Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sebuah Eksperimen, Berumur Setengah Abad

SEBUAH harapan yang nekat: Taman Ismail Marzuki didirikan di tahun 1968.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sebuah Eksperimen, Berumur Setengah Abad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah harapan yang nekat: Taman Ismail Marzuki didirikan di tahun 1968. Kini, 2018, pada usia setengah abad, harapan itu masih juga agak nekat—atau belum jelas bentuknya. Dilihat masa itu, juga kini, pusat kesenian itu sebuah eksperimen besar, berani, meskipun belum disepakati sejauh mana ia berharga.

Kita tahu kesenian sebuah kehidupan yang membingungkan bagi banyak orang di Indonesia: pejabat, birokrat, polisi, pengusaha, guru sekolah, ulama, orang ramai. Yang lazim dianggap seni pertunjukan terbatas pada jenis yang dipilih untuk meramaikan perhelatan resmi. Yang dianggap seni lukis karya-karya corak “Hindia Molek”: gunung, sawah, kembang, perempuan cantik.

Pendidikan di sekolah telah menyesatkan sampai hari ini. Dan apa boleh buat: kesenian Indonesia memang sebuah aneka ragam tanpa satu garis sejarah.

Para penelaah sering mencoba mengklasifikasikan karut-marut itu dengan label-label; tapi semua guyah. Ada yang cuma mengadopsi istilah sejarah Eropa yang sebenarnya tak kita alami (“ekspresionisme”, “realisme”...). Kategori “tradisional” dan “modern” juga dibuat seakan-akan ada unsur kronologi di dalam ekspresi. Tapi di mana akan kita letakkan ciptaan Cokot, seorang petani Bali abad ke-20, yang patungnya bisa dibandingkan dengan karya Giacometti dan Picasso? Di mana kita golongkan pementasan Slamet Gundono, yang dengan gamelan sederhana dan wayang seadanya mengiringi Serat Centhini dalam tafsir seorang penulis Prancis, Elisabeth Inandiak?

Kata “kontemporer” juga asal-asalan. Jika “kontemporer” berarti “sezaman kita”, atau sesuatu yang baru, komposisi gamelan Rahayu Supanggah untuk teater Robert Wilson I La Galigo dan opera Gandari Tony Prabowo berada dalam satu kelompok.

Bahasa dan pendekatan yang ada selalu tak memadai. Ini yang membuat pengertian “pusat kesenian”—tempat semua unsur seni berasal atau berujung—bisa dipersoalkan. Tapi mengejutkan bahwa setengah abad yang lalu Gubernur Ali Sadikin, seorang jenderal marinir yang mengaku tak tahu apa-apa tentang kesenian, memproduksi barang yang problematis itu dengan berani. Dan dengan niat yang terpuji.

Bagaimana mungkin?

Saya menulis ini sebagai catatan ingatan dari akhir tahun 1960-an:

Mungkin sejak awal 1968, sebuah kampanye kecil-kecilan dilancarkan, agar pemerintah DKI Jakarta membangun sebuah pusat kesenian.

Di baliknya para wartawan yang juga seniman dan seniman yang juga wartawan yang aktif menulis untuk mengegolkan ide itu: Arief Budiman, Arifin C. Noer, Salim Said, juga saya—di harian Kompas, Harian Kami, harian Angkatan Bersenjata, Pelopor, mungkin juga Sinar Harapan.

Kemudian saya dengar budayawan Ilen Suryanegara dan Ajip Rosidi—yang mengenal Ali Sadikin secara pribadi—juga berhasil meyakinkannya.

Cita-cita agar Indonesia memiliki pusat-pusat kesenian sudah lama diperam. Seingat saya, Oesman Effendi (pelukis) dan Trisno Sumardjo (perupa dan penerjemah Shakespeare) pernah menuliskan gagasan itu di sebuah majalah kebudayaan di awal 1950-an. Ketika di tahun 1966 Ali Sadikin diangkat jadi gubernur, dan Jakarta seperti dilahirkan kembali, dan pelbagai infrastruktur dibangun, cita-cita lama itu mulai disuarakan dengan harapan.

Juga dengan coba-coba.

PADA suatu hari di awal pemerintahan Ali Sadikin, setelah terminal bus pertama dibangun di Lapangan Banteng, ada sebuah pameran kecil di pojok. Dua-tiga buah kanvas seorang perupa dipasang. Pejabat kesenian waktu itu, M. Duyeh, mungkin bermaksud baik: membawa karya seni lebih dekat ke masyarakat luas; tapi ia tak cukup punya wibawa dan informasi. Yang dipilihnya karya seorang perupa dengan mutu yang meragukan.

Kejadian itu membuat para seniman Jakarta makin gencar suaranya: perlu ada tempat yang pantas dan terpadu untuk karya seni yang berkualitas.

Dan Gubernur “Bang” Ali mendengarkan. Sebuah pusat kesenian pun dirancang, dengan cepat.

Tapi persoalannya: siapa yang akan mengelola? Bagaimana mengisinya? Apa dan siapa yang akan berpameran atau mentas di sana?

Arief Budiman, yang banyak menulis tentang seni dan pemikiran, punya ide. Ia mengajak saya dan sejumlah teman menggagas adanya sebuah dewan yang punya wawasan, informasi, dan otoritas dalam memilih karya; ini kemudian yang jadi DKJ, Dewan Kesenian Jakarta. Menurut ide ini, yang patut disajikan di calon pusat kesenian itu jangan karya yang ditentukan kekuasaan politik dan kekuatan lain, misalnya perdagangan seni.

Waktu itu pengalaman masa “Demokrasi Terpimpin” yang berakhir di tahun 1966 masih membekas. Pengalaman itu buruk: kesenian diarahkan dan diawasi partai-partai, pejabat, birokrat, dan polisi. Banyak buku sastra tak boleh diedarkan, misalnya novel Mochtar Lubis dan S. Takdir Alisjahbana. Seni rupa yang bisa berpameran di tempat resmi hanya yang dianggap “revolusioner”. Film dari tangan Asrul Sani dan Usmar Ismail, Pagar Kawat Berduri, misalnya, diganyang Lekra dan nyaris dilarang beredar karena menunjukkan ada sipir penjara, orang Belanda, yang jadi sahabat seorang pejuang. Pengaruh “Barat” dicekal: Jim Adilimas, tokoh teater Bandung, mengadaptasi Hamlet dan terpaksa memakai judul Jaka Tumbal.

Itu sebabnya ide membangun pusat kesenian yang bebas dari intervensi kekuasaan kuat tertanam di antara kami. Bersama Arief Budiman, kami susun satu makalah yang mengusulkan cara pengelolaan pusat kesenian itu.

Usul itu diketik di tiga lembar kertas biru ukuran kuarto. Kami menyiapkannya di ruang depan Harian Kami di Kramat VIII, Jakarta. Di sana kami ikhtisarkan sebuah pendekatan yang baru dan praktis.

 ADA dua kesenian yang hidup di Jakarta.

Yang pertama, kesenian yang sudah punya dukungan sosial, dikenal dalam memori dan khazanah bersama. Kesenian ini lebih terarah untuk merawat dan melanjutkan luasnya komunikasi dengan publik pada umumnya. Ia punya zona yang lebih mudah ditempuh karena ia sudah jadi bagian kehidupan masyarakat. Ia tak berniat jadi “pembaharu”, tak tergerak inovasi, apalagi menggugah kreativitas peminatnya dengan sesekali mengejutkan. Wayang orang, pentas Srimulat, musik populer, dan tari pergaulan adalah contohnya.

Yang kedua, kesenian yang menjadikan dirinya sebuah eksperimen—dalam bentuk, isi, dan dalam hubungannya dengan peminat. Penjelajahan ekspresi baru jadi semangat dasarnya. Ia bisa berfungsi sebagai semacam laboratorium tempat kreasi yang tidak ada sebelumnya dicoba, diolah, disiapkan. Teater “minikata” Rendra, puisi Sutardji Calzoum Bachri, koreografi Huriah Adam, dan musik Slamet Abdul Sjukur adalah contoh-contohnya.

Tak banyak peminat di sini, sebagaimana sedikit orang yang menyukai dan mengikuti proses di laboratorium ilmu-ilmu. Meskipun demikian, kadang-kadang hasilnya berangsur-angsur punya gema di luar lingkaran kecil itu. Dalam sejarah seni rupa, misalnya, karya desain yang kini tersebar dalam produk komersial memungut hasil inovasi para seniman pelopor Kubisme atau Art Deco—yang di abad ke-20 sempat membingungkan orang ramai.

Kesenian jenis kedua ini, yang kurang pendukung, harus dibantu dengan dana dan fasilitas. Sementara musik dangdut dan film action tak butuh “perawatan” khusus, kesenian inovatif perlu sebuah sanctuary. Kalau tidak, ia akan hidup seret, bahkan punah. Pusat kesenian yang digagas Arief dan kawan-kawan diharapkan memfokuskan diri merawat energi inovatif itu.

Maka ia harus terbebas dari intervensi yang memencongkan tujuannya. Ia harus merdeka dari pengekangan kreativitas. Ia perlu dikelola orang-orang yang kenal baik dunia kesenian, yang bisa mengelola mutu artistik dengan independensi yang luas.

Dasar pemikiran itu kami tuangkan dalam makalah kami. Tiga halaman itu kemudian kami titipkan ke Christianto Wibisono, wartawan anggota Ikatan Pers Mahasiswa yang waktu itu bekerja dalam lingkup Harian Kami. Koran ini, dipimpin Nono Anwar Makarim, cukup berwibawa, dan Chris sering memberikan sumbangan ide ke pemerintah daerah. Arief dan saya dan teman-teman hanya mencoba-coba, tentu. Bang Ali belum kenal kami.

Pada suatu malam, di pertengahan tahun 1968, Gubernur mengundang seniman Jakarta berkumpul di rumah kediaman resmi di Jalan Taman Suropati. Saya tak tahu bagaimana aparat kota praja menentukan siapa yang diundang. Yang pasti saya dan Arief di sana. Juga generasi yang lebih tua: Trisno Sumardjo, Zaini, Asrul Sani, misalnya, dan beberapa tokoh perfilman, antara lain W.D. Mochtar. Ada sekitar 150 orang hadir.

Saya tak berharap banyak; menurut pengalaman, bila seniman berkumpul, umumnya tak ada yang dihasilkan. Lebih sering kata-kata dahsyat yang bersimpang-siur.

Betul juga. Saat para seniman diberi kesempatan berbicara, W.D. Mochtar berdiri. Ia membaca dari teks yang disiapkan, panjang. Ali Sadikin memberi isyarat agar pidato itu diperpendek. W.D. Mochtar, dengan wajah kaget, menurut. Segera setelah itu Gubernur sendiri yang berbicara.

Saya heran. Entah bagaimana prosesnya, apa yang diutarakan Bang Ali hampir persis yang kami tulis dalam makalah yang kami serahkan ke Christianto.

KEMUDIAN dibentuklah Dewan Kesenian Jakarta. Formatur yang ditunjuk—diketuai Asrul Sani, seingat saya—bertemu di rumah Mochtar Lubis di Jalan Bonang.

Arief Budiman sangat berperan dalam proses ini: ia berbicara terang dan logis, dan orang tahu ia tak punya kepentingan pribadi. Atas usulnya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) diketuai Trisno Sumardjo. Sang Ketua memimpin 25 orang anggota, antara lain Arief, Taufiq Ismail, Ajip Rosidi, Irawati Sudiarso, dan Toeti Heraty, dan saya juga ada dalam daftar. Semua dipilih para seniman sendiri. Pemerintah daerah hanya mengusulkan nama yang ternyata memang harus dicatat: I Wayan Diya, tokoh tari Bali di Jakarta, dan Sardono W. Kusumo, penari yang baru datang dari pendidikan di Amerika; ia anggota termuda.

Jumlah 25 itu besar, dengan alasan, cakupan kerja DKJ meliputi semua kegiatan seni di seluruh Ibu Kota. DKJ adalah penasihat Gubernur di bidang ini.

Sementara itu, pembangunan pusat kesenian berjalan terus. Para anggota Dewan yang datang dari seni pertunjukan sebenarnya agak kecewa melihat hasilnya: di gedung teaternya, akustik tak diperhatikan; fleksibilitas panggung tak ada. Wahyu Sihombing, aktor dan sutradara lulusan Akademi Teater Nasional Indonesia, mencoba mengoreksi kekeliruan arsitek dan pemborong. Saya kira ia berhasil mengusulkan perbaikan di sana-sini, tapi tak semua. TIM jadi pusat kesenian yang megah dengan gedung pertunjukan yang tanpa akustik yang siap.

Tapi dari sisi apa pun TIM satu produk yang historis. Inilah tempat pertama dalam sejarah Indonesia di mana pelbagai jenis ekspresi seni mendapat ruang yang luas, dengan dana yang memadai, disertai kebebasan kreatif yang cukup.

Kepemimpinan Ali Sadikin menentukan kondisi ini: ia tak gentar bereksperimen dengan proyek yang tak ada presedennya. Dan memang tak ada yang menentangnya. Mungkin orang tak berani, tapi lebih mungkin orang tak punya argumen yang cukup buat membantah.

Ali Sadikin, karismatis, dengan disiplin kerja yang keras dan temperamen tinggi, memang memberi kesan otoriter; tapi ia juga orang yang sangat percaya diri dan sebab itu tak takut dikritik dan dianggap tak tahu. Dengan dia kami mudah bertukar pikiran. Ia partner dan sekaligus protektor kegiatan kesenian di Taman Ismail Marzuki sejak awal sampai ia tak lagi jadi gubernur.

Di bawah Ali Sadikin, TIM menyaksikan masa keemasan seni pertunjukan dan seni yang lain. Di masa ini karya Rendra yang terbaik dipentaskan: adaptasinya yang memukau atas Hamlet, Macbeth, Oedipus. Di masa ini pula karya Arifin C. Noer, seperti Kapai-Kapai dan Tengul, diciptakan dan dipanggungkan. Putu Wijaya mempesona kita dengan lakon Aduh dan Dor. Di masa ini pula tokoh tari modern Sumatera Barat, Huriah Adam, meletakkan dasar pembaruannya—yang kemudian dilanjutkan Gusmiati Suid. Dan tentu saja Sardono W. Kusumo: ia menggubah Dongeng dari Dirah dan Samgita Pancasona.

Seni rupa, di ruang yang sebenarnya tak memenuhi syarat, memperlihatkan pameran yang bersejarah. Di sini para seniman muda mencetuskan dan memajang karya Gerakan Seni Rupa Baru; di sini pula mendiang Semsar Siahaan membuat karya instalasinya yang mengejutkan: halaman ruang pameran digali seperti parit dan kuburan, untuk mengingat kekerasan 1965.

Dalam sastra, Ajip Rosidi, dengan mendirikan penerbit Pustaka Jaya, memproduksi buku-buku sastra yang bermutu: novel Telegram Putu Wijaya, sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, terjemahan karya Hemingway dan Kawabata, dan satu daftar panjang judul yang tercatat dalam sejarah sastra kita.

EKSPERIMEN itu—usaha kerja sama antara kesenian dan kekuasaan—tak panjang umurnya. Di luar TIM, di luar status dan wibawa Ali Sadikin, ada kekuasaan lain yang makin takut akan kemerdekaan ekspresi. Dalam kancah “Orde Baru”, kemerdekaan adalah pinjaman dari kekuatan yang memegang titah.

Ketika Ali Sadikin tak lagi jadi gubernur—dan kami semua seperti berkabung—langkah-langkah represif dimulai. Gubernur baru, Tjokropranolo, adalah kepanjangan takhta Soeharto. Waktu itu saya sudah beberapa tahun tak lagi jadi anggota DKJ dan tak mengikuti rincian perkembangannya. Yang saya tahu: Rendra dilarang mentas, pegawai TIM dijadikan PNS, di antara anggota DKJ dimasukkan seorang birokrat yang bekerja untuk Jenderal Ali Moertopo, petinggi “Operasi Khusus”.

Berangsur-angsur, kehidupan di pusat kesenian itu paceklik. TIM kehilangan auranya. Tak ayal, berkembang tempat-tempat alternatif yang mencoba mengelak dari kekuasaan politik dan uang, misalnya Oncor di rumah aktor Ray Sahetapy dan kemudian Teater Utan Kayu—dengan hidup pas-pasan dan deg-degan.

Tempat-tempat alternatif ini pelan-pelan jadi substitusi, kalaupun bukan saingan, TIM. Ketika “Orde Baru” roboh dan kemerdekaan pulih, TIM memang tegak kembali. Tapi posisinya sebagai “pusat” tak bisa didapatkannya kembali. Ia tetap salah satu tempat yang penting, tapi bergeser. DKJ pun bukan lagi seperti di masa Ali Sadikin: penasihat utama gubernur di bidang seni.

Kini 50 tahun umurnya. Setengah abad memang bisa mengubah banyak hal, di dalam dan di luar. Tantangan TIM kini: bersediakah ia merevisi posisinya—tanpa merevisi cita-cita dasarnya: jadi tempat di mana inovasi sedikit nekat—dan karya yang bernilai lahir?

GOENAWAN MOHAMAD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus