di Semarang.
Soal lain yang masih menjadi tanda tanya adalah peranan Alwi Shihab. Menurut Jusuf Kalla, menjelang serah-terima jabatan Kabulog kepada Rizal Ramli, 3 Juni lalu, Alwi menelepon menanyakan soal dana tersebut. Saat diberi tahu bahwa memang benar ada dana Yanatera senilai Rp 35 miliar mengucur kepada Soewondo, Alwi mengatakanseperti ditirukan Kalla"berarti dana itu belum sampai semua."
Mengapa Alwi Shihab sebagai Menteri Luar Negeri ikut sibuk memonitor pencairan dana itu? Adakah ia memang diperintah Presiden menanyakan hal itu kepada Jusuf Kalla? Masih gelap. Alwi sendiri, selain membantah terlibat dalam kasus Bulog, juga mengaku tidak pernah menanyakan dana Yanatera melalui telepon kepada Jusuf Kalla.
Johan Budi S.P., Adi Prasetya, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo