Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dunia Keseharian di Televisi

Sinetron Maha Kasih mencapai rating tertinggi pada penayangan episode perdana. Penonton mulai bosan tayangan berbau dunia gaib.

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia seorang tukang bubur yang sederhana. Penghasilan Sulam (Mat Solar) tak seberapa. Tapi, menurut tetangganya yang rajin mengejek—seolah tak ada pekerjaan yang lebih penting dalam hidup ini—citacita Sulam terlalu melambung. Sulam ingin memberangkatkan emaknya (Nani Wijaya) naik haji.

Namun, Sulam tak menyerah. Setiap hari ia menyisihkan sebagian keuntungan yang didapat dari hasil berjualan untuk ditabung. Ia tak peduli sampai kapan uang tabungannya cukup untuk memberangkatkan emak naik haji. Bila perlu, ia siap menggadaikan rumah demi emak.

Tak disangka, Sulam berhasil menang undian dengan hadiah uang dari bank tempatnya menabung. Dengan kemeja lusuh dan bersandal jepit, Sulam membawa pulang segepok uang yang dibungkus kantong plastik besar. Uang itu cukup untuk memberangkatkan haji emak, dirinya, berikut para tetangganya yang usil itu.

Cerita berjudul Tukang Bubur Naik Haji ini adalah episode perdana serial Maha Kasih arahan sutradara Chaerul Umam, yang ditayangkan RCTI saban Sabtu pukul 19.00. Secara mengejutkan, sinetron yang ditayangkan pada Januari lalu itu langsung mencapai rating tertinggi dibanding tayangan lain pada jam yang sama. Ratingnya mencapai 11 persen, atau meraih jumlah penonton 4,5 juta orang, di sembilan kota. Tak mengherankan, dengan berkah rating itu, RCTI kemudian menayangkan ulang sinetron berdurasi satu jam itu hingga dua kali.

Tingginya jumlah penonton pada tayangan perdana ini terbilang langka dialami sinetron. Lazimnya, sebuah tayangan mesti melewati tahapan seperti anak tangga dalam beberapa pekan sebelum sampai ke puncak. Fenomena melesatnya angka rating itu tercatat pernah terjadi antara lain pada sinetron Si Doel Anak Sekolahan dan Pernikahan Dini.

Apa yang membuat serial Maha Kasih sukses menangguk penonton? Kejelian membaca selera penonton adalah kuncinya. Chaerul Umam, sutradara Maha Kasih, mengungkapkan bahwa penonton sudah bosan dengan tayangan berbau dunia gaib dan kekerasan. Maha Kasih, kata Umam yang telah menyiapkan 13 episode, menawarkan resep cerita bernuansa religius tanpa sentuhan kekerasan dan mistik murahan. ”Tema besar cerita ini adalah keutamaan bersedekah. Para tokohnya akan mendapat ganjaran atas sedekah yang dilakukannya,” kata Umam.

Sedekah yang menjadi konsep sinetron ini, kata ustad Yusuf Mansur yang pertama kali menggagas ide cerita Maha Kasih, tidaklah bermakna sempit hanya sekadar berderma. Menyantuni anak yatim, menyekolahkan anak tak mampu, atau menabung untuk sebuah niat mulia juga termasuk dalam kategori bersedekah.

Dengan konsep sederhana itu, Umam kemudian menghidupkan roh tayangan dengan dialog yang kuat dan humor yang segar. Sutradara film Kejar Daku Kau Kutangkap itu menggandeng Imam Tantowi sebagai penulis skenario. Khusus untuk episode Tukang Bubur Naik Haji itu, kata Tantowi, ”Saya butuh lebih dari tiga hari untuk berdiskusi (dengan Umam dan Yusuf). Bagaimanapun, efek dramaturgi harus tetap terjaga dalam dialog,” kata Tantowi.

Dalam serial Maha Kasih, selain Tantowi, Umam juga mempercayakan penulisan skenario kepada Muhammad Yulius dan Ida Farida. Untuk pemeran utama, sejumlah nama seperti Tora Sudiro, Fauzi Baadila, Rano Karno, Didi Petet, Syahrul Gunawan, Desy Ratnasari, Marshanda, Paramitha Rusadi, dan Aming digaet.

Sebelum Maha Kasih, Deddy Mizwar sebenarnya sudah terlebih dulu membuat sinetron yang realistik dan digemari penonton lewat Kiamat Sudah Dekat, yang ditayangkan SCTV. Bedanya, Maha Kasih produksi Sinemart ini bukan cerita fiksi. Yusuf, yang menjadi pengasuh pengajian Wisata Hati di pesantrennya di Ciledug, Tangerang, mengumpulkan berbagai kisah penuh hikmah yang dialami langsung para anggota jemaah, keluarga, atau temanteman santrinya.

Di tengah sinetron yang cuma menawarkan panorama kemewahan dengan para pemain yang saling beradu urat leher, atau tayangan hantu bergentayangan, Maha Kasih menawarkan tontonan mencerahkan. Hanya, rating tayangan ini kian merosot belakangan ini. Pada episode Aku Bukan Banci Kaleng, yang diperankan Aming, Maha Kasih masih menduduki peringkat kedua. Namun, pada Jual Motor Dapat Jodoh (Syahrul Gunawan), peringkatnya menurun ke urutan ke12. Pada Putus Asa itu Dosa (Rano Karno), peringkatnya kian jeblok cuma di urutan ke30.

Berbagai kisah yang sengaja mengambil peristiwa seharihari, cenderung kelas menengahbawah, dalam serial ini sebetulnya bisa diselesaikan dengan cara realistik pula. (Pada Putus Asa itu Dosa, ada penyelesaian gantung diri; apa itu perlu?) Peristiwa seharihari yang sederhana tak selalu identik dengan tragedi dan kisah yang mengharubiru. Bukankah episode pertama tentang Sulam itu sudah memberi contoh yang jelas?

Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus