Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Ketua Mahkamah Konstitusi: Makin Banyak yang Mengawasi Hakim Akan Makin Baik

Ketua MK Suhartoyo berusaha memulihkan kepercayaan publik terhadap MK yang terpuruk setelah kasus Anwar Usman.

7 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITRA Mahkamah Konstitusi terpuruk setelah mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum yang meloloskan anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, ikut Pemilu 2024. Sebelumnya, Gibran belum cukup umur karena ada ketentuan minimal usia 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden. Tapi, berkat putusan sidang yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, pasal itu diberi tambahan frasa “atau pernah terpilih dalam pemilihan umum”.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gibran yang menjabat Wali Kota Solo, Jawa Tengah, pun bisa memenuhi syarat menjadi kandidat pemilihan presiden pada Februari 2024. Presiden Jokowi menyorongkan anaknya itu menjadi calon wakil presiden bagi calon presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Anwar Usman tak lain adalah paman Gibran sejak menikahi Idayati, adik Jokowi, pada 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak dikeluarkannya putusan itu, Mahkamah Konstitusi diledek sebagai “Mahkamah Keluarga”. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersidang pada 7 November 2023 memutuskan memecat Anwar Usman dari kursi Ketua MK. Anwar juga dilarang terlibat dalam perkara perselisihan pemilihan presiden, pemilihan umum legislatif, dan pemilihan kepala daerah jika ada sengketa.

Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang berembuk dua hari setelah dikeluarkannya putusan MKMK memilih Suhartoyo sebagai pengganti Anwar. Ia adalah satu dari empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap permohonan mengubah Undang-Undang Pemilu tentang syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden.

Suhartoyo berpendapat Mahkamah Konstitusi seharusnya menolak permohonan itu karena penggugatnya, seorang mahasiswa Universitas Surakarta yang mengaku pengagum Gibran, tak punya kedudukan hukum (legal standing) yang kuat. Tapi suara mereka kalah karena lima hakim lain mengabulkan permohonan tersebut.

Selama satu jam, kepada Abdul Manan dari Tempo, Suhartoyo bercerita tentang putusan konstitusi yang mengancam demokrasi itu pada 21 Desember 2023. “Enggak bisa hilang bayangan itu. Kami dicurigai terus setelah putusan tersebut,” katanya dalam wawancara di kantornya. Untuk alur dan kejelasan, wawancara ini disunting seperlunya.

Menurut Anda, apa yang membuat citra Mahkamah Konstitusi terpuruk: putusan Undang-Undang Pemilu atau putusan etik Majelis Kehormatan?

Itu kan satu kesatuan. Enggak bisa dipisahkan. Sudah menjadi perspektif umum bahwa pasti Mahkamah Konstitusi sedang mengalami kemerosotan sangat tajam soal kepercayaan publik sebagai dampak putusan itu. Jadi tantangan di depan mata adalah bagaimana supaya kepercayaan itu bisa pulih. Hampir semua yang ada dalam rekomendasi MKMK itu kami jadikan prioritas. Pertama, hal-hal kecil seperti sidang sering tidak tepat waktu, itu sudah kami perbaiki. Sekarang 15 menit sebelum sidang hakim sudah turun dari ruang kerja. Jangan sampai ada keterlambatan lagi. Kecuali memang ada hal-hal seperti ada sidang sebelumnya yang belum selesai.

Kedua, dulu sebelum membahas perkara hakim harus sudah membuat pendapat hukum (legal opinion). Belakangan, ini tidak begitu konsisten. Setelah menjadi Ketua MK, saya membuat template-template baru sehingga semua hakim harus sudah berpendapat ketika masuk di ruang pembahasan perkara. Nanti baru di situ akselerasi, apakah ada yang bergeser menyesuaikan dengan pendapat hakim lain atau tetap kemudian dijadikan argumen untuk concurring atau untuk dissenting. Jadi tidak terkesan ada hakim menyontek pendapat hakim sebelumnya.

Padahal pendapat hukum itu krusial....

Selama ini agak mandek. Ini kami berdayakan lagi. 

Apa saja upaya Anda memperbaiki reputasi dan citra MK setelah putusan Undang-Undang Pemilu?

Kami membentuk MKMK secara permanen. Mereka bisa mengawasi day to day hakim. Jika tidak ada yang mengawasi, kami bisa terlena karena merasa enggak ada yang mengawasi. Tapi, kalau ada (MKMK), ada efek gentar (deterrence effect)-nya. Ada satu hal lagi yang menurut saya penting: media. Media ini strategis karena bisa mempengaruhi publik.

Jumlah anggota MKMK cuma tiga orang. Apa cukup mengawasi hakim MK?

Lebih banyak pengawas itu lebih baik. Tapi tiga, daripada tidak ada, sudah bermanfaat.

Apakah perlu mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim MK?

Sekali lagi, makin banyak yang mengawasi makin baik. Makin ringan pekerjaan kami. Saya hanya tinggal mengawasi diri saya sendiri. Kalau minim pengawasan, seolah-olah saya pun harus ikut bertanggung jawab, ikut mengawasi.

Dua Ketua Mahkamah Konstitusi terlibat skandal korupsi. Apa beda situasi dengan sekarang?

Hari-hari ini kami hanya ada sekuens waktu sudah dijemput dengan momentum penanganan perkara-perkara yang sangat penting, sangat luar biasa (sengketa pemilihan umum). Jadi kami rasa pesimisme publik itu makin beralasan karena ini tinggal satu-dua bulan lagi MK harus membuat putusan. Kemudian, putusan MKMK itu juga menghukum salah satu hakim agar tidak boleh mengikuti (penanganan perkara pemilu). Nah, itu paling tidak mempertebal persoalannya. Mungkin publik, kalau pemahamannya agak sederhana, akan beranggapan ada hakim yang sudah dinyatakan melanggar etik masih juga menjadi hakim. Kalaupun masih di situ juga, ia tidak boleh bersidang. Bagaimana dengan penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan umum itu yang nanti akan banyak perkara?

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memimpin sidang gugat ulang batas usia capres cawapres di ruang sidang Lantai 2 Gedung I MK, Jakarta, 29 November 2023/TEMPO/Magang/Joseph.

MKMK merekomendasikan Anwar Usman tak boleh terlibat menangani perkara pemilu....

Kalau enggak, gimana? Rekomendasinya kan melakukan pemilihan ketua. Pemilihan ketua sudah. Terus, jadwal sidang supaya ditertibkan juga sudah. Lalu bagaimana kalau kami tidak menuruti putusan MKMK soal Pak Anwar? Nanti kami melakukan kesalahan berikutnya. Karena ini bagian dari pengadilan etik, kan? Nanti akan muncul aduan-aduan lagi berkaitan dengan pelanggaran etik lagi.

Dalam sengketa pemilu presiden, Anwar sudah pasti tidak akan dilibatkan?

Di putusan MKMK begitu.

Jumlah hakim berkurang, dong?

Pasti kurang. Paling nanti diatur ada hakim yang pindah-pindah panel anggotanya. Pindah ke panel lain. Kami kan dalam satu panel unsurnya terdiri atas Mahkamah Agung satu orang, Dewan Perwakilan Rakyat satu orang, dan dari presiden satu orang. Di panel lain juga begitu. Nah, yang harus dicermati adalah ketika memindahkan anggota ke panel lain juga harus tetap mempertahankan tiga unsur itu.

Bagaimana memastikan para hakim tidak dipengaruhi kepentingan unsur lembaga pengusulnya?

Banyak hakim yang diusulkan DPR, presiden, tapi produk putusan-putusannya tidak satu tone dengan keinginan DPR, pemerintah. Jadi, kalau pada titik itu, enggak ada yang perlu dikhawatirkan.

Jika Anwar Usman tidak boleh bersidang, berarti ada hakim yang mendapat tugas menangani perkara lebih banyak?

Pasti.

Bagaimana dengan sengketa pemilu legislatif?

Akan diseleksi. Nanti kami akan adakan rapat permusyawaratan hakim. Akan kami putuskan mana yang berpotensi konflik kepentingan, mana yang tidak. Kami akan menilai.

Bagaimana Anda meyakinkan publik bahwa MK bisa independen dalam menangani sengketa pemilu?

Itu tidak bisa dipisahkan dari produk putusannya nanti. Kalau kami hanya berpropaganda begitu saja, belum tentu masyarakat percaya. Kami pasti selalu mengatakan akan bersifat imparsial, tidak memihak, adil, obyektif, dan sebagainya. Ini nanti bisa teruji dalam putusan. Nah, putusan itu yang kemudian harus betul-betul bisa mencerminkan hal tersebut. Tanpa itu, pilihannya adalah MK makin terpuruk atau terangkat lagi. Karena memang putusan penanganan sengketa pemilu menjadi momen penting, menjadi semacam ujian. Meskipun bukan itu saja, kan. Sebenarnya MK dalam penanganan pengujian undang-undang pun juga tidak kalah penting menunjukkan obyektivitasnya.

Dari pengalaman Pemilu 2019, berapa banyak perkara yang harus ditangani?

Pemilu legislatif ada 159 perkara.

Bisa selesai?

Bisa, 30 hari kalau pemilu legislatif, 45 hari pemilihan kepala daerah. Kalau sengketa pemilu presiden 14 hari.

Apa yang Anda siapkan?

Ada banyak bimbingan teknis. Membentuk gugus tugas. Kami melibatkan semua hakim, pejabat Mahkamah Konstitusi, karyawan, karyawati. Bahkan office boy pun kami libatkan menjadi satu kesatuan gugus tugas.

Anda menduga sengketa pemilu akan merebak?

Tidak tahu. Tapi begini. Pertama, ada pemekaran wilayah. Daerah bertambah. Pasti daerah pemilihan bertambah. Otomatis calon legislatif pun mungkin bisa bertambah. Seharusnya secara penalaran akan bertambah. Tapi, karena ada persoalan-persoalan di MK seperti kemarin, apakah mereka, “Ah, enggak usah ke MK lagi”, apakah gugatan jadi berkurang? Itu enggak tahu. Mudah-mudahan tidak terpengaruh. Karena ke depan hakim-hakim yang ada insyaallah sudah punya komitmen yang bagus.

Bagaimana memastikan hakim dan orang MK tidak tergoda main-main menangani sengketa pemilu?

Pengalaman saya di MK sudah delapan-sembilan tahun. Saya tidak mengatakan MK lembaga yang semua komponennya bersih. Tapi secara umum bersih. Saya tidak menafikan ada satu-dua teman kami pernah ada usaha memberi bantuan kepada pihak yang beperkara, memberi kopi berkas perkara.

Itu terlarang, kan?

Enggak boleh sama sekali. Tapi itu baru sekali. Karena itu, saya anggap secara umum MK bisa dipercaya, lebih amanah.

Soal rencana revisi Undang-Undang MK, Anda setuju?

Saya enggak boleh mengomentari. Mudah-mudahan, kalaupun ada perubahan, itu bukan karena ada keraguan tentang independensi MK karena justru hakim-hakim MK sudah independen. Justru kalau mau diganti malah semangatnya tidak sesuai dengan pengejawantahan konstitusi, dong, yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Ada kekhawatiran revisi itu bisa dipakai untuk mengganti hakim-hakim progresif?

Mudah-mudahan enggak.

Kalau titipan lembaga pengusul bagaimana?

Seharusnya tidak boleh. Alasannya adalah kekhawatiran terhadap hakim-hakim di MK ini karena tidak satu pandangan dengan lembaga pengusul. Mudah-mudahan, kalaupun ada perubahan undang-undang, bukan karena niat itu.


Suhartoyo

Tempat dan tanggal lahir:
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 November 1959

Pendidikan:

  • S-1 Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1983
  • S-2 Universitas Tarumanagara, Jakarta, 2003
  • S-3 Universitas Jayabaya, Jakarta, 2014

Karier:

  • Hakim Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu, 1989 
  • Hakim Pengadilan Negeri Metro, Lampung, 1995 
  • Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung, 1999 
  • Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, 2001 
  • Ketua Pengadilan Negeri Praya, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 2004 
  • Hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat, 2006 
  • Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, 2009 
  • Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, 2010 
  • Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 2011 
  • Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2011
  • Hakim Mahkamah Konstitusi, 2015
  • Ketua Mahkamah Konstitusi, 2023-sekarang


Omong-omong, Anwar menggugat Anda ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bagaimana Anda melihatnya?

Tergantung perspektifnya. Kalau perspektif dari seorang warga negara, itu menggunakan hak konstitusional. Beliau kan mungkin mencari keadilan dari putusan MKMK. Ada proses-proses yang perlu di-challenge keadilannya di PTUN. Ya, kami harus hormati hak beliau.

Apakah gugatan itu tidak membuat canggung hubungan sebagai sesama hakim?

Pasti. Cuma, kami berusaha—kalau bahasa klasiknya itu—profesional. Pokoknya, kalau mitra kerja, ya kerja. Kalau pada titik itu, kami enggak pernah membicarakan. Hanya pernah saya sekali-sekali bercanda, “Lho, kan kami ini sebagai tergugat.”

Benarkah kewenangan Ketua MK sangat besar, yang suaranya disetarakan dengan 1,5 suara hakim?

Tidak persis begitu. Pasal 45 Undang-Undang MK memuat ketentuan tata cara pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat. Kalau itu tidak bisa, ditentukan dengan suara terbanyak. Kalau dengan suara terbanyak pun tidak bisa karena suara sama kuat, yang dipakai adalah suara ketua. Suara ketua itu menentukan sebagai pengganti suara terbanyak.

Apakah itu yang menyebabkan posisi Ketua Mahkamah Konstitusi jadi rebutan?

Saya sih enggak melihat itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Makin Banyak yang Mengawasi Hakim Akan Makin Baik"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus