Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Israel terus mengebom gedung-gedung rumah penduduk di Jalur Gaza.
Pasokan pangan, listrik, air, dan bahan bakar terputus sejak serangan Hamas.
20 truk bantuan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai masuk ke Gaza.
GEDUNG-GEDUNG rumah susun yang hancur dan puing-puing bangunan roboh menutupi jalan menjadi pemandangan umum ketika Fikri Rofiul Haq, relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), melintasi jalanan di Jalur Gaza pada Selasa, 24 Oktober lalu. Dia bersama rekannya sesama relawan sedang mencari stok makanan dan obat-obatan yang masih tersisa untuk memenuhi kebutuhan Rumah Sakit Indonesia, rumah sakit Palestina yang dibangun dengan sumbangan dana pemerintah Indonesia, di kawasan Bayt Lahiya, sekitar 3 kilometer dari perbatasan Palestina dan Israel di bagian timur laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka memperoleh stok tersebut, termasuk kapas, kain kasa, dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan rumah sakit, di sebuah toko di lantai pertama gedung rumah susun di Jalan Al-Yarmuk, sekitar 20 menit bermobil dari Bayt Lahiya. Saat mereka memindahkan barang ke mobil ambulans Kementerian Kesehatan Palestina, desingan roket Israel terdengar melintas di langit. Ternyata serangan tidak berhenti. “Saya sedang memindahkan obat-obatan ke mobil. Habis itu saya langsung berhenti akibat serangan itu,” kata Fikri, Rabu, 25 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan ternyata berlanjut. “Serangan pertama, kami sedang di luar toko, cuma istigfar. Serangan kedua mulai di pintu toko. Serangan ketiga kami sudah masuk karena sudah dekat banget itu,” ujar Fikri. Roket kedua, ketiga, dan seterusnya melintas dan meledak menghantam gedung-gedung sekitar. “Saat itu ada 10 lebih roket yang meluncur ke gedung-gedung. Alhamdulillah, gedung kami tidak kena. Di situ sudah pasrah banget.”
Fikri dan rekannya sempat bersembunyi di toko itu selama serangan. Setelah serangan reda, mereka buru-buru pulang. “Kami tidak bisa mengambil semua stok. Kami cuma mengambil sebagian dari permintaan rumah sakit,” kata mahasiswa University College of Applied Sciences, Gaza, tersebut.
Tidak diketahui berapa jumlah korban yang berjatuhan saat itu. Menurut Fikri, saat ia tiba di sana, banyak anak-anak sedang berada di jalanan di dekat gedung-gedung yang kemudian hancur dihantam roket Israel itu. “Kebanyakan korbannya anak-anak kecil,” tuturnya.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, sebagaimana dilaporkan Badan Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), 7.028 orang tewas sejak Israel menyerang pada 7 Oktober lalu. Jumlah itu termasuk 2.913 anak-anak, 1.709 perempuan, dan 397 warga sepuh. Sebanyak 18.484 orang mengalami cedera dan 1.650 lainnya, termasuk 940 anak-anak, dilaporkan hilang, diduga masih terkubur dalam reruntuhan bangunan yang hancur dibom. Di sisi lain, Israel melaporkan hampir 1.400 warga Israel dan orang asing tewas sejak serangan Hamas, kelompok Palestina yang punya milisi Brigade Al-Qassam.
Serangan Israel, terutama di malam hari, tak pernah reda melanda Gaza. Israel memutus aliran listrik, air, dan bahan bakar ke kawasan Gaza, yang dihuni sekitar 2,5 juta penduduk, yang separuhnya anak-anak. Saat ini, Fikri mengungkapkan, praktis lampu-lampu di semua rumah penduduk padam. Hanya lampu di sekolah dan rumah sakit yang masih menyala.
Kondisi ini memaksa penduduk mengungsi ke kamp-kamp pengungsian, sekolah, dan rumah sakit. Tempat-tempat itu mereka anggap lebih aman dan masih memiliki pasokan air serta listrik. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat sekitar 480 ribu orang telah mengungsi ke kamp-kamp pengungsian. Adapun UNRWA melaporkan sekitar 640 ribu orang mengungsi ke fasilitas-fasilitas yang mereka miliki.
Rumah Sakit Indonesia juga menjadi tempat warga Palestina berlindung. Sebanyak 872 orang meninggal dan 2.530 lainnya yang mengalami luka-luka berada di sana. Hingga Selasa, 24 Oktober lalu, 1.500-2.000 orang mengungsi di sana. “Mereka memadati lorong-lorong, basement, tangga, kamar kosong, semuanya padat,” kata Fikri.
Menurut Fikri, rumah sakit hanya mengandalkan cadangan makanan dan obat-obatan di beberapa toko yang tersisa. Stok ini makin tipis dan akan memicu krisis bila tidak ada bantuan yang datang. Keadaan makin buruk karena banyak toko yang juga hancur dibom Israel.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres bersama Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat Martin Griffiths serta Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik Pembangunan Perdamaian Rosemary DiCarlo mencoba berunding dengan otoritas Mesir dan Israel agar bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza dari Rafah di perbatasan Mesir. Presiden Amerika Serikat Joe Biden menjadi perantara perundingan itu hingga akhirnya Israel mengizinkan 20 truk bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza pada Jumat, 20 Oktober lalu. Konvoi kedua dengan 14 truk masuk dua hari kemudian.
Menurut PBB, konvoi pertama membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan warga Gaza, seperti perbekalan kesehatan, matras, selimut, makanan kalengan, tepung terigu, dan air minum yang cukup untuk 22 ribu orang selama sehari. Ratusan truk lain masih berada di Mesir menunggu masuk.
Truk bantuan itu belum sampai ke Rumah Sakit Indonesia, yang terletak paling ujung dari Rafah. “Ada memang truk-truk bantuan kemanusiaan, obat-obatan ke Rumah Sakit Indonesia, tapi kemungkinan besar itu stok yang tersedia di sekitar sini dari Kementerian Kesehatan Palestina yang langsung menyetok ke rumah sakit,” ujar Fikri.
Stok makanan di kawasan Bayt Lahiya sudah minim. Orang antre berjam-jam di depan toko roti yang masih berdiri. Bila antre pada pagi, mereka baru bisa mendapatkan makanan pada sore. Kalau mereka antre pada sore, makanan baru bisa diperoleh pada malam. Bahkan banyak dokter dan tenaga kesehatan tak kebagian bantuan makanan dan akhirnya hanya menyantap makanan ringan.
Bahan bakar juga menipis. Listrik Rumah Sakit Indonesia masih bertahan karena fasilitas ini punya generator sendiri. Namun generator ini membutuhkan bahan bakar, yang sudah langka di kawasan itu. Bahan bakar juga diperlukan untuk proses desalinasi, pengolahan air laut menjadi air layak minum. UNRWA memperingatkan soal kelangkaan bahan bakar ini, yang sekarang sudah tak cukup untuk menjalankan desalinasi guna memenuhi kebutuhan semua penduduk dan fasilitasnya.
Israel tak mengizinkan bahan bakar masuk, padahal hal itu sangat dibutuhkan, terutama bagi rumah-rumah sakit. “Saya tahu bahan bakar adalah barang yang lebih berisiko karena dapat digunakan untuk tujuan lain. Tapi, tanpa bahan bakar, kami tidak akan bisa mengoperasikan rumah sakit, fasilitas desalinasi tidak akan berfungsi, kebersihan akan terus terganggu, dan tentu saja, untuk truk yang harus mengantarkan bantuan,” kata Lynn Hastings, Koordinator Kemanusiaan PBB di Wilayah Pendudukan Palestina, kepada NPR. Hastings mengatakan PBB akan terus bekerja sama dengan pemerintah Israel “untuk memastikan bahan bakar dapat masuk dengan aman dan terkendali sehingga digunakan sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan”.
Ribuan kilometer dari Gaza, perwakilan negara-negara anggota PBB menghadiri sidang khusus Majelis Umum PBB yang membahas krisis Gaza di New York, Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan sikap Indonesia yang meminta PBB memastikan akses bantuan kemanusiaan dan pelindungan warga sipil, menolak pemindahan secara paksa warga sipil di Gaza, dan mengatasi akar masalah konflik Israel-Palestina. “Pembunuhan, penculikan, dan hukuman kolektif atas warga sipil tanpa pandang bulu harus dikecam karena tidak manusiawi dan melanggar hukum internasional,” tutur Retno.
Setelah bersidang sejak Rabu, 25 Oktober lalu, Sidang Umum akhirnya menyetujui resolusi yang diajukan Yordania dengan 120 suara mendukung, 14 menolak, dan 45 abstain pada Jumat, 27 Oktober. Resolusi itu menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan segera, jangka panjang, dan berkelanjutan yang mengarah pada penghentian permusuhan” serta menuntut pasokan penting diizinkan masuk ke Gaza dan pekerja kemanusiaan mempunyai akses yang berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Krisis di Tanah Gaza"