Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAKUAN itu datang dari Musfihin Dahlan, 52 tahun. Duduk berselonjor dengan tangan terlipat di sofa abu-abu di kantornya yang sejuk, dahinya berkeringat. Tampak benar ia sedang tak tenang. Anggota Komisi Kesehatan DPR dari Fraksi Partai Golkar ini memang sedang gusar. Akhir pekan lalu beredar kabar tak sedap tentang dirinya: ia dituding memeras Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, terkait dengan program berobat gratis bagi rakyat miskin yang tengah digelar pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak.
Musfihin membuka cerita. Katanya, semuanya bermula dari sebuah pertemuan di rumah dinas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, di Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu sore dua pekan lalu. Saat itu, bersama Direktur Utama PT Asuransi Kesehatan (Askes), Ori Andari Sutadji, ia datang bertamu. Ditemani teh manis dan pisang goreng, pembicaraan dengan Ibu Menteri berlangsung lancar.
Dalam versi Musfihin, kedatangannya itu dilakukannya dalam kapasitas sebagai ketua tim kecil Komisi Kesehatan DPR—tim yang mengkaji kebijakan program berobat gratis bagi rakyat miskin. Kelompok ini dibentuk parlemen dalam rapat Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan pada 26 Mei 2005.
Tugas tim ini memverifikasi pelaksanaan program jaminan kesehatan agar sesuai dengan rencana pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pengobatan gratis kepada orang miskin. Selain berisi anggota Komisi IX, dalam kelompok ini juga terlibat pejabat Departemen Kesehatan dan PT Askes.
Melampaui pelbagai rapat, DPR tampaknya tidak sreg dengan pelaksanaan program itu. Ini terkait dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1241/2004, yang menunjuk PT Asuransi Kesehatan Indonesia sebagai pelaksana proyek senilai Rp 2,3 triliun ini. Penetapan ini dianggap menyimpang karena tak melalui tender dan tak sesuai dengan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undangundang itu menyebutkan, jaminan sosial seyogianya dilakukan berdasarkan prinsip nirlaba.
Kata Musfihin, kedatangannya ke rumah Siti Fadillah adalah untuk mengabari sikap DPR tersebut. Parlemen menganggap terjadi pelanggaran undang-undang, ”Meski program ini (sesungguhnya) mulia,” katanya. Masih menurut Musfihin, adalah bos PT Askes, Ori Andari, yang mengajaknya bertemu Ibu Menteri. ”Sewaktu mendengar (sikap DPR itu), Bu Ori mengajak (saya) bertemu Menteri. Lalu bertemulah kami,” ujarnya.
Kisah lalu berkembang. Sayup-sayup terdengar kabar bahwa dalam pertemuan itu Musfihin menawarkan ”jalan damai” seharga Rp 7 miliar. Ibu Menteri tercengang. Seorang sumber menyebut, Siti Fadillah sempat bergumam, ”Kok, mahal amat?” Sumber lain malah mengatakan, Musfihin sempat mengait-ngaitkan kasus ini dengan penilaian kinerja para menteri oleh Presiden Yudhoyono, tepat setahun pemerintahannya pada Oktober mendatang. Kabarnya, dalam rapat tim Komisi Kesehatan sempat pula terlontar permintaan biaya umrah dan ziarah ke Vatikan untuk anggota tim sebagai ”pemulih lelah”.
Kepada Tempo, Musfihin menyangkalnya. Tapi ia membenarkan bahwa keputusan Komisi Kesehatan tergantung masing-masing fraksi. ”Saya katakan (kepada Ibu Menteri) bahwa politik itu negosiasi. Karena itu sebaiknya Anda melobi fraksi-fraksi itu. Dan itu masalah Anda,” ujarnya. Tapi dengan tegas ia menolak soal permintaan duit. ”Tak ada pembahasan soal dana. Memangnya saya mau mempertaruhkan integritas saya untuk itu,” ujarnya gusar.
Ia justru balik menuding ada upaya pembusukan agar pengawasan DPR terhadap kinerja pemerintah tak berjalan serius. Ia malah menyebutkan didekati sejumlah orang Departemen Kesehatan agar kebijakan program penjaminan ini mulus di DPR. ”Tapi, kalau memang salah prosedur, mau bagaimana lagi?” ujarnya.
Menurut Musfihin, sejak Juni lalu tim kecil bekerja keras dan hampir tak pernah beristirahat. Mereka mengundang pakar dan mengadakan kunjungan ke daerah untuk memantau pelaksanaan program. ”Sabtu-Minggu kami masih bekerja hingga pukul satu malam,” katanya. Soal umrah dan ziarah ke Vatikan, ujarnya, itu mungkin cuma canda anggota tim. ”Wah, kita capek kerja keras begini, masak Askes diam-diam saja. Kalau bulan Puasa besok ada umrah, enak juga,” katanya menirukan guyon rekan sekerjanya. ”Tapi bercandaan itu setelah orang Askesnya enggak ada lho,” katanya buru-buru menambahkan.
Menteri Siti Fadilah memilih tak mengomentari skandal perjamuan berdurasi 45 menit itu. ”Saya no comment saja,” katanya. Adapun Ori Andari membenarkan adanya pertemuan itu, tapi katanya, ”Bukan saya yang mengontak Ibu Menteri, melainkan Pak Musfihin yang mengontak sendiri. Jadi saya tidak tahu apa-apa.”
Soal ”uang damai”, Ori tak menyangkal atau mengiyakan. ”Yang jelas, kami tak pernah menawarkan atau merespons hal-hal seperti itu. Perusahaan kami mencoba terus clean,” ujarnya.
PROGRAM berobat gratis yang disoal DPR itu sebenarnya bukan hal baru. Sejak 2001 kegiatan ini sudah dilaksanakan pemerintah. Sumber dananya dari anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah. Dana itu dikucurkan lewat rumah sakit. Warga miskin tinggal menggunakannya dengan menunjukkan kartu sehat dan surat keterangan tak mampu.
Belakangan kebijakan berubah. Tahun 2004, di bawah pemerintahan Presiden Megawati, UU No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional keluar. Departemen Kesehatan waktu itu lalu membentuk badan penyelenggara dana jaminan kesejahteraan masyarakat. Pemerintahan SBY berupaya membuat program ini lebih sistematis dengan merangkul PT Askes. Keputusan itu diperkuat SK Menteri Kesehatan No. 1241/2004 tadi. Premi asuransi dibayar dari dana subsidi BBM.
Tapi kerepotan muncul belakangan. SK Menteri Kesehatan dianggap mengancam eksistensi badan pelaksana penjaminan yang sudah terbentuk di daerah dengan keputusan menteri lama. Kebijakan ini mengancam orang-orang yang terlibat. Ramai-ramai, mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU No. 40/2004—peraturan yang dianggap memayungi SK Menteri Kesehatan. Undang-undang itu dianggap melanggar UUD 1945 dan bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah.
Pada akhir Agustus lalu, MK mengabulkan permohonan itu. Para hakim mencabut tiga ayat dalam pasal 5 yang memberikan monopoli terhadap perusahaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Asuransi Sosial ABRI (Asabri), dan Askes dalam pengelolaan jaminan sosial bagi masyarakat. Daerah juga dibenarkan membentuk badan penyelenggara jaminan sosial sendiri.
Sejak awal, DPR sudah bersikap keras dalam soal pelaksanaan program ini. Menurut anggota Komisi Kesehatan DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Nurul Falah Eddy Pariang, sikap keras DPR disebabkan oleh inkonsistensi program jaminan sosial itu dengan undang-undang lainnya. Satu yang terpenting adalah soal penunjukan PT Askes sebagai satu-satunya pelaksana program. Keputusan ini dianggap menghalangi daerah menyelenggarakan program jaminan itu sendiri.
Masalah lainnya, soal jumlah penduduk miskin yang ditetapkan SK Menteri Kesehatan. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1241 menetapkan kuota berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan daerah melakukan pendataan sendiri atau memakai data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Akibatnya, ada dua versi jumlah rakyat miskin: 36 juta versi BPS atau 60 juta versi BKKBN. ”Repotnya, data itu berkaitan dengan jumlah anggaran yang digunakan,” kata Musfihin.
Guru besar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Hasbullah Tabrani, menilai sebenarnya langkah Menteri Kesehatan itu tidak menabrak asas nirlaba yang diatur undang-undang. ”Ini masih sejalan dengan ketentuan Pasal 4 UU tentang Sistem Jaminan,” ujarnya. Jika status persero pada PT Askes yang dipersoalkan, menurut Hasbullah, sebenarnya juga bisa diatasi dengan merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2003 mengenai BUMN. Sebuah perusahaan BUMN bisa menjalankan tugas nirlaba jika dia mendapat penugasan khusus dari pemerintah untuk menjalankan fungsi public service obligation (PSO). ”Jadi, bisa saja itu terjadi dan dimungkinkan,” tambahnya.
Bos PT Askes, Ori Andari, merasa mendapat pembelaan. Kata dia, meski monopoli empat perusahaan negara (Askes, Asabri, Taspen, dan Jamsostek) sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, sejatinya keempatnya tetap diizinkan dipakai sebagai badan pemberi jaminan. Dasarnya adalah pasal 52 UU itu, yang tetap mencantumkan keempatnya sebagai lembaga pelaksana. Daerah pun bisa mendapatkan haknya menjadi penyelenggara jaminan. Hanya harus dijaga jangan sampai terjadi duplikasi.
BELUM ada kepastian apakah Menteri Kesehatan bersalah atau tidak dalam kasus ini. Anggota tim Komisi Kesehatan lainnya umumnya hanya geleng-geleng kepala mendengar kisah ini. Abdul Azis, anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, meminta urusan ini diperjelas biar tak jadi fitnah. ”Biar tidak jadi dosa, karena ini berurusan dengan duit buat rakyat miskin,” katanya. Rabu pekan ini, Musfihin akan melaporkan hasil kerjanya ke Komisi Kesehatan DPR. Selanjutnya, materi itu akan dibawa dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan dan PT Askes. Belum jelas apakah Dewan Kehormatan DPR akan bergerak mengusut persoalan ini.
AZ/Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo