Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Utang Dibayar, Penjara Tetap

Kedatangan para pengutang BLBI ke Istana berbuntut polemik panjang. Kali ini negara harus untung.

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCARI ketenangan hidup di hari tua bagi empat pengutang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia itu rupanya bukan perkara gampang. Ha-nya dengan melenggang ke Istana dan menyatakan sanggup membayar utang tak membuat mereka mampu membeli kepastian bebas.

Pertemuan setengah jam Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), James Januardy (Bank Namura), Omar Putihrai (Bank Tamara), dan Lukman Astanto (menantu Atang Latief, pemilik Bank Indonesia Raya), dengan para menteri ekonomi, Jaksa Agung, dan Kepala Polri, Senin dua pekan lalu, kini justru berbuntut kurang nyaman. Banyak protes dan gugatan.

Muncul pertanyaan, mengapa me-re-ka yang mengemplang begitu banyak uang negara diperlakukan istimewa? Diterima di tempat terhormat, dan diantar dua perwira polisi selevel Inspektur Jenderal Gorries Mere dan Komisaris Besar Benny Mamoto. Bagi terdakwa korupsi seperti M. Sholeh Tasripan, perlakuan atas para debitor kakap itu sungguh tak adil.

Di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, mantan direktur di Bank Mandiri ini menyampaikan protesnya sambil sesenggukan. "Perasaan keadilan saya terluka," katanya. Tak kurang pula yang mewanti-wanti agar sowan para pengutang ke Istana di sore gerimis itu tak menyurutkan niat penegakan hukum atas mereka.

"Pengembalian utang tidak boleh menghilangkan tuntutan pidana," kata Ketua Komisi Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia DPR RI, Trimedya Panjaitan. Dalam sidang di DPR, Selasa pekan lalu, Komisi ini sepakat meminta jawaban tertulis dari polisi. Para anggota Dewan tak puas dengan jawab-an yang diberikan Komisaris Jende-ral Makbul Padmanegara dan Gorries Mere, yang hadir mewakili Kepala Polri Jenderal Sutanto.

Menghadapi pertanyaan dan protes bertubi-tubi, tak urung Jenderal Sutanto sendiri merasa perlu turun langsung. Ia membenarkan, kedatangan para de-bitor itu atas prakarsa dan izinnya. "Kewajiban saya untuk menangani semua-nya," katanya, Senin pekan lalu.

Klarifikasi lebih terperinci dibe-rikan Gorries Mere. Di depan para wakil rak-yat, Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri ini menjelaskan bagaimana ceritanya sampai empat debitor itu dibawanya ke Istana.

Setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional tutup, Februari dua tahun lalu, beberapa pengutang yang berniat melunasi kewajibannya menghubungi Tim Pemberesan yang dibentuk pemerintah. Tapi, di tim itu mereka tak tertangani. "Mereka kooperatif dan sudah memba-yar sebagian kewajibannya pada negara," kata Gorries.

Debitor seperti Atang Latief, misalnya, sangat ingin pulang dan melunasi utangnya. Tapi selama ini, kata Gorries, Atang tak berani ke Indonesia kar-ena ditakut-takuti anak-anaknya sen-diri. "Anak-anaknya menelepon, meng-irim surat, dan menakut-nakuti supaya Atang Latief tidak pulang," katanya kepada Erwin Dariyanto dari Tempo.

Mereka ingin menguasai aset ayah-nya, yang sebenarnya telah disita neg-a-ra. "Mereka itu semua kaya, harta dari mana?" ujar Gorries. Dalam kaitan itu, Rabu dua pekan lalu, salah satu anak Atang bernama Husni Mochtar telah ditangkap tim dari Mabes Polri. Husni dituduh menggelapkan aset pribadi yang akan digunakan Atang membayar utang BLBI. Tudingan ini dibantah kuasa hukum Husni Mochtar, Didi Irawadi Syam-suddin. "Aset yang dikelola Husni adalah milik pribadi," katanya. "Tak ada sedikit pun milik Atang."

Mendapat informasi seperti itu, Kepala Polri Jenderal Sutanto memerintahkan Gorries dan anggotanya terbang menemui mereka yang sedang berada di Amerika Serikat. Sutanto juga me-laporkan hal ini kepada Presiden. Pada mereka dijanjikan tak akan ada tindak-an hukum yang dikenakan, asal mereka pulang dan membayar.

Ketika menteri-menteri di bidang eko-nomi, Kepala Polri, dan Jaksa Agung rapat di kantor Presiden, Gorries diperintahkan datang menghadirkan mereka. "Soal tempat di Istana itu hanya kebetul-an," kata Sutanto. Ia meminta langkah anak buahnya ini dilihat sebagai keberhasilan. "Beberapa tahun kita mencari mereka, sekarang sudah kembali," ujarnya.

Ternyata urusannya tak segampang itu. Trimedya, misalnya, mengan-ggap alasan para debitor soal tak adanya pengganti BPPN hanya dibuat-buat. "Kan ada Tim Pemberesan dan Perusahaan Pengelola Aset yang menggantinya?" ujar politikus PDI Perjuangan ini. Mereka harus tetap bayar. "Tapi tidak bisa bebas dari hukum begitu saja."

Ia berjanji, komisinya akan mengawasi secara ketat realisasi pengembalian uang negara dari para debitor itu. "Kalau perlu, kami akan melakukan pe-nin-jauan fisik," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. "Jangan-jangan uangnya tak pernah ada."

Rapat antara Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Polri, dan Jaksa Agung telah menunjuk Menteri Keuangan Sri Mul-yani mengurus soal pengembalian ini. "Sudah dibentuk tim khusus," kata Sri Mulyani. Rencananya, pekan ini skema penanganan para debitor BLBI sudah bisa diumumkan.

Jumlah kewajiban para pengutang akan dihitung ulang, termasuk besarnya bunga, untuk memastikan negara tak dirugikan. Tenggat pembayaran ditetapkan hingga akhir tahun ini. Tapi, dengan desakan begitu kuat agar pengusutan pidana tetap diteruskan, besar kemungkinan mereka yang tadinya sudah bersiap mengikuti jejak empat debitor itu akan berpikir ulang untuk pulang.

Y. Tomi Aryanto, Sunariyah, Raden Rachmadi, Retno Sulistyowati


Yang Bebas dan Tersangkut

SELAMA ini para debitor BLBI beralasan kabur ke luar negeri, atau bersembunyi, karena tak ada kepastian hukum di negeri ini. Mereka mengatakan ingin melunasi utang, tapi takut hak-haknya tak terlindungi, atau hanya akan jadi bulan-bulanan dan obyek pemerasan para oknum penegak hukum dan politisi.

Manajemen penyelesaian utang para debitor itu selama ini memang terbukti mulur-mungkret, tergantung tekanan politik dan "selera" mereka yang sedang memegang kendali hukum dan pemerintahan. Puluhan pengutang sukses mendapatkan surat keterangan lunas dan dilepaskan dari tuntutan hukum (release and discharge). Beberapa memilih kabur bersama sisa utang yang belum terbayar.

Berikut status mereka per 30 April 2004:

Penandatangan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA)

Anthoni Salim/Salim Grup (Bank Central Asia /BCA): Rp 52,727 triliun

Surat Keterangan Lunas (SKL) terbit Maret 2004.

Mohammad "Bob" Hasan(Bank Umum Nasional /BUN): Rp 5,34 triliun. Bos Grup Nusamba ini menyerahkan 31 aset dalam perusahaan, termasuk 14,5 persen saham di PT Tugu Pratama Indonesia.

Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia/BDNI): Rp 27,4 triliun

Surat lunas terbit pada April 2004. Aset yang diserahkan di antaranya PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun). Pada 13 Juli 2004, Kejaksaan Agung menghadihainya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Tapi keputusan ini ditinjau kembali oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.

Sudwikatmono (Bank Surya): Rp 1,9 triliun, SKL terbit akhir 2003

Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional): Rp 664 miliar, SKL terbit akhir 2003

Bayar Kontan

Bambang Trihatmodjo (Bank Alfa): 8 miliar

Suryadi/Subandi Tanuwidjaja (Bank Sino): Rp 1 miliar

Keluarga Ciputra (Bank Ciputra): Rp 5 miliar

Aldo Brasali (Bank Orient): Rp 1 miliar

Sofjan Wanandi(Bank Danahutama): Rp 1 miliar

Melalui program Master Refinancing Notes Issuance and Agreement (MRNIA)

Usman Admadjaja (Bank Danamon): Rp 12,533 triliun, P-Notes terjual. Negara tak memiliki hak tagih lagi.

Hokiarto & Hokianto(Bank Hokindo): Rp 298 miliar, P-Notes terjual. Negara tak memiliki hak tagih lagi.

Samadikun Hartono(Bank Modern): Rp 2,663 triliun, Non-kooperatif

Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional /BUN):Rp 8,348 triliun, Non-kooperatif

Keterangan:

Juli 2003, Samadikun divonis 4 tahun penjara, tapi ia keburu kabur ke luar negeri. Mereka yang juga memilih kabur antara lain:

Bambang Sutrisno (Bank Surya), Andrian Kiki Ariawan (Bank Surya), Eko Adi Putranto (Bank Harapan Santosa), Sherny Konjongiang (Bank BHS), Agus Anwar (Bank Pelita-Istimarat), Hendra Rahardja (alm.) (Bank BHS)

Penanda Tangan Akta Pengakuan Utang (APU) *Menerima SKL

Siti Hardiyanti Rukmana (Bank Yakin Makmur/Yama): Rp 156 miliar, SKL terbit 27 Februari 2004.

The Ning King (Bank Dana Hutama): 18 miliar, Akhir Desember 2003, ia membayar tunai pada BPPN: yakni pokok utang Rp 18 miliar, dan bunga Rp 5 miliar.

Hendra Liem (Bank Budi Internasional): Rp 16,95 miliar, Memperoleh keterangan lunas (SKL)

Hasjim Djojohadikusumo (Bank Papan Sejahtera): Rp 217 miliar, Terima SKL, juga untuk utangnya melalui Bank Pelita-Istimarat senilai Rp 119 miliar.

Nyoo Kok Kiong (Bank Papan Sejahtera):Rp 108,491 miliar*

Honggo Wendratno (Bank Papan Sejahtera): Rp 108,491 miliar*

Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya Utama): Rp 50,441 miliar*

Philip S. Widjaja (Bank Mashill): Rp50 miliar*

Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade): Rp 33 miliar*

Andy H. Sardjito (Bank Baja Internasional): Rp 25 miliar*

Ganda Eka Handria (Bank Sanho): Rp 15 miliar*

The Tje Min (Bank Hastin): Rp 140 miliar*

Nirwan Dermawan Bakrie (Bank Nusa Nasional /BNN): Rp 3,359 triliun*

Husodo Angkosubroto (Bank Sewu International): Rp 209,205 miliar*

The Ning Khong (Bank Baja Internasional): Rp 45,139 miliar*

Iwan Suhardiman (Bank Tamara): Rp 36 miliar*

Yang Belum Lunas

Marimutu Sinivasan(Bank Putera Multikarsa): Rp 1,130 triliun,

Atang Latief (Bank Indonesia Raya): Rp 325,457 miliar,

Lidia Muchtar (Bank Tamara): Rp 202,802 miliar,

Omar Putihrai (Bank Tamara): Rp 190,169 miliar,

Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta): Rp 123,042 miliar,

Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian): Rp 615,44 miliar

Non-kooperatif, Penanganan Dialihkan ke Kepolisian

Fadel Muhammad (Bank Intan): Rp 88 miliar

Trijono Gondokusumo(Bank Putra Surya Perkasa): Rp 3,031 triliun

Santosa Sumali (Bank Metropolitan): Rp 47 miliar

Santosa Sumali (Bank Bahari): Rp 295 miliar

Tarunojoyo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia): Rp 3,336 triliun

Baringin Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa): Rp 159 miliar

Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata Internasional): Rp 462 miliar

I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken): Rp 618 miliar

Tidak Menandatangani Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) Non-kooperatif, penanganan dialihkan ke Kejaksaan Agung.

Dewanto Kurniawan/Royanto Kurniawan/Leo Polisa/Rasjim Wiraatmadja (Bank Deka)

AndriTedjadharma/PT Centris Mekarlestari/Prasetyo Utomo/Paul Banara Silalahi (Bank Centris)

Setiawan Hardjono/Hendrawan Hardjono (Bank ASPAC)

Hindarto Tantular/Anton Tantular (Bank Central Dagang)

Sjamsul Nursalim (Bank Dewa Rutji)

Kwan Benny Ahadi (Bank Orient)

Kaharuddin Ongko (Bank Arya)

Sujanto Gondokusumo (Bank Dharmala)

YTA-Riset Tempo/ BPPN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus