Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid memimpin sidang darurat mengenai perang di Ukraina setelah Dewan Keamanan gagal melahirkan resolusi.
Bagaimana Shahid melihat peran Majelis Umum dalam kemacetan di Dewan Keamanan ini?
Apa katanya tentang desakan untuk reformasi PBB?
ABDULLA Shahid terpilih sebagai Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September 2021 tepat di masa yang sulit. Pandemi Covid-19 sedang melanda dan masalah lingkungan merebak. Baru beberapa bulan menjabat, dia sudah harus menghadapi kegawatan baru: perang Rusia-Ukraina. Dampak perang itu bahkan meluas hingga mengganggu perekonomian dunia dan memicu krisis pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Keamanan PBB gagal melahirkan resolusi tentang perang tersebut dan menyerahkannya kepada Majelis Umum yang dipimpin Shahid. Kondisi ini menggaungkan kembali desakan banyak pihak tentang reformasi PBB. “Ini juga merupakan masa yang sulit bagi multilateralisme—banyak orang kehilangan harapan atau mempertanyakan lembaga-lembaga (PBB) ini,” kata Shahid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shahid bertandang ke Bali buat menghadiri pertemuan Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana pada Kamis, 26 Mei lalu. Di tengah kesibukannya dalam acara tersebut, mantan Menteri Luar Negeri Maladewa itu berbincang-bincang secara virtual dan dilanjutkan secara tertulis dengan wartawan Tempo, Iwan Kurniawan dan Daniel Ahmad. Shahid membahas dampak perang Rusia-Ukraina, peran Indonesia dalam G20, perubahan iklim, dan peran perempuan.
Sebagai Presiden Majelis Umum PBB, apa tantangan terbesar Anda?
Saya memegang kursi kepresidenan pada saat yang sangat sulit. Covid-19 menghancurkan komunitas kita, vaksin masih dalam tahap awal dan tidak tersedia secara luas, krisis iklim berkecamuk, serta krisis lingkungan dan sosial lain sedang berlangsung. Itu juga merupakan masa yang sulit bagi multilateralisme—dengan banyak orang kehilangan harapan atau mempertanyakan lembaga-lembaga (PBB) ini. Lalu tahun ini kita menghadapi krisis lain: perang di Ukraina. Ini bukan hanya bencana bagi Ukraina. Efeknya juga bergema di seluruh dunia. Ini juga merupakan tantangan lain bagi multilateralisme, bagi PBB, dan kemampuannya untuk menyatukan negara-negara anggota.
Bagaimana dengan desakan banyak pihak untuk mereformasi PBB?
Kekecewaan dalam multilateralisme adalah tantangan yang terus saya hadapi. Misalnya ada kesepakatan luas tentang perlunya mereformasi PBB agar tetap relevan. Tantangan yang dihadapi dunia menjadi makin kompleks dan saling terkait. PBB harus terus berkembang untuk dapat menjawab tantangan tersebut.
Tapi reformasi berjalan lambat. Misalnya diskusi seputar reformasi Dewan Keamanan telah berlangsung selama beberapa dekade. Fokus saya adalah menjalankan proses yang transparan, inklusif, dan didorong oleh anggota PBB, yang tahun ini difasilitasi oleh Perwakilan Tetap Denmark dan Qatar untuk PBB, Duta Besar Martin Bille Hermann dan Duta Besar Alya Ahmed bin Saif al-Thani, dan membuat beberapa kemajuan.
Dewan Keamanan PBB gagal menghasilkan resolusi tentang perang Rusia-Ukraina. Bagaimana Majelis Umum akhirnya mengambil alih masalah tersebut?
Isu Ukraina diajukan ke Majelis Umum ketika sidang Dewan Keamanan menemui jalan buntu, tidak dapat mencapai resolusi tentang masalah tersebut. Di bawah sistem PBB, bila Dewan Keamanan tidak dapat mencapai keputusan, ada dua cara yang negara anggota dapat ambil. Salah satunya mengajukan resolusi kepada Dewan untuk merujuk masalah ini ke Majelis agar Majelis memulai sidang khusus darurat. Cara lain, separuh dari anggota Dewan mengajukan petisi kepada Majelis agar menggelar sidang khusus darurat.
Pada 26 April, Majelis Umum memutuskan, melalui konsensus, memberikan mandat kepada Presiden Majelis Umum untuk secara otomatis menggelar debat dalam waktu 10 hari jika hak veto diberikan oleh salah satu dari lima anggota tetap di Dewan Keamanan. Kali ini sidang khusus darurat diminta oleh resolusi dari Dewan Keamanan dan Majelis Umum harus bersidang dalam 24 jam setelah permintaan Dewan Keamanan diajukan.
Saya menggelar sidang. Di akhir debat, resolusi disahkan oleh Majelis. Alhamdulillah, 140 negara mendukung dan 5 negara menentangnya. Banyaknya negara yang mendukung menunjukkan bukti komitmen PBB terhadap Piagam PBB dan perlindungan atas integritas wilayah negara.
(Resolusi itu antara lain menegaskan komitmen PBB terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina, menyesalkan agresi Rusia, serta menuntut Rusia segera menarik semua kekuatan militernya dari wilayah Ukraina.)
Resolusi ini menekankan kembali peran Majelis Umum, pengaruh moral dan politiknya. Majelis adalah suara komunitas internasional, sebagai badan dengan keanggotaan universal. Ia memiliki otoritas moral dan normatif terhadap ancaman terhadap keamanan.
Bagaimana Majelis dapat membantu mengakhiri perang?
PBB dibangun sesuai dengan kehendak negara anggotanya. Ada 193 negara anggota yang memutuskan hal-hal yang harus diputuskan oleh PBB. Majelis telah menyetujui Bab VII Piagam PBB (tentang kewenangan Dewan Keamanan untuk menjaga perdamaian dunia) agar ditegakkan. Tapi, sekali lagi, terserah kepada negara anggota untuk memutuskan bagaimana menggunakan kewenangannya. Jika penggunaan kewenangan tersebut tidak diputuskan oleh negara anggota itu sendiri, PBB tidak akan dapat mengambil alihnya.
Abdulla Shahid, Presiden sesi ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Markas Besar PBB, New York, 20 September 2021. UN Photo/Ariana Lindquist
Apakah Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 dapat berkontribusi dalam masalah perang ini?
Sebagai 20 ekonomi terkemuka di dunia, G20 memiliki tanggung jawab untuk membantu membimbing komunitas internasional keluar dari masa-masa yang penuh tantangan ini. Secara khusus, tindakan G20 diperlukan untuk mendukung tiga pilar pemulihan dari pandemi Covid-19: vaksinasi global, membiayai ketahanan sosial ekonomi global, dan menghidupkan kembali multilateralisme.
Dalam hal Ukraina, kita perlu berupaya untuk bersatu dalam tradisi multilateralisme terbaik. Laporan Sekretaris Jenderal PBB, Agenda Bersama Kita, mengusulkan diadakannya konferensi tingkat tinggi dua tahunan yang mempertemukan anggota PBB, G20, dan lembaga keuangan internasional di bawah payung PBB untuk mempercepat dan meningkatkan pembiayaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pengarahan dan interaksi reguler ini akan membantu membangun kepercayaan serta memajukan agenda pembangunan dan pemulihan.
Indonesia, sebagai bagian dari negara berkembang, merupakan suara penting sebagai Presiden G20, untuk mengangkat isu-isu yang dihadapi negara berkembang. Ini khususnya soal tantangan pembangunan, dampak perubahan iklim, hingga membangun ketangguhan. Saya yakin Indonesia akan berhasil menjalankan tanggung jawab ini.
Pandemi Covid-19 masih berjalan meski tak separah sebelumnya. Bagaimana agar pandemi ini segera berakhir?
Pandemi ini telah memperkuat seruan bagi komunitas internasional untuk bekerja sama lintas sektor guna menghadapi tantangan global. Banyak wilayah di dunia memperoleh manfaat berkat kolaborasi internasional dalam berbagi sumber daya medis dan keuangan, menciptakan dan berbagi vaksin serta informasi medis penting lain.
Januari lalu, saya menggelar acara tingkat tinggi di Markas Besar PBB di New York dan semua 193 negara anggota memberi komitmen ulang mengenai kesetaraan vaksin. Mereka bersepakat bahwa, bila semua orang tidak divaksin sepenuhnya, kemunculan varian baru akan mencegah pemulihan. Saya senang mengetahui vaksin Merah Putih yang diharapkan akan segera tersedia. Akses ke vaksin Covid-19 sangat penting bagi masyarakat dunia untuk kembali bekerja dan bersekolah.
Yang lain adalah dukungan untuk kembali membangun. Kita perlu mendukung negara-negara, terutama negara terbelakang (LDC), negara berkembang terkurung daratan (LLDC), dan negara berkembang di pulau kecil (SID), negara-negara dalam situasi khusus—dengan intervensi yang ditargetkan. Kita perlu memastikan bahwa kita sedang membangun kembali negara-negara ini secara lebih berkelanjutan—lebih kuat, lebih baik, lebih hijau, dan lebih biru.
Pandemi dan perang di Ukraina telah mengganggu perekonomian dunia. Bagaimana mengupayakan pemulihan ekonomi global, terutama di sektor wisata?
Dampak pandemi terhadap pariwisata dan ekonomi yang bergantung pada pariwisata tidak ada bandingannya. Pada 2019, sebelum masa pandemi, pariwisata menyumbang US$ 3,5 triliun terhadap produk domestik bruto global. Penurunan tajam selama masa pandemi diperkirakan menelan biaya hingga 120 juta pekerjaan.
Meskipun mudah untuk menyimpulkan jumlah kehancuran seperti itu, tidak mudah menghitung jumlah korban secara keseluruhan pada orang dan komunitas, pada layanan yang hilang karena pendapatan pemerintah mengering. Dalam pemulihan dari Covid-19, kita punya peluang untuk tidak hanya memulai kembali pariwisata, tapi juga mengubahnya menjadi sektor pariwisata global yang lebih berkelanjutan, lebih tangguh, dan lebih bertanggung jawab.
Perang Rusia-Ukraina telah memicu krisis pangan dunia. Bagaimana mengatasinya?
Konflik di Ukraina diperkirakan berdampak parah pada ekonomi negara berkembang yang sudah rapuh dan bergantung pada komoditas, merusak pemulihan mereka dari pandemi dan melemahkan kapasitas mereka untuk memenuhi SDGs. Kenaikan harga pangan serta biaya energi dan pupuk akibat konflik Ukraina, antara lain, diperkirakan memberikan tekanan ke bawah pada prospek pertumbuhan global dan tekanan pada inflasi.
Saya menyambut baik pembentukan cepat Kelompok Respons Krisis Global tentang Pangan, Energi, dan Keuangan oleh Sekretaris Jenderal PBB. Kerja kelompok ini sangat penting bagi sistem PBB untuk membantu mengelola tantangan besar dan saling terkait dari ketahanan pangan global, ketahanan energi, dan pembiayaan.
Tantangan ini bukannya tidak dapat diatasi. Sumber daya, alat, dan instrumen ada. Kita hanya perlu kemauan politik dan menggalang kemitraan publik-swasta untuk mendukung upaya negara berkembang pulih. Langkah-langkah kuncinya termasuk mengatasi kemacetan dalam rantai pasokan global, meningkatkan akses pasar, membangun kapasitas, serta berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi yang berkelanjutan dan tangguh.
Abdulla Shahid
Tempat dan tanggal lahir: Malé, Maladewa, 26 Mei 1962 | Pendidikan: S-1 Ilmu Politik dan Ekonomi Canberra College of Advanced Education, Australia, 1987; S-2 Hubungan Internasional Fletcher School of Law and Diplomacy, Tufts University, Amerika Serikat, 1991 | Pekerjaan: Anggota Majelis Konstitusional, 1994-1998; Anggota Majelis Rakyat, 1995-2018; Ketua Majelis Rakyat, 2009-2013; Presiden Perhimpunan Ketua dan Anggota Parlemen Asosiasi Asia Selatan untuk Kerja Sama Regional (SAARC), 2013-2014; Anggota Komisi Eksekutif Konferensi Anggota Parlemen Persemakmuran, 2011-2014; Sekretaris Eksekutif Presiden Maladewa (Kepala Staf), 1995-2005; Menteri Luar Negeri, 2007-2008; Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2021-sekarang
Bagaimana soal krisis iklim? Bagaimana pengalaman negara Anda?
Ketika saya berpidato di Majelis Umum pada September, dua isu utama adalah Covid-19 dan perubahan iklim. Saya mengatakan, “Ada saat-saat dalam waktu yang merupakan titik balik. Ini adalah salah satu momen seperti itu. Kita dapat memilih jalan isolasionisme, penghancuran bersama, kemunduran eksperimen manusia secara perlahan, atau kita dapat bersama-sama menempa jalan baru, jalan yang berkelanjutan dan tangguh yang mengubah masa depan planet kita.” Multilateralisme sangat dibutuhkan saat ini.
Kita punya inovasi luar biasa dalam energi terbarukan, dalam teknologi adaptif, dan transisi dari bahan bakar fosil. Kita hanya kekurangan kemauan politik dan pembiayaan.
Di negara asal saya, Maladewa, dampak perubahan iklim bukan lagi masa depan. Ini adalah kenyataan hidup kami. Maladewa memiliki hampir 1.200 atol dan sekitar 80 persen di antaranya berada kurang dari 1 meter di atas air. Sains menunjukkan bahwa Maladewa akan berada di bawah air dalam 60 tahun mendatang. Kami melihat pola cuaca buruk yang memburuk setiap tahun. Hidup di pulau-pulau itu—dalam segala hal—bisa menjadi makin sulit, yang membuat semua penduduk berisiko kehilangan nyawa dan mata pencarian serta tanah mereka. Itulah sebabnya saya dengan tegas menyerukan tindakan segera terhadap perubahan iklim. Sebagai orang Maladewa, saya tidak punya pilihan lain.
Bencana alam saat ini tidak lepas dari krisis iklim. Apa yang ditawarkan Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) dalam menghadapinya?
Laporan Penilaian Global (GAR 2022) menunjukkan bahwa jumlah bencana skala menengah dan besar rata-rata 350-500 per tahun dalam dua dekade terakhir. Diperkirakan mencapai 560 bencana per tahun pada 2030. Itu kira-kira 1,5 bencana per hari.
Di GPDRR, pemerintah, sistem PBB, dan semua pemangku kepentingan berkumpul untuk berbagi pengetahuan dan mendiskusikan perkembangan dan tren terbaru dalam mengurangi risiko bencana, mengidentifikasi kesenjangan, serta membuat rekomendasi. Melalui kesempatan seperti inilah kita dapat saling belajar, berbagi pengalaman, dan membangun kemitraan.
Bagaimana Anda melihat peran perempuan dalam mengatasi berbagai isu, seperti krisis iklim dan kesehatan?
Perempuan adalah separuh dari populasi. Baik dalam krisis iklim maupun kesehatan, mereka berada di garis depan. Perempuan biasanya menjadi pengasuh, petani, dan perawat hewan. Mereka juga ilmuwan dan insinyur yang mencari cara untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Begitu pula perempuan yang biasanya merawat kerabat dan teman yang sakit selama masa pandemi. Mereka juga ilmuwan yang membuat vaksin dan bekerja di rumah sakit. Bila mengabaikan perempuan, Anda mengabaikan orang-orang yang memahami tantangan dan mereka yang sering kali menemukan solusi.
Saya seorang feminis. Saya sangat percaya untuk memberi kesempatan perempuan berpartisipasi. Saya memimpin dengan memberi contoh. Mayoritas orang di kantor saya adalah perempuan. Saya juga mengatakan bahwa saya tidak akan duduk di panel PBB yang tidak seimbang gendernya. Di kantor saya, saya membuat posisi Penasihat Gender, yang dipimpin oleh Duta Besar Darja Bavdaz Kuret (Duta Besar Slovenia untuk PBB).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo