Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Menjual Ayat Dengan Harga Murah

MUHAMMADIYAH berada di ambang pusaran politik praktis.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ahmad Syafii Maarif -TEMPO/Yovita Amalia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amien Rais, penasihat pimpinan pusat organisasi kemasyarakatan Islam itu, mengultimatum pengurus sekarang agar menentukan arah dukungan pada pemilihan presiden 2019. Lengkap dengan ancaman menjewer Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, jika tidak menjalankan anjurannya.

Haedar menjawab Amien—Ketua Umum PP Muhammadiyah 1995-1998 yang kini tergabung dalam Dewan Pembina Badan Pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno—dengan menyatakan Muhammadiyah tetap berpegang pada khitahnya sebagai organisasi nonpartisan. Dengan perkiraan anggota sekitar 30 juta orang dan aset lebih dari Rp 300 triliun, Muhammadiyah memang selalu jadi rebutan.

Ahmad Syafii Maarif, ketua umum periode 1998-2005, mendukung sikap Haedar. Muhammadiyah memang harus menjaga jarak dengan politik, sesuai dengan hasil Muktamar 1971. Intelektual dan ulama 83 tahun itu mengatakan politikus sah-sah saja berebut pengaruh. “Tapi jangan merusak rumah Muhammadiyah,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Iqbal Muhtarom, Jumat pekan lalu.

Pria yang lebih dikenal dengan panggilan Buya Syafii—mengacu pada gelar ulama di Minangkabau, tanah kelahirannya—itu juga berbicara tentang penilaiannya terhadap Presiden Joko Widodo, hubungannya dengan Prabowo Subianto, dan kesannya terhadap Rizieq Syihab. “Saya tidak percaya habib punya kedudukan lebih tinggi. Islam mengajarkan egaliter,” katanya dalam wawancara yang berlangsung bakda salat Jumat di Masjid Nogotirto, sekitar 50 meter dari rumahnya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid itu diresmikan pada 1989 oleh Presiden Soeharto, yang dulu kerap Maarif kritik.

Perlukah organisasi kemasyarakatan Islam mengambil sikap politik menjelang pemilihan presiden?

Sebagai ormas, lebih baik memasuki ranah politik tinggi, yaitu yang mengutamakan moral dan kebenaran. Bukan soal memilih siapa. Urusan memilih serahkan kepada hati nurani dan pertimbangan masing-masing.

Bukankah keputusan pemimpin ormas bisa memberikan kepastian bagi anggota yang masih bimbang?

Beri petunjuk umum saja. Mengimbau para anggotanya supaya jangan golput. Meminta anggota memilih calon yang bisa memperbaiki bangsa dan negara ini. Petunjuk yang normatif tapi punya roh.

Ada batasan mana yang boleh dan tidak?

Politik tinggi adalah politik yang mengutamakan koridor moral. Ada ukuran baik dan buruk yang harus dipertimbangkan. Dengan demikian, politik uang dan sebagainya harus dihindarkan, walaupun itu susah karena sudah mewabah sampai ke pemilihan kepala desa. Kalau pimpinan memihak, warga belum tentu setuju. Tapi, demi taat kepada pemimpin, mereka ikuti walaupun merasa tidak enak.

Lantas mengapa Amien Rais mendesak Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersikap pada pemilihan presiden 2019?

Biarkan saja. Itu kan Amien. Dia sudah menjadi politikus. Amien itu pendiri dan sekarang jadi penasihat partai tertentu. Jadi itu omongan Amien sebagai politikus.

Bagaimana Anda menanggapi ultimatum tersebut?

Saya bukan politikus. Saya rasa menyuruh Muhammadiyah supaya berpihak bukan sesuatu yang benar.

Apakah pernyataan sikap Haedar Nashir sudah tepat?

Memang harus begitu. Sikap Muhammadiyah sejak 1971, di muktamar Makassar, adalah menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik dan semua kegiatan politik.

Perbedaan pandangan Anda dan Amien membuat warga Muhammadiyah terpecah?

Warga Muhammadiyah makin cerdas. Biarkan mereka memilih, mana yang masih setia kepada cita-cita Muhammadiyah, kepada keputusan muktamar. Sebab, warga Muhammadiyah masuk ke macam-macam partai. Ada di PAN, Golkar, Gerindra, dan lain-lain. Mungkin yang tidak ada hanya di PKB, ha-ha-ha…. Sebagai insan politik, oke saja. Tapi jangan merusak rumah Muhammadiyah. Politikus memang selalu ingin menang, ingin berkuasa. Tidak selalu taat pada prinsip yang kami tegakkan.

Sejak dulu Muhammadiyah selalu nonpartisan?

Muhammadiyah pernah menjadi anggota istimewa sebuah partai politik. Pada Pemilu 1955, Muhammadiyah berpihak pada Masyumi. Seperti yang kita ketahui, Masyumi didirikan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, Persatuan Islam, dan kelompok-kelompok lain yang lebih kecil. Tapi yang bertahan sampai Masyumi dibubarkan pada 1960 hanya Muhammadiyah dan Persis.

Saat itu pengurus menyuruh warganya memilih Masyumi?

Ya, memang begitu. Waktu itu ada pertarungan, bukan hanya ideologi, tapi juga soal dasar negara. Islam atau Pancasila. Muhammadiyah tentunya memilih Islam. Waktu itu Indonesia masih di bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang membolehkan usul dasar dan filsafat negara selain Pancasila. Waktu itu sah.

Apa yang membuat Muhammadiyah menjaga jarak dengan politik sejak 1971?

Karena pengalaman empiris. Ketika anggota sudah masuk politik, biasanya Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan Islam agak telantar. Kadang-kadang juga terjadi konflik internal. Politik selalu begitu. Berebut rezeki, berebut macam-macam. Kadang-kadang berebutnya atas nama agama juga, pakai dalil dan segala macam.

Saat Anda menjadi ketua, bukankah Muhammadiyah berpihak pada Amien Rais saat dia mencalonkan diri pada pemilihan presiden 2004?

Memang tidak mutlak menjaga jarak dengan politik. Waktu Amien maju di pemilihan presiden 2004, kami mendukung dia, ha-ha-ha…. Kami, dengan segala kelemahan, mengakui itu. Saya banyak mendapat kritik waktu itu.

Bentuknya imbauan?

Imbauan. Namun warga Muhammadiyah terbuka dan relatif lebih terdidik. Jadi belum tentu mereka ikuti imbauan itu. Waktu itu, saya memberi tahu Pak Amien Rais bahwa dia harus mencari suara di luar Muhammadiyah, karena suara Muhammadiyah maksimal hanya 20 juta. Hasilnya, seperti kita ketahui, Amien hanya di peringkat keempat.

Apakah terbukti 20 juta warga Muhammadiyah mengikuti imbauan Anda?

Cukup tinggi, tapi tidak semua warga Muhammadiyah memilih Amien.

Survei menyatakan lebih dari 60 persen warga Muhammadiyah mendukung Prabowo pada pemilihan presiden 2019, sementara Presiden Joko Widodo unggul di kalangan NU. Tanggapan Anda?

Belum tentu. Saya rasa agak sama suara warga kedua ormas.

Apa yang membuat Anda menyangsikannya?

Semua masih bisa berubah. Waktu Jokowi dikabarkan akan menggandeng Mahfud Md., angka pendukung Jokowi di Muhammadiyah tinggi sekali. Tapi, setelah calon wakil presiden diganti, angkanya turun. Tapi pemilihan masih agak lama. Pada 19 November lalu, Jokowi meresmikan masjid Universitas Muhammadiyah Lamongan. Pada hari itu juga dia menghadiri Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Sidoarjo. Nanti, barangkali, tanggal 6 Desember Jokowi akan menghadiri milad Madrasah Muallimin di Wirobrajan, Yogyakarta, yang ke-100.

Mungkinkah Jokowi merangkul Muhammadiyah karena merasa dukungan kepadanya minim?

Enggak juga. Itu tugas dia sebagai presiden. Toh, warga NU juga tidak satu suara. Jadi hasil survei seperti itu belum bisa kita pegang.

Bagaimana menjaga Muhammadiyah bebas dari tarik-menarik politik?

Muhammadiyah tidak bisa bebas dari politik. Sebab, warganya diberi kebebasan memilih. Hanya, sebagai organisasi, tidak boleh menentukan sikap dan memihak. Kalau Muhammadiyah partisan, NU partisan, tidak sehat bagi perkembangan demokrasi.

Benarkah total nilai aset Muhammadiyah mencapai Rp 320 triliun?

Saya rasa iya, karena asetnya terlalu banyak. Rumah sakit saja hampir 500.

Adakah kepemilikan pribadi di antara sekian banyak rumah sakit itu?

Kalau pakai nama Muhammadiyah, pasti milik organisasi. Di organisasi lain kadang ada yang pakai namanya saja, tapi milik pribadi. Di Muhammadiyah tidak. Itulah bedanya kami. Ada otonomi di pimpinan daerah dalam mengelola amal usaha. Kadang mereka tak mampu mengelolanya, sehingga ditarik ke tingkat provinsi atau pimpinan pusat. Biasanya karena konflik pengurus. Apalagi kalau amal usaha itu sudah kaya, banyak menimbulkan perebutan, walaupun itu tidak sehat secara moral. Tapi warga Muhammadiyah kan manusia biasa.

Suara dan aset besar ini yang membuat Muhammadiyah selalu jadi rebutan dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden?

Ya.

Perebutan pengaruh itu sampai membuat Muhammadiyah tertekan?

Tidak ada. Siapa yang menekan? Amien Rais tidak bisa menekan. Setelah muncul desakan supaya Muhammadiyah berpihak, sudah ada balasan dari Haedar, dan pimpinan lain, termasuk unsur kelompok mahasiswa dan pemuda. Semua meminta Muhammadiyah menjaga netralitas organisasi.

Dibanding sebelumnya, apakah tarik-menarik pada pemilihan presiden sekarang lebih kuat?

Biasa saja. Saya melihat pimpinan pusat sudah menyadarkan warga bahwa pemilihan jangan dianggap sebagai sesuatu yang dahsyat. Ini proses biasa dalam sistem demokrasi. Kalau tidak suka pemimpin yang sekarang, tunggu lima tahun lagi. Jadi demokrasi mendidik orang agar sabar. Tidak boleh mengkudeta dan sebagainya.

Apakah polarisasi masyarakat pada pemilihan presiden 2014 akan terulang pada 2019?

Sudah berkurang. Puncaknya dalam pemilihan Gubernur DKI 2017.

Apa indikasinya?

Sekarang isu agama tidak begitu keras. Sesungguhnya bukan isu agama yang menjadi masalah, tapi penyalahgunaan agama untuk tujuan politik pragmatis jangka pendek. Tujuan yang sesungguhnya duniawi. Itu dilarang dalam Al-Quran, “Jangan menjual ayat dengan harga murah.” Aturan agama sangat jelas, tapi orang Islam belum tentu mengacu pada itu.

Presiden Jokowi kerap mendapat tudingan menzalimi Islam. Tanggapan Anda?

Apa yang dizalimi? Itu tuduhan yang menurut saya tidak punya alasan kuat. Asal ngomong saja.

Misalnya mereka menyebut kasus Rizieq Syihab sebagai kriminalisasi ulama….

Kalau soal itu, siapa saja yang diduga bersalah memang harus diproses hukum. Bukan hanya Rizieq. Lagi pula, saya enggak percaya Rizieq itu ulama besar.

Tapi dia punya banyak pengikut….

Massa banyak kan belum tentu berpikir. Bayangkan, dulu ada baliho di kantor Front Pembela Islam. Ada gambar sekelompok orang yang disebut manusia liberal, termasuk budayawan Goenawan Mohamad. Tahu nama saya ditulis apa? Syafii Iblis Maarif. Kalau begitu modelnya, apa alasan saya untuk percaya omongan Rizieq? Saya juga tidak percaya bahwa habib—keturunan Nabi Muhammad SAW—punya kedudukan lebih tinggi. No way. Islam mengajarkan egaliter.

Faktanya ramai orang, termasuk sejumlah petinggi, sowan ke Rizieq di Mekah?

Itu namanya bagian dari peradaban politik yang rendah. Saya tidak usah menyebut nama siapa saja yang mendatanginya.

Presiden Jokowi mengatakan Anda sering memberinya masukan. Apa saja?

Tidak juga. Itu cerita saja. Kejadiannya tidak selalu begitu, ha-ha-ha…. Jangan dianggap saya dekat dengan Jokowi. Memang, di saat-saat kritis, waktu Komisaris Jenderal Budi Gunawan hendak diangkat menjadi Kepala Kepolisian RI pada 2015, kami agak sering berkomunikasi. Waktu itu saya ditunjuk menjadi Ketua Tim Sembilan (pendamai kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri), yang tidak dikasih surat keputusan pengangkatan, ha-ha-ha….

Belakangan, Jokowi kerap mengusung terminologi keras seperti “tabok” dan “sontoloyo”. Komentar Anda?

Saya rasa Jokowi harus mengerem diri. Jangan diimbangi kalau pihak sebelah menyerang. Cukup dijawab dengan sopan. Jangan menari di atas genderang orang lain. Jokowi harus lebih berhati-hati. Kalau tidak, bisa menjadi senjata makan tuan.

Ada indikasi Jokowi terpancing?

Kadang-kadang, tidak selalu.

Anda tidak menasihati Jokowi?

Kalau dia tidak minta, tidak saya nasi­hati, ha-ha-ha….

Sebagai anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), bukankah Anda punya akses ke Presiden?

Sewaktu saya diminta masuk Dewan Pertimbangan Presiden, saya ndak mau. Tapi, di BPIP, saya mau karena ingin meluruskan kiblat bangsa. Pancasila ini mendasar sekali. Yang dimuliakan, dielu-elukan dalam kata, tapi dikhianati dalam perbuatan. Tujuan kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan ketertiban umum. Yang terjadi malah ketimpangan sosial makin tajam dan ekonomi masih begini, karena pemimpin kita tidak setia pada Pancasila.

Termasuk Presiden Jokowi?

Dia sudah berusaha. Arahnya sudah benar, tapi dia tidak berdaya menghadapi neoliberalisme. Saya rasa para menteri tidak semuanya menjalankan apa yang diperintahkan Jokowi. Apalagi pada direktorat jenderal ke bawah. Birokrasi kita ini sudah gawat. Saya sedikit paham setelah masuk BPIP. Haduh, ternyata begini. Memang birokrasi kita ini belum modern.

Buya Syafii Maarif saat dikunjungi Ma’ruf Amin di Gamping, Sleman, Yogyakarta, 15 Oktober lalu. -ANTARA/Hendra Nurdiyansyah

Bagaimana penilaian Anda terhadap empat tahun pemerintahan Jokowi?

Saya rasa di bidang ekonomi kurang berhasil. Begitu juga pembantu-pembantunya, banyak yang dipilih tidak berdasarkan kompetensi, tapi mengakomodasi partai politik, sehingga menjadi kabinet presidensial tapi juga parlementer, he-he-he….

Layak berlanjut ke periode kedua?

Itu tergantung Tempo, ha-ha-ha….

Seperti apa hubungan Anda dengan Prabowo Subianto?

September lalu, saya meminta Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani dipertemukan dengan Prabowo, tapi tidak ada jawaban. Saya kenal Prabowo sekitar awal 2000-an. Kami ke Libya menemui Muammar Qadhafi, pemimpin Libya. Ada Amien Rais, saya, pengusaha Maher Algadri, Prabowo, dan Muchdi Pr.

Bertemu dengan Qadhafi untuk keperluan apa?

Biasalah. Mereka kan dagang minyak. Saya dan Amien yang mempertemukan karena kami kenal Qadhafi. Dari Tripoli, rombongan terdiri atas beberapa mobil. Saya semobil berdua dengan Prabowo. Sopirnya gila semua. Kecepatan mobil sampai 160 kilometer per jam. Saya tanya Prabowo, yang duduk di sebelah kanan saya, “Anda sudah siap mati, Jenderal? Soalnya sopir ini gila sekali.” Dia jawab, “Belum.” Ha-ha-ha…. Kami juga umrah bersama. Jadi Prabowo bukan sosok asing bagi saya.

Apa pesan yang hendak Anda sampaikan kepada Prabowo?

Nasihat saya, demokrasi harus diselamatkan, dikelola dengan baik, bertarung secara fair dan beradab. Kalau tidak, rusaklah negeri ini.

Mengapa Anda menolak peraturan daerah syariah?

Perda syariah itu bermuatan politis. Itu tidak hanya dilakukan partai Islam, tapi juga partai sekuler untuk kepentingan tokoh lokal. Itu tertulis di buku Politics of Shari’a Law hasil penelitian Michael Buehler, Indonesianis asal Inggris. Kalau bicara syariah, tidak bisa main-main, tujuannya untuk menegakkan keadilan. Merata untuk semua orang, tidak melihat agama. Itulah tujuan syariah, bukan sekadar isu politik yang ecek- ecek.

Pendukung perda syariah mengatakan ini bagian dari mengamalkan agama….

Halah, saya tidak percaya perkataan itu. Biarlah beragama menjadi kesadaran masyarakat. Kalau beragama diperintah-perintah begitu, orang bisa menjauh dari agama. Yang beragama itu masyarakat, bukan negara, pemerintah daerah, atau satuan polisi pamong praja.

Maarif Institute menggelar riset tentang indeks kota islami dan mendapati banyak daerah yang memiliki perda syariah berada di urutan paling bawah. Bagaimana penjelasannya?

Artinya perilaku orang-orang itu tidak mencerminkan ajaran Islam yang benar, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, seperti yang tertulis di Surat Al-Anbiya 107. Ini juga terjadi di tingkat negara. Negara paling islami adalah Selandia Baru. Negara-negara Arab di urutan kesekian.

Omongan seperti ini bisa membuat Anda dilaporkan ke polisi seperti Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia....

Dia diperiksa polisi karena ada yang mengadukan. Saya sudah lama menolak perda syariah, belum ada yang mengadukan, he-he-he….

 


 

Ahmad Syafii Maarif

Tempat dan tanggal lahir:

Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935

 

Pendidikan:

- Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta (1956)

- Sarjana Muda Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto, Surakarta (1964)

- Sarjana Sejarah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (1968)

- Master Sejarah Ohio University, Amerika Serikat (1980)

- Doktor Pemikiran Islam, Chicago University (1983)

 

Pekerjaan, di antaranya:

- Guru di sekolah Muhammadiyah, Lombok Timur (1957-1959)

- Dosen Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (1967-1969)

- Pemimpin Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah (1988-1990)

- Dosen senior di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994)

- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2000 dan 2000-2005)

- Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2018-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus