Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG bupati di wilayah Sulawesi Selatan kelabakan. Proposal permintaan dana proyek rehabilitasi akibat bencana alam yang diajukannya lenyap dari daftar anggaran biaya tambahan (ABT) yang diproses Dewan Perwakilan Rakyat. Di tengah kegalauannya, seorang kepala dinas bawahannya datang menghadap. ”Ada teman di Jakarta yang bisa bantu, Pak,” kata sang kepala dinas.
Bupati itu memerintahkan bawahannya pergi ke Jakarta menemui sang ”teman”. Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. ”Teman” itu memperkenalkan diri sebagai staf khusus anggota DPR dari Komisi V. Dia menjanjikan mengawal proposal yang sudah terkubur itu untuk bisa kembali hidup dan masuk daftar ABT. Itu saja?
Oh, tidak. Jumlah dana yang diajukan dalam proposal sebesar Rp 5 miliar bisa mereka pompa. Setelah utak-atik angka, akhirnya ”staf khusus” anggota DPR itu menjanjikan angka baru Rp 7 miliar. Tentu saja jasa itu ada harganya. Saking girangnya, sang kepala dinas tak lagi menawar ongkos yang diminta. Meski harga pasaran calo anggaran sekitar empat persen dari nilai proyek, dia setuju membayar Rp 500 juta. Bahkan kepala dinas itu langsung memberikan uang muka agar prosesnya lebih mulus.
Permufakatan menggangsir uang negara ternyata sudah jamak terjadi. Pasar percaloan anggaran di DPR ini baru mencuat dalam rapat paripurna peringatan HUT ke-60 DPR, Senin dua pekan lalu. M. Darus Agap dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi melakukan interupsi. Dia menunjukkan daftar yang mengungkap dokumen yang berisi nama-nama calo dalam alokasi dana bencana alam senilai Rp 609 miliar untuk 174 kabupaten dan kota di Indonesia.
SIAPA saja para koordinator itu? Darus enggan menjelaskan. Namun, dalam dokumen yang kemudian beredar luas, sejumlah nama dan inisial memang tertulis sebagai koordinator anggaran bencana yang diajukan Departemen Pekerjaan Umum. Beberapa di antaranya adalah AM (koordinator Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Bali), EM (koordinator di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah), dan AY (koordinator Banten dan Jawa Barat).
Tak bisa dicegah, dokumen tersebut menjadi bola liar di DPR. Emir Moeis, Ketua Panitia Anggaran DPR, dihubung-hubungkan dengan inisial EM. Ia membantah keras jadi calo anggaran.
Emir juga menyatakan dokumen usulan dana bencana alam yang menyebutkan nama dan inisial para koordinator itu palsu. ”Itu bukan dari DPR,” kata anggota Dewan dari Fraksi PDIP itu. Emir juga membantah punya kaitan dengan inisial lain yang disebut dalam daftar itu.
Namun, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tabanan, Bali, I Ketut Suryadi, percaya bahwa AM—salah seorang calo—adalah orang dekat Emir. Enam bulan lalu, ia bahkan berharap calo itu bisa melicinkan pencairan dana bencana senilai Rp 35 miliar yang diajukan daerahnya. Meskipun Tabanan tidak termasuk daerah bencana, ia berharap dana itu bisa turun. ”Saya minta kepadanya agar dana turun sesuai proposal,” kata Suryadi. Disebut-sebut, AM adalah anak bekas pejabat di Sulawesi Selatan yang bekerja sebagai ”penghubung” sejumlah anggota Panitia Anggaran DPR. Emir Moeis mengaku mengenal AM, tapi membantah mempekerjakan orang itu sebagai petugas penghubung percaloan. Sebagian besar anggota Komisi Anggaran lainnya mengaku tak kenal.
SUMBER Tempo yang ikut memanfaatkan jasa calo bercerita, para calo anggaran tak asal main tabrak. Mereka baru mendekati calon korban jika ada yang mengadu dananya tak turun atau disunat Panitia Anggaran. ”Dua tahun terakhir, mereka lebih agresif dan terkoordinasi,” kata sumber itu. Kerja mereka layaknya calo tiket di terminal bus. Sehari-hari para calo ini adalah staf anggota DPR.
Lika-liku percaloan anggaran biaya tambahan itu dimulai saat daerah mengirim proposal rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana alam ke Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Setelah dikoreksi di departemen ini, daftar proyek rehabilitasi dari seluruh kabupaten diserahkan ke Panitia Anggaran DPR. Saat itulah para calo anggaran di DPR mulai beroperasi.
Tiap kabupaten akan mengintip apakah proyek yang diajukannya lolos, dikoreksi, atau malah dicoret. Saat itulah lalu-lintas telepon dari divisi marketing calo anggaran akan padat. Mereka menghubungi pejabat-pejabat daerah itu, tetapi bisa juga para raja daerah itu yang menyerahkan diri menjadi korban.
Kepada daerah yang proposalnya kandas, sales anggaran menjanjikan akan bisa dihidupkan lagi. Proposal yang dipangkas akan dikembalikan ke bentuk asal. Bahkan proposal yang mulus tanpa koreksi pun bisa dimainkan. ”Mau tambah enggak anggarannya?” begitu mereka menawarkan.
Harga pasar biaya pengawalan proposal di DPR sekitar empat persen dari total nilai proyek. Tentu saja untuk anggaran yang digembungkan dari nilai proposal awal, ongkos jasanya bisa lebih besar. Jadi, dari total ABT 174 kabupaten dan kota tahun ini yang Rp 609 miliar, uang negara yang meluncur ke rekening para calo sekitar Rp 25 miliar. Itu dari sektor permukiman dan prasarana wilayah saja.
Masih banyak lagi sektor lain yang juga mengajukan dana penanggulangan bencana alam ini. Misalnya sektor kesehatan, pertanian, pendidikan, sosial, dan agama. Data yang diperoleh Tempo menunjukkan, tahun ini saja total anggaran yang diajukan dari enam sektor itu mencapai Rp 1 triliun. Kemudian dilakukan perubahan sehingga melambung hingga Rp 2 triliun.
Apakah hanya ABT yang bisa dimainkan? ”Semua kewenangan DPR bisa jadi duit,” kata sumber Tempo. Sebut di antaranya dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU)—dana pembangunan daerah yang digelontorkan pemerintah pusat. Memang, pembagian DAU tiap daerah sudah memiliki rumus baku, bobot daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah bobot dari seluruh daerah. Tetapi, komponen bobot daerah ini perhitungannya masih bisa diutak-atik. Komponen dalam bobot daerah—antara lain jumlah penduduk, keadaan geografis, jumlah penduduk miskin, potensi industri, dan sumber daya alam—itulah yang diutak-atik sehingga pembagian DAU bisa menggembung.
Hal yang sama berlaku untuk DAK. Sumber Tempo di salah satu departemen menceritakan pengalamannya saat mengajukan anggaran dari DAK. Mereka melakukan perencanaan dan perhitungan kebutuhan tiap daerah secara proporsional untuk sektor departemennya. Akhirnya mereka mengajukan angka Rp 90 miliar ke DPR. Anggota Dewan kemudian mengundang sang menteri ke parlemen. Hasilnya? ”Kami dibantai habis!” kata sumber itu.
Pejabat departemen itu kemudian mencoba melobi agar anggaran yang mereka ajukan lolos. Beberapa minggu kemudian, mereka diundang ke DPR dan diminta meneken proposal anggaran baru yang jumlahnya Rp 350 miliar. Aneh bin ajaib, ”Bukan hanya lolos, tetapi dinaikkan!” kata sumber itu. Tapi para calo DPR itu meminta komisi 15 persen. Setelah itu, anggaran mengucur dengan lancar.
Di antara semua anggaran, ABT memang paling gurih untuk dikeroyok. Anggaran yang satu ini paling enak karena, di level pelaksanaan, bupati bisa langsung menunjuk kontraktor tanpa tender. Wajar jika akhirnya banyak pimpinan proyek di daerah yang melakukan ijon. Belum lagi anggaran diteken DPR, mereka sudah membagi komisi untuk para pejabat daerah. Terkadang ada juga yang nekat proyeknya sudah dikerjakan agar tak diserobot kontraktor lain. ”Mereka ini biasanya sudah menjadi langganan calo,” kata sumber tersebut.
Pengalaman lain diungkapkan Nogati Sri Karyati, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Sleman, Yogyakarta. Sekitar tiga tahun lalu ia berniat menarik dana restitusi pajak pendapatan pegawai negeri sipil. Saat itu banyak kabupaten di Indonesia, termasuk Bantul, Temanggung, Magelang, dan sebagainya, yang berhasil menarik dana restitusi setelah lewat jasa calo yang memakai nama sebuah perusahaan konsultan.
Agar turunnya dana lancar, Nogati harus bolak-balik ke Jakarta merevisi proposal. ”Jadi sama saja, kita juga yang harus kerja,” katanya. Perusahaan itu meminta komisi 25 persen dari total kelebihan pajak di Sleman Rp 6 miliar. Namun, Nogati mengaku hanya membayarnya Rp 250 juta.
Menurut Ketua Panitia Anggaran DPR, Emir Moeis, percaloan itu terjadi karena ulah orang daerah sendiri. Normalnya, usulan ABT datang dari daerah, diajukan ke Bakornas, dan pemerintah lalu meminta persetujuan DPR. Namun, yang terjadi, beberapa daerah justru langsung menemui para anggota DPR meminta persetujuan permohonan dana bantuan bencana tersebut. ”Jadi, wajar kalau ada calo dari dana bantuan bencana,” katanya.
Soal tudingan Emir terlibat calo anggaran, ia menolak. ”Pokoknya kami enggak mau menangani lagi. Kami kembalikan ke domain pemerintah daripada kami difitnah terus,” kata Emir Moeis.
Agar tak jadi fitnah, Darus meminta sejumlah orang yang terlibat percaloan anggaran diusut. Ketua Badan Kehormatan DPR RI, Slamet Effendy Yusuf, berjanji Senin ini akan meminta klarifikasi dua anggota DPR yang diduga terlibat. Kata Slamet kepada Yophiandi dari Tempo, ”Ini baru penyelidikan awal.”
Agung Rulianto, Zed Abidien, Mawar Kusuma (Jakarta), Rilla Nugraheni (Denpasar), Syaiful Amin (Sleman)
Seribu Jalan Para Calo
Wewenang DPR Membuat dan menyetujui undang-undang
Modus Percaloan Calo akan mendekati departemen yang terkait dengan undang-undang itu agar tidak menemui hambatan saat rapat kerja dengan DPR
Wewenang DPR Menyetujui peraturan pemerintah pengganti undang-undang
Modus Percaloan Idem
Wewenang DPR Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD
Modus Percaloan Idem
Wewenang DPR Menetapkan APBN
Modus Percaloan Calo mendekati departemen atau badan yang bersangkutan, supaya anggaran bagi departemennya lolos atau tidak dipangkas
Wewenang DPR Mengawasi pelaksanaan undang-undang dan APBN
Modus Percaloan Saat DPR mempermasalahkan penyimpangan undang-undang atau APBN, calo akan mendekati departemen terkait supaya masalah itu tak berlarut-larut
Wewenang DPR Memilih anggota BPK
Modus Percaloan Kandidat yang bernafsu mengejar posisi itu merupakan calon korban empuk
Wewenang DPR Meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara
Modus Percaloan Calo mendekati pejabat negara, direksi perusahaan, atau masyarakat yang menghadapi suatu kasus yang sedang dipersoalkan DPR. Mereka menawarkan jasa agar kasusnya tak diungkit-ungkit
Bahan: Diolah dari wawancara dengan berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo