Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dalam Bayang-bayang Krisis Pangan

Krisis pangan membayangi dunia akibat perang Rusia-Ukraina. Sejumlah negara telah melarang ekspor komoditas pangannya. Dapat mengganggu kebutuhan gandum Indonesia.

 

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perdangangan ayam negeri di Kuala Lumpur, Malaysia 25 Mei 2022. REUTERS/Hasnoor Hussain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perang Rusia-Ukraina memicu krisis pangan dunia.

  • Sejumlah negara menerapkan larangan ekspor komoditas pangannya.

  • Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?

PERANG Rusia-Ukraina mulai terasa dalam penyediaan pangan di sejumlah negara. Ancaman krisis pangan bahkan mulai membayang. Seperti di Malaysia. Pemerintah Malaysia akhirnya memutuskan untuk menghentikan ekspor 3,6 juta ekor ayam selama sebulan mulai Juni mendatang hingga produksi dan harga stabil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurangnya pasokan telah menyebabkan sebagian pedagang menjual daging ayam di atas pagu harga yang ditetapkan pemerintah sebesar 8,9 ringgit atau sekitar Rp 23 ribu per kilogram. Menurut data harian Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Konsumen, harga ayam utuh pada Selasa, 24 Mei lalu, dijual seharga 6,99-9,50 ringgit per kilogram di Kuala Lumpur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah juga mencabut izin impor sejumlah komoditas, seperti kubis, kelapa, ayam, dan susu, untuk mengamankan pasokan makanan dan menahan kenaikan harga. Rapat kabinet pada Senin, 23 Mei lalu, memutuskan membangun stok penyangga ayam nasional dan mengoptimalkan fasilitas penyimpanan milik Kementerian Pertanian dan Industri Pangan.

Pemerintah menduga seretnya pasokan ini terjadi karena adanya kartel yang menguasai harga dan produksi ayam di kalangan perusahaan besar dan Komisi Persaingan Usaha sedang menyelidikinya. “Jika ditemukan adanya kartel, pemerintah akan mengambil tindakan hukum terhadap mereka,” tutur Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri seperti dikutip Malaysia Now.

Penghentian ekspor untuk menjaga stok pangan ini tak hanya dilakukan Malaysia. Argentina, misalnya, menghentikan ekspor jagung, yang memicu kenaikan harga jagung di Amerika Serikat hingga mencapai titik tertinggi dalam enam tahun terakhir. Mesir melarang ekspor jagung dan minyak goreng serta gandum, terigu, dan pasta untuk tiga bulan ke depan. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan telah mengumumkan larangan ekspor gandum dan bahan pangan lain hingga akhir tahun ini. Indonesia, salah satu produsen minyak sawit dunia, sempat melarang ekspor minyak sawit, bahan baku minyak goreng, dalam tiga pekan.

Pengoperasian traktor sambil menabur benih jagung di ladang di wilayah Rostov, Rusia, 29 April 2022. REUTERS/Sergey Pivovarov

Berbagai kebijakan itu dilakukan banyak negara ketika stok pangan mereka mulai menipis di tengah ancaman krisis pangan dunia akibat perang Rusia-Ukraina. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rusia adalah pengekspor gandum terbesar dunia dan Ukraina terbesar kelima. Mereka menyediakan 29 persen pasokan gandum dunia, 15 persen jagung, dan 6 persen jelai—setengah dari ekspor sereal dunia. Kedua negara juga menyediakan sekitar 72 persen pasokan global minyak bunga matahari, bahan baku minyak goreng yang banyak dikonsumsi negara Eropa, Cina, dan India. Macetnya pasokan minyak ini membuat kebutuhan akan minyak sawit sebagai alternatif melonjak. Perang menyebabkan Ukraina tak dapat mengapalkan produknya dan sanksi yang dijatuhkan berbagai negara terhadap Rusia menyebabkan pasokan komoditas dari negeri Vladimir Putin itu berhenti mengalir ke pasar dunia.

“Konflik yang sedang berlangsung telah mempengaruhi rantai pasokan global dan mungkin akan terus menyebabkan kekurangan dan penundaan pasokan dari wilayah Laut Hitam, yang berdampak pada ketersediaan komoditas ini secara tepat waktu,” kata Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di Indonesia dan Timor Leste, kepada Tempo pada Jumat, 27 Mei lalu.

Buletin Pemantauan dan Analisa Harga Pangan (FPMA), laporan bulanan FAO, edisi Maret 2022, mencatat harga jagung dan gandum dunia masih terus merambat naik dalam tiga bulan terakhir. Harga jagung di Amerika naik 26,7 persen. Adapun harga gandum di Amerika dan Uni Eropa naik 32,5 dan 34,6 persen. “Perang di Ukraina makin mendorong naik harga komoditas global dari level yang sudah tinggi. Gangguan yang disebabkan oleh pandemi, penghentian produksi dalam negeri, penundaan transportasi lintas batas, dan sanksi internasional adalah beberapa pendorong utamanya,” ucap Aryal.

Keadaan ini mengakibatkan kerawanan pangan, yang dapat berujung pada kelaparan. Menurut Aryal, tingkat kelaparan global saat ini masih sangat tinggi. Menurut Laporan Global tentang Krisis Pangan (GRFC) pada 2021, jumlahnya melampaui semua rekor sebelumnya. Hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut dan membutuhkan bantuan mendesak di 53 negara/wilayah.

Ini bukan pertama kali dunia menghadapi kenaikan harga pangan tinggi. Inflasi pangan pernah terjadi pada 2007-2008 di tengah krisis keuangan global. Negara seperti Ukraina dan pengekspor gandum besar lain kemudian melarang ekspor gandum untuk mempertahankan harga domestik.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan ancaman krisis pangan global akibat perang ini. PBB kemudian membentuk Kelompok Respons Krisis Global tentang Pangan, Energi, dan Keuangan pada pekan lalu untuk menangani masalah ini. “Kerja kelompok ini sangat penting bagi sistem PBB untuk membantu mengelola tantangan besar dan saling terkait dengan ketahanan pangan global, ketahanan energi, dan pembiayaan,” ujar Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid kepada Tempo pada Kamis, 16 Mei lalu.

Namun, Shahid menambahkan, perlu kemauan politik dan kemitraan publik-swasta untuk mengatasi krisis pangan ini. Majelis Umum telah menerbitkan resolusi tentang keadaan kerawanan pangan global. “Majelis meminta masyarakat internasional, termasuk G7 dan G20, menempatkan ketahanan pangan global pada agenda utama mereka dan mendukung upaya multilateral dalam menemukan solusi yang terjangkau atas krisis.”

Krisis ini terutama berdampak pada pasokan dan harga gandum. Indonesia, meskipun pangan utamanya beras, adalah importir gandum terbesar kedua dunia setelah Mesir. Menurut Kementerian Perdagangan, konsumsi gandum Indonesia meningkat dari 5,6 juta metrik ton pada 2014 menjadi 6,6 juta metrik ton pada 2020. Ukraina adalah sumber gandum terbesar kedua bagi Indonesia setelah Australia.

Menurut Aryal, dalam jangka pendek, harga tepung terigu Indonesia mungkin tidak terpengaruh karena stok gandum yang cukup. Apalagi pemasok gandum utama Indonesia adalah Australia, yang menyumbang 41 persen dari total volume impor. “Namun, dalam jangka panjang, pemerintah mungkin perlu mencari alternatif negara pengimpor untuk menggantikan pasokan gandum dari Ukraina,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus