Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri itu menyambangi kediaman Tuti Tursilawati, tenaga kerja Indonesia yang dihukum mati di Arab Saudi pada 29 Oktober lalu. Dia mesti mengabari keluarga Tuti soal eksekusi tersebut.
Mendampingi proses hukum Tuti sejak 2012, Iqbal memiliki hubungan dekat dengan Iti Sarniti, ibunda Tuti. Dia tiba di rumah Iti di Majalengka, Jawa Barat, pada pukul 1 dinihari. Seluruh emosi dan tenaga dia kerahkan untuk membendung air mata saat perempuan yang dianggapnya ibu kedua itu menangis dan pingsan. “Saya butuh dua minggu untuk menyembuhkan luka psikologis saya,” katanya dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Reza Maulana dan Angelina Anjar, Kamis pekan lalu.
Sepuluh tahun terakhir, empat buruh migran Indonesia dihukum pancung di Arab Saudi tanpa notifikasi. Selain Tuti, mereka adalah Siti Zaenab, asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, yang dieksekusi pada 14 April 2015; Karni binti Medi Tarsim, asal Brebes, Jawa Tengah, pada 16 April 2015; dan Muhammad Zaini Misrin, asal Bangkalan, pada 18 Maret lalu. Di negeri kaya minyak itu, 13 warga Indonesia berada di bui dengan ancaman hukuman mati.
Dalam wawancara dua jam di ruang kerjanya, Iqbal, 46 tahun, menyesalkan langkah pemerintah Arab Saudi yang tak memberi tahu Kedutaan Besar Indonesia di Riyadh sebelum mengeksekusi Tuti, meski Arab Saudi tak berkewajiban memberikan notifikasi. “Mereka punya hukum sendiri yang harus kita hormati,” ujar pria yang menguasai bahasa Inggris, Arab, dan Rumania ini. Diplomat yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Turki mulai tahun depan ini juga angkat bicara tentang kasus yang menimpa pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, di Mekah.
Kapan Kementerian Luar Negeri mendapat kabar eksekusi Tuti Tursilawati?
Pada 28 Oktober, sehari sebelum eksekusi, kami mendapat informasi dari kawan-kawan di Konsulat Jenderal di Jeddah bahwa baru saja Tuti menelepon dan meminta dibuatkan paspor. Kami merasa itu aneh. Untuk apa orang yang sedang dipenjara meminta paspor? Kami pun meminta staf di sana mengunjungi Tuti. Keesokan harinya, 29 Oktober, pukul 10.00 waktu setempat, staf kami tiba di penjara di Kota Tha’if. Ternyata Tuti sudah dieksekusi pukul 09.00. Jadi staf kami ikut menyalatkan dan memakamkan almarhumah.
Jenazah Tuti tidak dikembalikan kepada keluarga?
Tidak. Dalam sistem hukum Arab Saudi, semua yang dihukum mati langsung dimakamkan di sana.
Anda mengabarkannya ke keluarga Tuti?
Ya. Itu bagian terberat buat saya.
Mengapa?
Hubungan saya dengan Ibu Iti Sarniti, ibunda Tuti, sangat dekat. Saya sudah seperti anaknya sendiri. Sewaktu saya akan mengikuti fit and proper test Duta Besar untuk Turki, salah satu yang saya telepon adalah Ibu Iti, minta didoakan. Kedekatan ini sebenarnya tidak diperbolehkan dalam sistem perlindungan warga negara. Harus menjaga jarak psikologis. Tapi hubungan saya dengan Ibu Iti sudah telanjur dekat. Ternyata, dua pekan sebelum eksekusi, Tuti menelepon ibunya, bercerita akan ke Jeddah untuk membuat paspor. Jadi, ketika saya datang ke kediaman mereka di Majalengka malam itu, Bu Iti menyangka saya akan membawa kabar baik. Dia menyambut saya dengan gembira. Saya perlu dua jam sampai bisa menyampaikan situasi yang sebenarnya.
Apa reaksi Iti?
Menangis dan pingsan. Untung ada keponakannya yang mendampingi. Sebenarnya dia sudah lama tahu Tuti akan dieksekusi. Tapi dia tetaplah seorang ibu.
Anda juga menangis?
Saya tidak boleh menangis. Saya harus menenangkan orang, jadi harus tenang. Itulah beratnya. Beban berat emosional juga muncul saat saya harus menghadapi media dan lainnya siang harinya. Saya harus berpura-pura tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal itu bukan situasi emosional saya. Setelah itu, saya butuh dua minggu untuk penyembuhan psikologis saya sendiri.
Berapa kali Anda bertemu dengan Tuti?
Saya menemuinya tiga kali di penjara, bersama ibunya. Dia anak baik. Dia satu dari sedikit tahanan yang tidak pernah berbuat ulah di penjara. Dia hanya sial, berada di situasi yang salah dan memberikan respons yang salah.
Sehingga divonis hukuman mati?
Ada tiga jenis hukuman mati di Arab Saudi. Pertama, takzir, yang paling rendah. Pelaku bisa mendapat pengampunan dari raja. Ini bisa menjadi alat ukur keberhasilan upaya diplomasi kita dengan pemerintah Arab Saudi. Menurut data kami, pada 2011-2018, 100 persen penerima hukuman mati takzir bisa dibebaskan. Kedua, kisas. Pelaku hanya bisa mendapat pengampunan dari ahli waris korban. Ini tidak ada urusannya dengan diplomasi karena pendekatan dilakukan kepada ahli waris korban. Ketiga, hadd ghillah, yang paling berat. Pelaku hanya bisa mendapat pengampunan dari Allah SWT. Jadi kita hanya bisa membebaskan pelaku melalui proses hukum. Hukuman Tuti termasuk hadd ghillah.
Mengapa Tuti bisa mendapat hukuman mati terberat?
Karena hakim memutuskan pembunuhannya berencana. Dalam persidangan, Tuti pernah menyebut kata “menunggu”. Memang betul, ayah majikan Tuti sering melakukan pelecehan seksual terhadap dia. Tapi pelecehan seksual dan pembunuhan terjadi dalam waktu yang berlainan. Akan berbeda ceritanya jika dia dilecehkan dan melakukan perlawanan saat itu juga. Hal lain yang memberatkan adalah Tuti memukul ayah majikannya dari belakang sehingga tidak bisa melawan. Kemudian Tuti pernah melihat kayu yang dia gunakan untuk membunuh. Ini dianggap sebagai persiapan. Tuti bekerja sebagai caregiver korban. Jadi korban adalah orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Terakhir, pemukulannya berkali-kali sehingga disimpulkan niat Tuti adalah membunuh.
Apa upaya yang telah dilakukan Kementerian Luar Negeri untuk membebaskan Tuti?
Kami sudah menempuh tiga kali banding dan dua kali peninjauan kembali. Awalnya Tuti menerima hukuman mati kisas. Tapi, dalam peninjauan kembali yang pertama, justru ditemukan fakta baru yang memberatkan, yakni Tuti menunggu ayah majikannya pulang dari salat subuh sebelum melancarkan aksinya. Karena itu, hukumannya menjadi hadd ghillah. Kami pun mengajukan peninjauan kembali yang kedua. Semua hakim diganti dan pemeriksaan dimulai dari awal lagi. Tapi, karena fakta hukumnya tidak berubah, hukumannya sama. Kami sudah persiapkan Tuti dengan jawaban-jawaban yang bisa meringankannya. Namun persidangan berjalan natural sekali, makin banyak yang dia ingat, memunculkan fakta yang memberatkannya. Dia polos sekali.
Mengapa eksekusi Tuti dilakukan tanpa notifikasi kepada perwakilan Indonesia?
Dalam sistem hukum Arab Saudi, tidak ada kewajiban pemerintah memberikan notifikasi ketika menghukum mati. Tidak hanya kepada Indonesia, tapi kepada semua negara, bahkan kepada warga negaranya sendiri. Notifikasi hanya diberikan kepada lembaga pemaafan, kepala penjara, jaksa penuntut, hakim, dan ahli waris korban. Mereka harus hadir saat eksekusi karena, di saat terakhir sebelum eksekusi, hakim akan bertanya kepada ahli waris korban, “Apakah kamu memaafkan dia?” Satu saja dari banyak ahli waris memaafkan, eksekusi batal. Kalau mereka diam, dieksekusi. Dalam kasus Tuti, ahli waris korban sudah lepas tangan sejak awal. Mereka tidak tergerak sampai eksekusi.
Indonesia paling dirugikan karena banyak pekerja migran kita tersandung hukum di Arab Saudi?
Tidak juga. Lebih banyak orang Pakistan, Bangladesh, dan India. Bedanya cara pandang terhadap kasus itu. Pakistan dan India, misalnya, ketika warganya menghadapi hukuman mati, masyarakatnya cuma berpikir hal itu tanggung jawab pelaku. Berbeda dengan Indonesia, yang melihat kejadian yang melatarbelakangi kejahatan itu.
Bukankah pelaksanaan hukuman mati tanpa notifikasi melanggar Konvensi Wina 1963?
Tidak melanggar hukum internasional, tapi kebiasaan internasional. Konvensi Wina menyebutkan pemberitahuan itu sebagai norma, bukan kewajiban. Bunyinya, kalau ada warga asing yang melanggar hukum di suatu negara, seyogianya negara itu memberi tahu perwakilan negara orang itu. Namanya consular notification. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, memprakarsai mandatory consular notification, MCN, secara bilateral. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi baru saja mengusulkan kepada Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir untuk membuat perjanjian tersebut, seminggu sebelum eksekusi Tuti.
Arab Saudi setuju?
Mereka mempertimbangkan. Kami bisa memahami persoalan mereka. Mereka tidak punya MCN dengan negara mana pun. Buat mereka, perjanjian itu unik.
Sejumlah pihak menganggap keberatan Indonesia tidak digubris Arab Saudi. Tanggapan Anda?
Kalau dilihat sepintas, ya, seperti tidak digubris. Tapi, di kanal diplomatik, kami tahu bagaimana kami beroperasi. Ibu Menlu selalu mengirimkan surat protes dan akhirnya membuahkan hasil. Awalnya Arab Saudi tidak memberikan notifikasi, baik sebelum maupun setelah eksekusi. Protes terkait dengan eksekusi Siti Zaenab dan Karni pada 2015 membuahkan hasil untuk eksekusi Zaini Misrin dan Tuti. Mereka memberikan notifikasi pasca-eksekusi. Jadi ada perubahan secara gradual. Ini sistem yang sudah mereka anut sekian ratus tahun, kami tidak mungkin bisa mengubah dalam semalam. Mudah-mudahan apa yang kami lakukan terkait dengan eksekusi Zaini Misrin dan Tuti akan berbuah dalam kesempatan yang lain.
Dampaknya nyaris tidak terasa....
Prinsipnya, kita harus menghormati hukum setempat. Dalam konteks Saudi, apa yang mereka lakukan sesuai dengan hukum nasionalnya. Kita tidak bisa mengintervensi. Tapi kita bisa memberikan tekanan sedikit demi sedikit. Mereka juga ingin menyesuaikan perilakunya dengan kebiasaan internasional. Buktinya, memberikan notifikasi sesudah eksekusi. Dalam kasus Tuti, petang harinya mereka terbitkan notifikasi.
Benarkah Indonesia tidak bisa memprotes lebih keras karena terbentur berbagai kepentingan, termasuk kuota haji?
Hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi memang sangat multidimensional. Ada dimensi haji, umrah, Ka’bah, umat Islam, dan sebagainya. Tapi, terkait dengan protes kepada Arab Saudi, kami benar-benar berfokus memikirkan WNI dan mengesampingkan hal-hal lain.
Masih ada 13 TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Bagaimana perkembangan kasusnya?
Yang kritis hanya satu, kasus Eti binti Toyib asal Majalengka. Hukumannya kisas. Hakim sudah meminta ahli waris korban menyampaikan persyaratan pemberian ampunan secara tertulis kepada keluarga Eti. Dalam setahun sejak keluarnya persyaratan tersebut, Eti harus memenuhinya. Tapi, sampai saat ini, kami belum menerima persyaratan itu. Jadi prosesnya masih agak panjang.
Lalu Muhammad Iqbal (ketiga dari kiri), di gedung kantornya di Jakarta, Agustus 2016. -Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Persyaratan itu termasuk diyat atau uang denda?
Pembayaran diyat adalah masalah antara pelaku dan ahli waris korban. Negara tidak masuk ke situ karena prinsip perlindungan WNI adalah negara tidak mengambil alih tanggung jawab pidana ataupun perdata seseorang. Tapi kami harus memastikan hak-hak dalam proses hukum terpenuhi. Karena itu, kami mempertemukan keluarga Eti dengan ahli waris korban. Kami sampaikan kepada ahli waris korban bahwa keluarga pelaku adalah orang miskin. Kami memperlihatkan foto rumah keluarga Eti yang hanya berupa gubuk. Anak Eti pun terpaksa merantau ke Jakarta dan berjualan siomai. Jadi jangan mengharapkan diyat.
Berapa uang diyat yang diminta?
Kami sudah bertemu dengan lembaga pemaafan untuk berbicara kepada ahli waris korban agar mereka mau memberikan pengampunan. Hasilnya, awalnya mereka meminta 20 juta riyal, turun menjadi 15 juta riyal (sekitar Rp 58 miliar), 10 juta riyal (Rp 38 miliar), dan terakhir 5 juta riyal (Rp 20 miliar). Mudah-mudahan hati ahli waris korban tersentuh sehingga diyat bisa terus turun, syukur-syukur nol. Untuk mengantisipasi jika akhirnya Eti tetap harus membayar diyat, kami memfasilitasi keluarga Eti menuliskan surat dan meneruskannya kepada para dermawan di Arab Saudi.
Upaya ini pernah berhasil?
Banyak orang baik di Arab Saudi. Contohnya dalam pembebasan Satinah asal Ungaran, Jawa Tengah, pada 2014. Kami menerima 1,6 juta riyal, sekitar Rp 5 miliar, hanya dari seorang dermawan. Saya bertemu langsung dengan dia, yang tidak mau dikutip namanya. Dia tidak punya hubungan apa pun dengan Indonesia. Lillahita’ala.
Mengapa banyak TKI tersandung kasus hukum?
Sekitar 80 persen persoalan TKI di luar negeri bermula dari ketidakberesan tata kelola dan persiapan di dalam negeri. Hingga 2017, sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja bisa memiliki agen, balai latihan kerja, klinik, sampai biro perjalanannya. Seharusnya pembekalan TKI yang ditempatkan di Timur Tengah minimal 600 jam. Tapi, baru tiga malam di situ, mereka sudah berangkat karena balai latihan kerjanya langsung mengeluarkan sertifikat. Lalu, tanpa pemeriksaan kesehatan, punya surat keterangan sehat. Sampai saat ini pun tidak ada perusahaan pengerah tenaga kerja yang mengirimkan formulir AN-05 kepada perwakilan. Padahal itu kewajiban dalam undang-undang. Formulir itu penting karena berisi identitas TKI yang dikirim, kapan dia berangkat dan pulang, serta identitas majikannya. Karena kami tidak memiliki data itu, ketika terjadi sesuatu, kami tidak bisa memberikan respons yang cepat.
Bagaimana status hukum Rizieq Syihab di Arab Saudi?
Saya mengikuti konferensi pers Duta Besar Arab Saudi Osama bin Mohammed Abdullah al-Shuaibi kemarin (Rabu pekan lalu). Dia mengatakan tidak ada masalah terkait dengan kasus bendera. Dia sudah dibebaskan. Malah beliau yang tadinya terlapor berubah menjadi pelapor. Ini permintaan penegak hukum Arab Saudi yang ingin mengetahui siapa yang memasang bendera itu. Tapi kami tidak tahu status hukum mengenai masalah lainnya.
Masalah apa?
Mungkin soal keimigrasian atau soal lainnya, kami tidak tahu. Tapi, faktanya, beliau masih berada di Arab Saudi. Sejauh ini tidak ada laporan ataupun permintaan pendampingan. Saat beliau ke kantor polisi, ada staf KJRI yang mendampingi. Kami tidak membebaskan. Adapun soal bebasnya beliau, itu dengan jaminan.
Rizieq membantah penjaminan dan pendampingan itu….
Mungkin beliau tidak membaca dokumen penjaminannya. Setiap ada dokumen yang ditandatangani WNI, staf KJRI akan membacanya lebih dulu untuk memastikan WNI tersebut memahami isinya. Dokumen itu juga akan ditandatangani warga negara Arab Saudi yang menjadi penjamin.
Siapa penjamin itu?
Salah satu teman dekat beliau di sana.
Rizieq juga menyanggah adanya penyergapan dan penggeledahan dalam kasus ini….
Memang tidak ada. Saat sedang tidur, tiba-tiba beliau didatangi intelijen yang mendapat laporan dari seseorang lewat saluran darurat 911. Orang itu menyampaikan bahwa di rumah beliau ada bendera tersebut. Dia juga mengirimkan foto yang kemarin menjadi viral. Tapi, saat petugas datang, bendera itu sudah tidak ada.
Menurut Rizieq, bukan dia yang memasang bendera itu.…
Ya. Itu menurut pengakuan beliau dan keterangan polisi yang disampaikan kepada staf KJRI.
Lalu Muhammad Iqbal
Tempat dan tanggal lahir: Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 10 Juli 1972
Pendidikan: Pondok Pesantren Assalaam, Solo (1987-1991), Sarjana Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1991-1996), Master Hubungan Internasional Universitas Indonesia (1998-2000), Doktor Ilmu Politik Bucharest University (2001-2005)
Karier, di antaranya: Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (2014-sekarang), Kepala Subdirektorat Wilayah III Perlindungan Warga Negara Indonesia (2013-2014), Konselor Fungsi Politik Kedutaan Besar Republik Indonesia/Perutusan Tetap Republik Indonesia Wina (2008-2012), Sekretaris III Fungsi Penerangan dan Konsuler KBRI Bukarest (2001-2004), Anggota Staf Direktorat Asia-Pasifik (1998-2001)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo