Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surat Sang Penyelundup Senjata

John Lie memimpin kapal yang berisi komoditas dari Nusantara untuk ditukar dengan senjata di luar negeri.

1 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Laksamana Muda Purnawirawan Jahja Daniel Dharma atau John Lie di Jakarta, 1983. -Dok.TEMPO/James R. Lapian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT bertanggal 10 September 1948 itu menyiratkan nada kekhawatiran. Surat yang dikirimkan oleh perwakilan Indonesia di Singapura itu meminta John Lie Tjeng Tjoan alias Jahja Daniel Dharma menghentikan berbagai operasi penyelundupan yang dilakukannya dengan kapal ML 833. Dalam surat itu tertulis, ”Dengan hormat, mengingat bertambah gentingnya suasana di sini, maka sekali lagi kami peringatkan kepada Tuan supaya jangan sekali-kali membawa penumpang dan barang-barang yang tidak mempunyai permit.”

Menurut pendiri Museum Pustaka Per-anakan Tionghoa yang menyimpan surat itu, Azmi Abubakar, John Lie memang dikenal sebagai sosok pemberani. Sejak bergabung dengan Angkatan Laut pada pertengahan 1946, pria keturunan Tiong-hoa yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, itu tercatat paling sedikit melakukan 15 kali operasi penyelundupan dengan kapal ML 833, yang kerap disebut The Outlaw. ”Pada masa revolusi, John Lie berperan dalam menembus blokade laut Belanda,” kata Azmi saat dihubungi pada Ahad pekan lalu.

Petualangan John Lie di Angkatan Laut dimulai ketika ia bergabung dengan korps yang dulu bernama Badan Keamanan Rakyat Laut tersebut pada 1946. Saat itu, pria kelahiran 11 Maret 1911 ini baru saja kembali ke Tanah Air setelah bekerja di perusahaan pelayaran milik Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij, dan dipekerjakan oleh Angkatan Laut Inggris untuk menyalurkan logistik kepada kapal-kapal Sekutu selama Perang Dunia II. Ketika akhirnya bergabung dengan militer, ia ditempatkan di Cilacap.

Suatu hari pada 1947, John Lie di-tugasi menolong kapal Inggris yang kandas di perairan Cilacap. Tiba-tiba armada Belanda muncul. Karena sebagian besar pelabuhan di Indonesia sudah dikuasai Belanda, John Lie melarikan diri ke Singapura. Di kota inilah petualangan John Lie sebagai penyelundup senjata dimulai. Di sana dia diberi tugas mencari senjata dan menyelundupkannya ke Tanah Air. Dengan The Outlaw, ia membawa senjata ke Labuhan Deli, Sumatera Utara, di tengah kepungan patroli Belanda. Dari sana, senjata itu dibawa ke Bukittinggi, Sumatera Barat, dan disebarkan ke seluruh Indonesia.

Pada 1948, setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, John Lie mengalihkan operasinya ke utara, yakni Aceh-Penang (Malaysia)-Phuket (Thailand). Selama di Aceh, dia sering disokong pemerintah setempat untuk melancarkan aksinya menukar komoditas dalam negeri dengan senjata di luar negeri. Dalam surat dinas dari Kepala Jawatan Bea dan Cukai Aceh kepada semua anak buahnya di kantor cabang pada 29 Maret 1949 yang ditembuskan kepada John Lie tertulis, ”Supaya kepada Paduka Tuan John Lie diberi bantuan seperlunya apabila dimintanya.”

Berkat jasanya itu, seperti dikutip dari buku Membongkar Manipulasi Sejarah, John Lie dipanggil ke Surabaya pada 1950 untuk bertugas sebagai Komandan KRI Rajawali. Pada 1957, dia diberi mandat sebagai Komandan KRI Gajah Mada. Dalam operasi penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, John Lie memimpin Amphibious Task -Force 17 dengan enam kapal perang dan satu batalion KKO. Sedangkan dalam operasi penumpasan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), dia memimpin Amphibious Task Force 25 dengan 17 kapal perang dan satu batalion KKO.

Di sela-sela tugasnya itu, John Lie selalu menyempatkan diri berkomunikasi dengan istrinya, Margareth Angkuw, yang merupakan seorang pendeta. Lewat surat, ia menceritakan semua hal yang di-alaminya kepada Margareth, seperti yang dipamerkan dalam pameran ”Surat Pendiri Bangsa” di Museum Nasional, Jakarta, pada 10-22 November 2018. Dalam surat bertanggal 20 Januari 1958, John Lie menulis, ”My dearest Margareth, saya telah terima banyak kartu Natal yang indah dari Mayor Wagiman dan Kapten Sam dan Sutjipto dari Italia.”

Dalam surat itu, John Lie juga menyempilkan sebuah ayat dari Alkitab, yakni dari Surat Kedua Paulus kepada Timotius. Ia memang dikenal sebagai sosok yang religius. Di masa tuanya pun John Lie banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan gereja. Dalam surat-suratnya yang tersimpan di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Tangerang, Banten, John Lie terlihat banyak membantu kegiatan gereja, seperti di Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku. Tak mengherankan bila wartawan-wartawan asing menjulukinya ”penyelundup senjata dengan Alkitab di tangan kiri”.

ANGELINA ANJAR SAWITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus