Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Muladi sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhannas). Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar itu diminta menggantikan Ermaya Suradinata yang sudah hampir lima tahun memimpin lembaga itu.
Pergantian ini sebenarnya sudah diduga banyak orang. Sudah lama Muladi disiapkan SBY untuk memimpin lembaga itu. Dibentuk Presiden Soekarno pada 1964, lembaga ini diharapkan bisa menjadi think tank bagi presiden. Salah satu karya penting lembaga ini adalah Wawasan Nusantara, konsep geopolitik Indonesia sebagai negara kesatuan. Setahun sejak pendiriannya pula, lembaga ini membuka kursus reguler angkatan I.
Sayangnya, belakangan ini, kedua fungsi lembaga itu tak berjalan baik. Selain kajian yang tak lagi bertaji dan kalah oleh lembaga-lembaga lain, juga kualitas para lulusannya merosot. Sebagai alumnus lembaga itu, Muladi melihat tak ada yang berubah dari kurikulum maupun metode pengajaran sejak ia lulus kursus reguler pada 1993 hingga sekarang ini.
Yang jelas, kepada Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang, ini, SBY menitipkan pesan perubahan di tubuh lembaga ini. Presiden memimpikan lembaga ini kelak seperti lembaga sejenis di negara lain yang menjadi dapur pemikiran pemerintah. Salah satunya seperti Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS) milik pemerintah Singapura.
Lembaga yang dibentuk pada Juli 1996 oleh pemerintah Singapura itu dinilai banyak menghasilkan kajian strategis dan pertahanan yang bermutu. Selain bertugas meriset isu keamanan, internasional, dan strategis, IDSS juga mengadakan pendidikan di bidang kajian strategis, hubungan internasional, dan politik ekonomi internasional. Kiprah terbarunya, mendorong kerja sama dengan lembaga sejenis di tingkat regional dan internasional.
Presiden memberi waktu tiga sampai enam bulan bagi Muladi untuk melakukan perubahan awal. Mantan Menteri Kehakiman dan Sekretaris Negara di era Presiden B.J. Habibie ini juga diminta melakukan studi banding ke lembaga serupa di Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa.
Dua hari setelah pelantikannya sebagai Gubernur Lemhannas, Kamis 1 September, Muladi menerima wartawan Tempo Arif Kuswardono, Widiarsi Agustina, Hanibal W.Y.W., dan fotografer Bernard Chaniago di kantornya, Gedung Lemhannas, Jakarta. Selama tiga jam, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu memaparkan konsep dan rencana perombakan lembaga itu. Berikut petikannya.
Bagaimana ceritanya Anda bisa ditunjuk menjadi Gubernur Lemhannas?
Beberapa waktu lalu, ketika saya dalam perjalanan pulang dari kantor Partai Golkar, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menelepon saya. Ternyata, Presiden SBY ingin berbicara. Beliau meminta saya menjadi Gubernur Lemhannas. Pesannya, ”Mas Muladi, tolong lembaga ini ditingkatkan perannya seperti Institute of Defence and Strategic Studies. Jadikan lembaga ini lebih efisien, efektif, inward-outward looking, dan berstandar internasional.” Pokoknya, intinya, lembaga itu tak hanya menjadi lembaga kajian strategis, think tank bagi presiden, sekaligus menjadi lembaga pendidikan.
Sebenarnya, yang dicalonkan itu ada dua, Rektor Universitas Diponegoro dan Rektor Universitas Hasanuddin. Saya juga enggak mengerti kenapa beliau memilih saya. Belakangan saya dengar, ternyata presiden menginginkan mantan menteri yang ada di sini.
Apa yang membuat Anda menerima tawaran itu?
Ini tugas menantang. Sebagai alumnus lembaga ini, saya tahu betul kalau lembaga ini sebenarnya prestisius karena merupakan lembaga think tank bagi presiden. Selain itu, ia juga lembaga pendidikan yang bertugas menyiapkan kader-kader pimpinan nasional.
Apa yang membuat Presiden menginginkan Lemhannas seperti IDSS?
Saya tak tahu. Mungkin beliau tertarik setelah dua kali diundang menjadi pembicara di sana. Selain itu, performance IDSS juga lebih cocok dengan negara timur. Ada action value yang menonjol.
Masa jabatan itu berapa tahun?
Permintaan presiden, dua atau tiga tahun harus bisa membawa perubahan. Sebenarnya tidak ada aturannya harus berapa tahun. Tapi saya berharap, dalam tempo setahun, setidaknya, perubahan itu terlihat. Saya akan berusaha berbuat semaksimal mungkin.
Selama ini Lemhannas dinilai sejumlah kalangan hanya jadi tempat parkir tokoh-tokoh yang mau pensiun. Menurut anda?
Ini lembaga strategis dan prestisius. Itu yang ingin kita tegakkan lagi. Lemhannas bukan tempat jin buang anak, bukan tempat parkir bagi mereka yang terbuang, mau pensiun, atau menunggu penempatan. Karena itu, saya ingin menjadikan Lemhannas sebagai tempat karier. Mereka yang lahir dari sini adalah orang-orang tangguh, punya wawasan dan spirit kebangsaan yang bagus.
Perubahan seperti apa yang Anda inginkan?
Saya akan melakukan restrukturisasi. Yang pertama adalah pengorganisasian, lalu personel. Segera kami akan menggelar rapat dengan eselon satu dan dua. Kami mau melihat seperti apa organisasi Lemhannas itu, lengkap dengan kelemahan dan kekuatannya. Sejumlah pakar akan saya undang untuk mengevaluasi pengorganisasian lembaga ini.
Keputusan presiden soal posisi kelembagaan itu juga akan dibahas, apakah sudah sesuai atau tidak dengan situasi saat ini. Tapi kalau yang diharapkan Presiden seperti IDSS, maka menurut saya, jabatan Gubernur Lemhannas itu bukan jabatan eselon satu, tapi jabatan nonstruktural di bawah presiden dan ditunjuk atas dasar profesionalisme. Sebetulnya ini sudah terjadi. Dengan Keputusan Presiden Nomor 42 dan 43 Tahun 2001 soal kedudukan dan struktur organisasi Lemhannas ini, posisi kita yang sekarang ini tidak di bawah Departemen Pertahanan.
Bisa dijelaskan seperti apa konsep restrukturisasi organisasi?
Nantinya ada semacam Dewan Pengarah atau kurator Lemhannas yang terdiri dari tokoh-tokoh kredibel, termasuk pengusaha, punya wawasan luas, orangnya ”bersih” dan bisa diterima segala pihak. Di tingkat pelaksanaan, selain gubernur, ada para deputi pelaksana. Kemudian ada sekretaris utama dan panel pakar. Panel ini nantinya berfungsi mengevaluasi organisasi dan personalia, evaluasi doktrin dan substansi produk Lemhannas yang jumlahnya banyak sekali.
Selain evaluasi organisasi, personel, doktrin, dan produk, apa lagi yang akan dilakukan?
Saya memang mendapat banyak pesanan—tolong dibahas betul mengenai kurikulum dan pengajar dalam KRA (kursus reguler angkatan) dan KSA (kursus singkat angkatan). Pembenahan kurikulum penting karena itu urat nadi dan sampai saat ini belum menjawab standar komprehensif, integral, holistik.
Kami juga berencana studi banding dan melakukan korespondensi permanen ke National Defence University di Washington DC, AS, NATO Defence College, Eropa, juga The Australian Defence College, Australia. Selain saya, juga ada beberapa pejabat, staf dan alumni. Salah satunya adalah Pak T.B. Silalahi.
Lantas bagaimana yang tokoh sepuh-sepuh di Lemhannas itu?
Sebagai penceramah, boleh, tapi yang pegang posisi nantinya tetap harus orang muda dan doktor pilihan. Kita perlu unsur-unsur baru baik dalam organisasi, persona, kurikulum, dan maupun kajian. Juga perlu nuansa baru. Adapun soal pembimbingnya, harus struktural.
Jadi, Lemhannas akan menjadi lembaga sipil murni?
Saya tak akan membuat dikotomi sipil dan militer. Saya akan mengabungkan keduanya. Bagaimanapun, kita tidak boleh lupa, sejarah lembaga ini tak lepas dari militer.
Kalau contohnya IDSS, ada kajian strategi yang dilakukan peneliti kualitas S-2, lalu ada diseminarkan. Apakah itu juga akan dilakukan?
Ya, itu akan saya lakukan. Hanya di Lemhannas ini ada produk pribadi dan produk kolektif. Semua yang bernama produk kolektif itu harus merupakan hasil kajian lintas sektoral. Nah, kajian itu harus merupakan produk terakhir yang diseminarkan, melalui tanda tangan. Jadi, yang akan disiapkan ke presiden itu harus melalui proses itu.
Jadi, tidak hanya untuk presiden?Tidak. Kita sebagai lembaga tempat curah pendapat. Pendekatannya bukan reaktif, tapi proaktif dan antisipatoris. Tapi ada yang sifatnya pendalaman seperti kasus Papua atau Nanggroe Aceh Darussalam. Setiap langkah itu akan dikoordinasikan dan dikonsultasikan dengan instansi yang relevan.
Pilihan kajian itu dilakukan sendiri atau diminta oleh presiden?
Diminta presiden atau juga bisa tumbuh dari dalam mengingat di sini juga banyak pakar.
Bagaimana jika ada kritik kepada pejabat pemerintah? Apakah harus disampaikan secara tertutup?
Ada yang tertutup ada yang terbuka—karena kita memang think tank presiden, ya tertutup; tapi kalau harus berbicara di sebuah seminar, itu kan terbuka. Meskipun begitu, itu belum bisa dikatakan pendapat lembaga, dan itu pribadi. Kalau sudah menyangkut saya sebagai Gubernur Lemhannas, masuknya lain.
Beberapa waktu lalu, mantan Gubernur Lemhannas Ermaya dipanggil Wakil Presiden juga karena kritiknya pedas terhadap pemerintahan. Menurut Anda, apa yang sebenarnya terjadi?
Sebenarnya, itu adalah masalah rule of engagement, soal code of conduct. Mana itu pendapat pribadi dan mana konsep kolektif harus dijaga, juga bagaimana mengucapkannya—ada aturannya.
Menurut Anda, kesesuaian pendapat pribadi dengan Lemhannas itu suatu kemutlakan?
Tidak. Namanya masukan itu alternatif. Dan lagi, terserah presiden, mau pakai atau tidak. Tapi kita selalu mengajukan alternatif, bukan satu pendapat. Alternatif dengan akibat A, pilihan B, C, sampai Z.
Bagaimana jika kasus Ermaya akan terjadi lagi?
Saya jamin kasus Ermaya tak akan terjadi lagi. Kalau toh terjadi, ada kode etiknya. Menurut saya, perlu ada kontrol, mana area sensitif, mana yang sensitif dan tak bisa dipublish. Semuanya harus akurat. Makanya panel pakar jadi sangat penting.
Bagaimana dengan peran alumni Lemhannas?
Ikatan Alumni Lemhannas akan tetap dipertahankan dan diberdayakan. Jumlahnya kira-kira hampir 3.500 orang. Mereka memang punya kajian sendiri, tapi kami berharap sebaiknya jangan dipublikasikan secara terpisah sebelum dibicarakan dengan kita karena, apa pun, kesannya tetap saja Lemhannas. Sebaiknya ada koordinasi.
Sebagai lembaga kajian, apa hasil bahasan Lemhannas terhadap soal tuntutan merdeka di Aceh dan Papua?
Otonomi khusus, sepanjang dikehendaki rakyat setempat dan kelompok minoritas tidak merasa ditekan dan dilanggar hak asasi manusianya. Misalnya, seperti kasus penutupan gereja di Jawa Barat, seharusnya yang melakukan pemerintah, bukan sejumlah kelompok yang secara emosional bertindak sendiri. Kita punya UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama. Di situ prosedurnya juga sudah jelas. Agama yang diakui di Indonesia diatur juga di situ. Yang menyimpang ada pakemnya.
Bagaimana dengan soal nota kesepahaman Aceh yang ditandatangani di Helsinki?
Sejak awal saya sudah menyatakan, nota kesepahaman itu bukan perjanjian internasional karena tidak di bawah PBB, tapi difasilitasi melalui lembaga yang dipimpin mantan presiden Martti Ahtisaari. Jadi, ini hanya kesepakatan antar warga negara sendiri.
Soal amnesti, itu kan tidak dinyatakan harus bersumpah setia dulu kepada NKRI?
Kadang kita harus bermain perasaan pula. Pengorbanan GAM melepaskan tuntutan merdeka dan mengabdi pada konstitusi kita serta mengakui NKRI itu harganya mahal. Kalau kita paksakan, proses itu bisa gagal, dan gagalnya nota kesepahaman itu membuat reputasi Indonesia terpuruk. Bahaya sekali.
Soal nota kesepahaman tak melibatkan DPR, itu juga jadi masalah….
Nota kesepahaman ini terobosan baru pemerintah dan peran Wakil Presiden Jusuf Kalla besar sekali. Ini proses yang sensitif dan butuh penanganan serius serta memakan waktu lama. Kalla membangun jaringan agar bisa kontak langsung dengan GAM. Dan karena sensitifnya situasi, jaringan itu tak bisa dibuka ke luar. Setelah mereka merasa yakin kalau GAM di hutan itu di bawah kendali GAM Swedia, baru itu dibuka. Semua proses itu terus dilaporkan ke Presiden SBY. Terobosan seperti itu, menurut saya, perlu dilakukan meskipun ini berbeda dengan pemikiran DPR. Toh kita harus hormati keputusan tim itu.
Selama ada praktek tidak tertulis, rekrutmen pejabat itu disyaratkan harus lulusan Lemhannas. Ini masih relevan tidak?
Menurut saya penting, tapi dengan catatan, mereka harus terpilih dan lulus seleksi. Saya tahu, banyak lulusan Lemhannas yang tidak baik dan hanya mencari ijazah saja. Karena itu, mereka yang mau menjadi pejabat itu harus lulus dengan selektivitas yang kuat dengan sejumlah kriteria yang ditentukan.
Para gubernur dan bupati kan sekarang dipilih langsung….
Mereka bisa ikut KRA khusus. Kalau KRA yang reguler ditujukan bagi yang di bawah 50 tahun yang berpotensi akan menjabat sebagai eselon satu. Bagi yang sudah kadung menjabat dan di atas 52 tahun, ada KRA khusus. Kalau yang masih muda, mereka bisa masuk juga. Orang luar juga bisa ikut, seperti tokoh LSM, partai politik, juga bisa ikut KRA.
Kalau partai politik?
Kita tawarkan ke mereka, terutama bagi mereka yang lolos electoral threshold. Kami sampaikan, kursus ini penting dan persyaratan mengikuti kursus seperti ini. Ternyata banyak juga yang ingin ikut. Menurut saya, ini penting karena mereka akan menjadi anggota DPR dan tentu banyak langkah dan putusan mereka yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Ada suatu standardisasi visi dan misi. Jadi, menurut saya, banyak gunanya. Diskusi dengan duta besar dan para menteri, juga kunjungan ke luar negeri akan banyak memberikan wawasan nasional dan global.
Ada lima negara yang dipilih. Turki, Maroko, Mongolia, Thailand, dan Jepang. Turki dan Maroko karena ada masalah primordial. Mongolia, negara yang sedang berkembang, kelas bawah. Lalu Thailand, negara yang baru keluar dari krisis, padahal jatuh krisisnya bersamaan dengan kita. Sedangkan Jepang adalah negara advanced. Meskipun dilakukan modernisasi, kulturnya masih kuat.
Jadi, kira-kira postur Lemhannas baru itu akan kelihatan pada tahun pertama? Mudah-mudahan. Saya akan bekerja keras dalam tiga sampai enam bulan.
Omong-omong, bagaimana Anda mengatur kesibukan antara Lemhannas, Golkar, dan The Habibie Center?
Konsentrasi tetap di sini. Di Habibie Center kan saya bisa ke sana seminggu dua kali atau orang-orang Habibie Center bisa ”main” ke sini memberi masukan, karena mereka toh juga lembaga kajian. Banyak pakar di sana yang bisa memberi masukan.
Nah, kalau Golkar, karena partai harus diperlakukan sendiri, jadi bisa dikerjakan malam hari. Jangan sampai dituduh melakukan politisasi. Kuncinya satu, jangan mencampuradukkan.
Muladi
Lahir:
- Solo, 26 Mei 1943
Pendidikan
- Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1968)
- Doktor Ilmu Hukum dari Unpad Bandung dengan predikat cum laude (1984)
- International Institute of Human Rights di Strasbourg, Prancis (1979)
- Kursus Reguler Lemhannas (1993)
Karier
- Rektor dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1986)
- Dosen Terbang untuk program pascasarjana di beberapa universitas
- Anggota Komnas Hak Asasi Manusia (1997)
- Anggota MPR RI (1997)
- Menteri Kehakiman kabinet Soeharto (mundur 21 Mei 1998)
- Menteri Kehakiman merangkap Menteri Sekretaris Negara (1998-1999)
- Gubernur Lemhannas (2005)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo