Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mayjen (Purn.) Muchdi Purwopranjono: Saya Belum Ngamuk

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI sudah hampir setahun meninggalkan kursi Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN), Mayjen (Purn.) Muchdi Purwopranjono masih terkesan misterius. Badannya tegap, sorot matanya tajam. Pria 57 tahun ini bukan dikenal sebagai tokoh yang mudah bicara kepada juru tinta.

Ketika banyak orang mengaitngaitkan dirinya dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia yang didakwa terlibat dalam kasus kematian aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, ia tak banyak bereaksi. September 2004, Munir tewas dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda.

Dua bulan lalu, pengadilan memvonis Polly 14 tahun penjara. Tapi misteri kematian Munir masih belum tuntas. Banyak yang percaya Polly cuma pion dan Muchdi berada di belakang kematian sang aktivis. Dasarnya adalah kontak antara telepon milik Polly dan Muchdi. Di pengadilan, Suciwati, istri Munir, dengan lantang menyebut Muchdi sebagai pembunuh suaminya. ”Saya masih ngalah,” kata Muchdi mengomentari tudingan miring kepada dirinya. Muchdi mengira, cercaan terhadapnya akan berakhir setelah vonis atas Polly dijatuhkan.

Namun, pascavonis Polly, nama Muchdi makin santer disebut. Ia bergerak: mengontak Mahendradatta, M. Luthfie Hakim, dan Wirawan Adnan dari Tim Pembela Muslim (TPM) untuk mendampinginya. ”Saya dizalimi,” katanya.

Kamis pekan lalu, Muchdi menerima wartawan Tempo Hanibal W.Y. Wijayanta, Arif Zulkifli, Widiarsi Agustina, dan Philipus Parera di kantor pengacara M. Luthfie Hakim di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta.

Ia tampak tenang dan banyak mengumbar tawa dalam balutan jaket Aigner warna hitam. Dalam paruh pertama wawancara ia menggunakan kacamata hitam dengan alasan sedang sakit mata. Berbagai pertanyaan dijawabnya dengan rileks meski untuk beberapa yang ”sulit” ia meminta Tempo mengulangi pertanyaan. Sesekali ia ”serius”: menggulung kwee tiauw goreng yang tersaji di depannya, tapi urung menyuapnya.

Anda menemui Ketua DPR Agung Laksono mengadu soal kasus Munir?

Saya mengadu karena selama ini dipojokkan dan dizalimi, seolaholah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kematian Munir. Termasuk di sini (ia menunjukkan kopi berita koran Indopos yang menyebut Muchdi pernah kontak telepon dengan Munir—Red.) Katanya, berita ini muncul dalam pembahasan DPR, padahal tidak ada. Tadi saya mendapat penjelasan dari anggota DPR Aulia Rachman bahwa itu tak dibicarakan dalam rapat DPR. Okelah, saya punya hak jawab sesuai UndangUndang Pers. Tapi ini kan sudah menyebar dan hak jawab saya pun mungkin tidak dibaca orang.

Anda terganggu?

Saya 35 tahun jadi tentara, jadi sudah tahan banting. Nyawa saya pun sudah nyawa saringan. Saya sudah biasa menghadapi selukbeluk begini. Fitnah sudah berkalikali. Tapi kasihan istri dan anak saya. Anak saya baca begini langsung tidak bisa tidur. Demikian juga saudarasaudara saya. Saya anak nomor enam dari sembilan bersaudara. Setiap ada koran atau siaran televisi tentang masalah Munir, mereka pasti tanya saya. Di samping merasa tersudut, terpojok dan dizalimi, saya juga kasihan pada keluarga.

Kasus ini sudah bergulir setahun lebih. Mengapa baru sekarang Anda terbuka?

Saya ini kan orang Jawa. Orang Jawa itu kalau difitnah akan ngalah (mengalah), ngalih (menghindar). Kalau sudah tidak kuat lagi akan ngamuk. Tapi saya belum ngamuk.

Selama ini Anda ngalah?

Selama ini saya diam saja. Saya pikir, biarlah seperti air mengalir. Saya pikir setelah proses hukum selesai, ya selesai. Tapi kok malah semakin bertambah. Saya juga punya batas kesabaran. Tampaknya ada yang ingin membangun opini bahwa saya pembunuh Munir.

Mengapa Anda memilih Tim Pengacara Muslim (TPM) yang dulu membela Abu Bakar Ba’asyir dan terdakwa bom Bali?

Mereka kawankawan saya. Sebenarnya, sebagai bekas tentara saya bisa saja minta tim pengacara Badan Pembinaan Hukum TNI. Tapi nanti orang nyinyir lagi, ”Ah, nanti paling sama saja.” Minta pembela dari BIN pun sama. Jadi, saya ambil tim lain.

(Menurut Wirawan Adnan, pengacara Muchdi, sebelum memutuskan untuk menjadi pengacara Muchdi, mereka mengajukan pertanyaan. ”Apakah Antum (Anda) membunuh Munir?” Kata Muchdi, ”Wallahi (Demi Allah), saya tidak membunuh dan tidak menyuruh membunuh.” ”Apakah Antum yang bertanggung jawab dalam penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir?” Jawabnya, ”Tidak.” Lalu, ”Jika di kemudian hari terungkap bahwa Antum terlibat pembunuhan Munir, kami mundur menjadi pengacara Antum.” Muchdi setuju).

Organisasi dan pimpinan BIN tidak mendukung?

Bukan begitu. Sampai sekarang saya masih anggota BIN sebagai agen utama, tapi di BIN kan tidak ada tim bantuan hukum. Yang ada staf ahli hukum.

Kepala BIN Syamsir Siregar mendukung Anda?

Support tetaplah. Apalagi samasama purnawirawan bintang dua. Selama masih dalam koridor hukum, rasa kesatuan itu masih kita pertahankan.

Sempat ada isu deHendroisasi dalam tubuh BIN. Anda termasuk yang disingkirkan?

Kalau ada deHendroisasi, semua deputi di zaman Pak Hendro (Kepala BIN A.M. Hendropriyono) pasti diganti, atau bahkan semua anggota BIN. Tapi nggak ada itu.

Dalam sidang kasus Munir terungkap hubungan telepon Anda dengan Pollycarpus. Apa yang sebenarnya terjadi?

Saya luruskan. Hubungan telepon itu antara telepon yang biasa saya pakai (0811900xxx) dengan telepon yang katanya sering dipakai Pollycarpus. Bodoh sekali saya kalau nyuruh orang (membunuh), tapi setiap saat saya kontak terus. Apa saya sebodoh itu? Itu tidak logis.

Jadi, Anda tidak mengontak Polly?

Seperti yang saya jawab di depan penyidik dan di persidangan, hand phone saya itu bisa dipakai siapa saja.

Kok bisa dipakai siapa saja?

Anda tak percaya boleh saja. Hand phone itu, apalagi saat masih Deputi V, saya pegang hanya malam hari ketika akan tidur. Seharihari biasanya dipegang ajudan atau staf. Hand phone itu juga bisa dipakai siapa pun karena bukan hand phone kantor. Kalau hand phone kantor kita harus pertanggungjawabkan.

Kabarnya, telepon itu pemberian dari rekan Anda di PT Barito Pacific?

Waktu itu saya Komandan Korem di Jambi. Ada duatiga anak perusahaan Barito Pacific di sana. Saya kenal salah satu direkturnya sejak 1973. Tahun 1995 baru mulai ada hand phone di Indonesia. Bentuknya besar, harganya Rp 12 juta. Saat itu saya belum mampu membeli sendiri. Akhirnya saya minta tolong kawan saya. Sampai sekarang hand phone itu masih atas nama Barito. Saya pun tidak tahu setiap bulan habis berapa. Yang bayar mereka. Kalau sebulan pemakaiannya di atas lima juta, mereka tanya, ”Wah ke luar negeri terus ya.” Kalau di bawah lima juta, mereka diam saja hahaha.

Kalau Anda merasa dirugikan, mengapa Anda biarkan?

Sebetulnya saya tidak merasa rugi. Karena (salinan cetak bukti percakapan telepon) itu bukan bukti di dalam persidangan.

(M. Lutfie Hakim: Tak pernah ada satu pun saksi yang mengaku melihat Pak Muchdi berhubungan dengan Polly, mendengar beliau berbicara dengan Polly lewat telepon atau media apa pun. Lalu, alangkah bodohnya jika beliau menghubungi Polly dengan nomor ituitu saja, ke lima nomor Polly yang berbedabeda. Sementara, menurut seorang ahli teknologi informasi, ada alat pengganda nomor telepon GSM. Menurut dia, penggandaan ini sangat mudah. Alatnya dijual bebas di Glodok).

Mungkinkah ada orang BIN yang memakai nomor itu dan menimpakan tanggung jawab kepada Anda?

Saya kira tidak ada. Orang BIN beranggapan, bodoh amat kalau membunuh orang tapi kontakkontakan dengan pelaku. Itu kalau Polly dianggap pembunuh Munir. Tapi kan belum terbukti bahwa dia pelakunya.

Anda tidak merasa ada yang menusuk dari belakang?

Saya khusnuzhan (berprasangka baik) saja.

Tapi Anda jadi repot kan?

Biarin saja. Jangankan saya, Nabi saja pernah difitnah.

Katanya, sempat kenal Polly waktu samasama bertugas di Irian?

Irian itu empat kali Pulau Jawa. Memangnya kalau pernah tinggal di Irian pasti saling kenal? Saya memang lama di Irian, dari 1986–1993. Saya menjadi Komandan Kodim di Jayapura.

Mungkinkah Pollycarpus direkrut menjadi anggota BIN tapi Anda tidak tahu?

Bisa ya, bisa tidak. Contohnya, meski pernah menjadi Deputi BIN sejak Desember 2001, saya tidak kenal satu per satu anggota BIN. Nama anggota yang di bawah saya saja tidak hafal.

Jadi, ada kemungkinan Pollycarpus anggota BIN?

Bisa saja. Tapi kan selama ini Polly mengatakan dia bukan anggota BIN.

Sebagai Deputi V/Penggalangan, Anda kan seharusnya tahu?

Tidak. Di intel itu ada pembatasan. Sebagai Deputi V saya punya lima direktur. Apa yang dikerjakan direktur satu tidak diketahui direktur dua. Demikian juga sebaliknya. Seandainya tidak saya beri tahu mereka tidak akan bertanya. Kami dilarang bertanya.

Banyak orang yang mengatakan, Pollycarpus ini agen BIN kacangan karena operasinya gampang ketahuan?

Ya, boleh saja (berpendapat begitu). Sekarang zaman demokrasi.

Kalau Anda ditunjuk menjadi ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, apa yang akan Anda lakukan?

Kok begitu? Jangan berandaiandailah. Kita serahkan polisi saja. Ini kan negara hukum.

Anda menilai TPF tidak profesional?

Mereka mampu nggak mencari fakta? Akhirnya bukan fakta yang didapat, tapi opini dan asumsiasumsi. Nggak tahu saya, mereka bekerja untuk popularitas atau untuk cari duit?

Keputusan seseorang layak direkrut itu di bawah kewenangan Anda?

Tidak. Penggalangan agen luar negeri urusan Deputi Luar Negeri. Untuk operasi dalam negeri, urusan Deputi Dalam Negeri.

Tugas Anda sebagai Deputi Penggalangan apa?

Penggalangan itu contohnya bagaimana menyuruh Anda datang ke sini tanpa (saya) perlu menghubungi Anda.

Jadi, memakai tangan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu?

Ya, tapi tentunya sesuai dengan tugas pokoknya, yakni mengatasi masalah separatisme dan terorisme internasional.

Apa tugas masingmasing Deputi?

Dulu ada Deputi I Bidang Luar Negeri, Deputi II Dalam Negeri, Deputi III Analisa Produksi, Deputi IV Pengamanan, Deputi V Penggalangan, Deputi VI Teknologi. Sekarang hanya lima: Dalam Negeri, Luar Negeri, KontraIntelijen, Produksi, dan Teknologi. Baru bulan lalu diubah. Pengamanan dan Penggalangan tidak ada lagi. Ini pendekatan fungsi intelijen, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.

Siapa yang bertugas merekrut agen?

Tergantung kepentingannya. Sudahlah, kamu nanti tambah bingung. Untuk ngerti soal penggalangan saja perlu sekolah enam bulan.

Apa kriteria seseorang layak jadi agen BIN?

Anda mau tanya soal Munir atau mau tanya soal BIN? Kalau soal BIN, tanya di kantor saya saja, nanti saya salah lagi (suara Muchdi meninggi).

Katanya, Anda pernah menghubungi pengacara Adnan Buyung Nasution dan Mulyana W. Kusumah, meminta agar mereka mengingatkan Munir?

Itu seandainya. Ketika ditanya polisi, saya bilang Munir itu bukan siapasiapa, bukan target BIN. Target BIN itu separatisme dan terorisme internasional. Waktu itu saya bilang, ”Seandainya (Munir) begitu, saya hubungi saja seniorsenior dia, ngapain dibunuh? Saya nggak kenal dia.”

Jadi, Munir tidak masuk target BIN?

Nggak ada. Kalau bicara soal vokal, Buyung Nasution kurang apa vokalnya? Toh dia selamat.

Tapi pada 1998, aktivis mahasiswa yang bukan siapasiapa juga jadi target operasi penculikan?

Tahun 1998 saya Pangdam Kalimantan. Tanya mahasiswa Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, apa saya menangkap mereka? Justru (dalam kasus penculikan aktivis oleh Tim Mawar Kopassus) saya yang ngeluarin. Tanya Pius Lustrilanang (salah satu aktivis yang diculik) atau yang lain.

Anda merasa jadi sasaran tembak?

Saya tidak tahu. Lagi pula ngapain menganalisa, wong saya juga tidak punya ambisi macammacam. Saya begini ini sudah alhamdulillah. Waktu taruna saya bercitacita jadi Panglima Kodam. Kawankawan saya hampir semua kepingin jadi Kepala Staf TNI AD, jadi Panglima ABRI, jadi presiden. Tapi kebanyakan mereka malah pensiun letnan kolonel. Saya alhamdulillah tercapai jadi Pangdam dan Komandan Baret Merah.

Juga jadi Deputi V BIN—posisi yang kini menyulitkan Anda?

Saya nggak mintaminta. Pak Hendro menawarkan kepada saya setelah pada 1998 dianggurin di Mabes TNI. Waktu itu umur saya 49 tahun. Alhamdulillah, ketika tidak dikasih kerjaan saya cari kantor lain. Akhirnya dapat. Jadi, sekarang saya bukan orang susah (Muchdi dicopot dari jabatan Komandan Jenderal Kopassus dan tak diberi posisi setelah dianggap ikut bertanggung jawab dalam kasus penangkapan para aktivis—Red.)

Apa kesibukan Anda sekarang?

Saya punya perusahaan kecilkecilan untuk cari sesuap nasi: perusahaan gas di Cikarang, bulan depan memasok ke Surabaya. Juga, mengelola franchise Ayam Goreng Wong Solo di Lampung. Tapi rugi melulu, padahal sudah habis Rp 1 miliar. Saya juga punya sekolah Internasional Islamic Boarding School di Cikarang.

Dulu Anda sering dipanggil Django. Mengapa?

Itu julukan waktu taruna. Seperti saya panggil Bagyo (Mantan KSAD Jenderal Purn. Subagyo H.S.) Gendon, saya panggil Tyasno (Mantan KSAD Jenderal Purn. Tyasno Sudarto) Onthel. Kami satu angkatan. Kalau mbolos, supaya tidak ketahuan kami janjian. Kalau malammalam dipanggil Muchdi tidak jawab, tapi kalau dipanggil Django baru jawab. Saya dipanggil Django karena suka menembak.

Mayjen (Purn.) Muchdi Purwopranjono:

Lahir: 15 April 1949

Pendidikan: Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Angkatan 1970

Karier:

  • Komandan Korem 042/Garuda Putih, Jambi
  • Kepala Staf Kodam V Brawijaya
  • Panglima Kodam VI Tanjungpura, 1997–1998
  • Komandan Jenderal Kopassus, Maret–Mei 1998
  • Deputy V Badan Intelijen Negara, 2001–2004

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus