Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INVESTASI didatangkan semestinya untuk melindungi lingkungan dan menyejahterakan masyarakat, bukan menghilangkan nyawa mereka. Namun, atas nama penanaman modal di kawasan penambangan nikel yang menjadi andalan ekonomi pemerintahan Joko Widodo, hidup pekerja seolah-olah tak ada harganya. Membiarkan peristiwa demi peristiwa mematikan itu sama dengan kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembiaran itu terlihat, antara lain, pada berulangnya kecelakaan di kawasan industri pengolahan nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah. Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, hingga aparat penegak hukum tak serius dalam menegakkan aturan. Tak terdengar ada perusahaan di sana yang dijatuhi sanksi tegas karena menyebabkan pekerjanya tewas.
Akibatnya, sepanjang 2023, lebih dari 20 kecelakaan kerja terjadi di sana dengan korban tewas sedikitnya 37 orang dan puluhan lainnya terluka. Di antara kecelakaan tersebut, meledaknya tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) pada 24 Desember 2023 yang paling parah. Korban tewas 21 orang. Total pekerja yang kehilangan nyawa bisa lebih banyak jika dihitung sejak 2015. Sedikitnya ada 53 pekerja tewas, termasuk warga negara Cina.
Pembiaran oleh pemerintah terhadap perusahaan yang membahayakan pekerjanya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Kejahatan ini jauh lebih serius dari tuduhan kelalaian yang menyebabkan kematian oleh pekerja, seperti yang dibidik oleh polisi dalam kejadian di PT Indonesia Tsingshan pada Desember 2023. Karena itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus turun tangan.
Penyelidikan yang independen oleh Komnas HAM juga diperlukan untuk membuat perkara lebih terang. Jangan sampai perkara kasus PT Indonesia Tsingshan dilokalisasi dengan menumbalkan pekerja perbaikan tanur sebagai tersangka. Indikasi adanya kesalahan yang sistematis dari manajemen perusahaan sangat kuat. Dari waktu perbaikan tungku yang belum benar-benar dingin karena mengejar target produksi hingga pengabaian terhadap standar keselamatan dan kesehatan kerja. Berdasarkan fakta itu, pasal pidana selayaknya diterapkan kepada perusahaan.
Tanda-tanda untuk membelokkan kasus hanya pada kelalaian pekerja sudah tampak. Penyidik dari dinas tenaga kerja, misalnya, sulit menembus kawasan IMIP yang dihuni belasan perusahaan smelter untuk menggali dugaan pelanggaran ketenagakerjaan di PT Indonesia Tsingshan. Lalu arah pengusutan pelanggaran bergeser ke soal kelalaian manusia dan pelanggaran prosedur setelah Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi masuk. Penyidikan kasus pada akhirnya mungkin akan menghasilkan tersangka, tapi tak akan menyentuh perusahaan dan mustahil mengungkap kesalahan pemerintah selama ini.
Melindungi pihak yang bermasalah dan mengaburkan kejahatan sama saja menjadikan para pekerja sebagai tumbal investasi. Puluhan korban tewas dan terluka bukanlah statistik yang bisa ditukar dengan angka pertumbuhan ekonomi. Selama ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo selalu mengagul-agulkan bahwa “hilirisasi” nikel meningkatkan nilai ekspor dari Rp 15 triliun sebelum adanya penghiliran menjadi Rp 360 triliun. Nyatanya, kemiskinan di daerah penghasil nikel, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, justru meningkat setelah “hilirisasi”.
Selain itu, nikel yang diolah di smelter-smelter tersebut baru menjadi feronikel ataupun nickel pig iron—keduanya bahan baku baja tahan karat, bukan produk akhir yang bernilai tinggi. Lalu sebagian besar barang setengah jadi tersebut diekspor ke Cina. Dengan kata lain, penghiliran nikel justru mendukung industrialisasi di Cina, bukan dalam negeri. Karena itu, nilai ekspor yang dibangga-banggakan tersebut sebenarnya nonsens.
Sederet fakta tersebut menunjukkan bahwa “hilirisasi” tak semanis ucapan Jokowi dan pengikutnya. Eksploitasi alam, kerusakan lingkungan, dan hilangnya nyawa manusia tak ada dalam kamus mereka. Penghiliran industri nikel yang ugal-ugalan, demi ambisi segelintir orang, memperlihatkan sisi gelapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tumbal Investasi Nikel Morowali"