Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Serangan belalang kembara di Sumba Timur meluas ke tiga kabupaten lain, yaitu Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.
Petani merugi karena gagal panen dan mengalami trauma untuk menanam kembali.
Pelbagai faktor dari La Nina hingga kerusakan ekosistem menjadi penyebab ledakan populasi belalang kembara.
LAHAN padi seluas satu hektare milik Yonatan Umbu Radda di Desa Umbu Pabal Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, habis digempur belalang kembara pada Jumat, 20 Mei lalu. Yang selamat dari serangan hama tersebut hanya sekitar dua karung padi, atau tak lebih dari 30 kilogram saja. Jika belalang tidak menyerbu sawahnya, panen kali ini diperkirakan dapat menghasilkan sedikitnya dua ton padi.
Selama hampir tiga hari Yonatan mengusahakan pelbagai cara mengusir belalang. Ia sudah mencoba menghalau dengan bebunyian nyaring seperti menabuh seng dan panci masak berbahan aluminium. Ia juga sudah mengusir belalang menggunakan pengeras suara yang dinyalakan dengan volume paling tinggi. Bahkan Yonatan bersama segenap keluarga dan warga kampungnya bermalam di sawah demi mengenyahkan belalang.
Yonatan mengaku merugi sekitar Rp 5 juta. “Untungnya karena ini lahan untuk program food estate, semuanya dari pemerintah, termasuk traktor. Saya keluar modal untuk membayar tenaga tanam saja,” katanya saat dihubungi pada Selasa, 24 Mei lalu. Meski begitu, gagal panen ini tetap saja berdampak besar pada perekonomian keluarganya untuk setahun mendatang. Yonatan terancam kehabisan modal untuk menanam kembali.
Paceklik juga membayangi keluarga Isak Umbu Kora Sapularang yang sekampung dengan Yonatan. Sawah satu-satunya miliknya seluas 1,5 hektare yang ditanami padi ludes akibat diserang belalang kembara. “Pagi-pagi sekali, datang tiba-tiba, langsung menyerang. Belalang-belalang itu masuk dari arah timur,” tutur Isak ihwal serangan belalang beberapa hari sebelumnya melalui sambungan telepon seluler pada Selasa, 24 Mei lalu.
Sejak saat itu, hampir sepanjang hari Isak berada di sawah untuk menyelamatkan padi semampunya. Gara-gara serangan belalang, ia hanya bisa memanen satu ton padi. Pada tahun lalu, Isak terbilang berhasil panen raya dengan hasil padi mencapai 13 ton. Padahal ia sudah merogoh kocek sebesar Rp 8-10 juta untuk merawat padi tersebut agar dapat memberikan panen yang serupa dengan tahun lalu.
Nasib Habil Poti Bili, 65 tahun, tidak lebih baik daripada Yonatan dan Isak. Ia menanam jagung dan padi di lahan seluas 75 are (0,75 hektare). Tak sebutir padi atau jagung pun yang selamat dari serbuan hama. Habil tak kuasa membendung belalang dan kalah cepat dibanding gerombolan belalang. Ia menggambarkan serangan belalang tersebut serupa hujan. “Tidak bisa beraktivitas lagi karena jarak pandang hanya 5 meter,” ucapnya.
Ketiga petani tersebut mengalami trauma dan membiarkan satu periode masa tanam tahun ini berlalu begitu saja. Menurut Habil, belalang pasti sudah menaruh telur di dalam tanah. Ia merasa percuma menanam padi jika akhirnya hanya akan menjadi santapan belalang. “Terpaksa tidak menanam dulu supaya telur mati atau ketika menetas akan mati karena tidak punya makanan,” tutur Habil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan hama belalang kembara di Desa Umbu Pabal Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, 2 Mei 2022. Umbu Sunga Padjukang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Sartiami, pakar biosistematika serangga dari Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor atau IPB University, yang turun ke Sumba pada April lalu, memastikan hama perusak lahan pertanian warga Sumba Tengah itu adalah belalang kembara (Locusta migratoria). Perbedaan yang paling menonjol antara belalang kembara dan belalang biasa, menurut Dewi, adalah perilakunya. “Belalang kembara mampu bertransformasi dari serangga soliter menjadi gregarius (berkelompok),” katanya via jawaban tertulis, Rabu, 25 April lalu.
Dewi menjelaskan, pada saat bertransisi dari soliter ke gregarius, si kembara ini akan mengalami perubahan fisik yang terlihat dari bentuk dan warna tubuhnya. Belalang kembara akan berubah warna dari hijau kecokelatan menjadi kuning-cokelat ketika memasuki fase gregarius. Selain itu, belalang kembara mampu lompat dan terbang jarak jauh.
Berdasarkan karakter morfologi tubuhnya, Dewi menjelaskan, belalang kembara yang ditemukan di Sumba adalah subspesies Locusta migratoria manilensis atau dikenal juga dengan sebutan Oriental migratory locust. “Kemungkinan besar subspesies di Sumba ini sama dengan subspesies yang ditemukan di Lampung pada 1990 dan di Kalimantan Barat pada 2005 berdasarkan area sebaran geografisnya,” tuturnya.
Di Indonesia, ia menjelaskan, keberadaan belalang kembara pertama kali dilaporkan pada 1877 di Halmahera, Maluku. Setelah itu, pelbagai daerah di Indonesia secara bergantian melaporkan adanya keberadaan L. migratoria manilensis yang mengganggu ladang dan sawah. Wilayah sebarannya meluas dari Halmahera hingga ke Nanusa, Miangas, dan beberapa pulau lain di sekitar Sangihe, Sulawesi Utara.
Menurut Dewi, subspesies L. migratoria manilensis memiliki karakter yang mirip dengan subspecies L. migratoria migratoria. Hanya, L. migratoria manilensis memiliki ukuran yang sedikit lebih kecil. Selain itu, area persebarannya juga berbeda. L. migratoria manilensis daerah sebarannya adalah Iran, India, Sri Lanka, Cina, dan Asia tenggara. Adapun L. migratoria migratoria tersebar di Kazakstan, Rusia, dan Uzbekistan.
Ahli ekologi serangga yang juga guru besar Fakultas Pertanian IPB University, Hermanu Triwidodo, mengatakan ada pelbagai faktor yang menyebabkan ledakan populasi belalang kembara. Utamanya adalah perubahan pola cuaca. Perubahan cuaca merupakan bukti terjadinya krisis iklim. “La Nina di tahun ini membuat musim hujan menjadi lebih panjang yang menyebabkan waktu pembesaran populasi belalang ikut menjadi panjang,” ucapnya di Tani Center IPB University di Bogor, Jawa Barat, Selasa, 24 Mei lalu.
Hermanu menjelaskan, efek La Nina menyebabkan hujan turun lebih awal di Sumba, yaitu sekitar Oktober 2021, dengan curah hujan cukup tinggi. Kondisi ini menghadirkan kelembapan yang ideal bagi belalang kembara untuk bertelur dan menetas. Ia memberi catatan, belalang akan bertelur setiap 35 hari dan hanya akan menetas dalam kondisi kelembapan tinggi.
Kondisi ini membuat populasi belalang kembara makin banyak, karena selama curah hujan tinggi dan kelembapan tinggi, telur yang menetas makin banyak. Jika dihitung pada Oktober 2021-Januari 2022 terdapat tiga generasi yang menetas dan tumbuh bersamaan. Dengan demikian, populasi kian membesar. Hingga kini, diperkirakan ada delapan-sembilan generasi belalang kembara menginvasi hampir seluruh Pulau Sumba.
Sementara itu, petani yang mengikuti pola cuaca menanam lebih awal karena hujan telah datang lebih awal. Isak mengatakan ia telah mulai menanam pada Januari karena hujan telah turun sejak September-Oktober tahun sebelumnya. Biasanya, ia mulai menanam pada Februari-Maret. “Kami memanfaatkan air hujan untuk membantu pengairan sehingga sangat tergantung pada curah hujan untuk menanam,” ucapnya.
Kondisi ini membuat telur belalang yang telah menetas menjadi nimfa mendapat pasokan makanan. Persoalannya, ketika terjadi peningkatan populasi, belalang kembara yang telah mencapai fase gregarius akan masuk ke fase migrasi dan bermigrasi mencari wilayah-wilayah sumber pakan baru. Kabar buruk lain: belalang kembara menjadi makin rakus ketika masuk ke fase gregarius.
Guru besar IPB serta ahli entomologi dan ekologi, Damayanti Buchori, menjelaskan, belalang kembara menjadi lebih rakus dalam populasi yang tinggi. Menurut penelitiannya dalam sebuah kandang berukuran 45 x 45 x 90 sentimeter, diketahui daya makan belalang pada kepadatan dua-lima pasang sebanyak 0,56-2,06 gram per ekor per hari. Jumlahnya meningkat hingga 3,39-4,72 gram per ekor per hari pada kandang yang dihuni 20-30 pasang belalang.
Selain itu, belalang kembara sangat sensitif terhadap pergesekan dengan sesamanya. Sensor-sensor belalang akan aktif ketika bersentuhan dan mengirimkan pelepasan serotonin—hormon yang bertugas membawa pesan antarsel dalam otak—ke sistem saraf pusat. Aktivitas inilah yang diyakini membuat belalang kian agresif dan meningkat nafsu makannya.
Menurut Damayanti, pembukaan hutan menjadi ladang terbuka untuk perkebunan tebu atau untuk tanaman padi melalui program food estate diduga memperburuk serangan belalang. Ia menjelaskan, tebu dan padi merupakan makanan favorit belalang kembara. “Ketika mereka hinggap di hamparan tebu atau padi, besar kemungkinan mereka akan bereproduksi karena ada sumber makanan. Lain cerita kalau hinggap di pohon-pohon keras di hutan,” katanya.
Selain itu, menurut Damayanti, kondisi ekosistem mempengaruhi ledakan populasi. Ia merujuk pada populasi beberapa burung pemangsa yang makin jarang. Musuh-musuh alami belalang kembara ini dapat mengurangi jumlah belalang kembara yang masuk ke fase imago atau dewasa karena belalang dimangsa ketika masih dalam bentuk nimfa. Karena itu, dia menjelaskan, pemulihan ekosistem mau tak mau harus dilakukan untuk mencegah kerugian berulang setiap tahun.
Damayanti mengatakan ada berbagai solusi mengatasi serangan belalang meski untuk keadaan darurat seperti saat ini diperlukan intervensi insektisida. Salah satunya mengembangkan parasit yang menginfeksi belalang kembara. Meski terbilang efektif, cara ini memerlukan riset mendalam. Ia mengatakan diperlukan waktu 6-12 bulan hingga parasit itu siap menginfeksi belalang.
Cara lain adalah menggunakan bioinsektisida seperti yang dilakukan dalam penanganan serangan di Pulau Timor pada 2007. Ketua Pusat Perhimpunan Entomologi Indonesia yang juga guru besar IPB University, Dadang, memimpin penanganannya kala itu. Agen pengendali patogenik yang digunakan adalah cendawan Metarhizium anisopliae.
Dadang mengatakan bioinsektisida yang diproduksi dengan nama dagang Green Guard tersebut merupakan hasil pengembangan riset yang dilakukan di Australia. Penggunaan bioinsektisida ini dianggap cukup efektif dan minim risiko pencemaran lingkungan. Namun, menurut Dadang, izin produk itu yang hanya berjangka lima tahun telah habis dan tidak diperpanjang.
Menurut Dadang, yang diperlukan saat ini adalah pengendalian sejak belalang dalam fase nimfa. “Cari lokasi pembiakan atau penempatan telurnya dan segera diatasi di sana,” ucapnya. Karena itu, tutur Dadang, diperlukan teknologi yang dapat mendeteksi keberadaan telur belalang. Ia meyakini belalang cenderung bertelur di sabana sehingga langkah pencegahan dapat dimulai dari sana.
Selain pengendalian dari tempat berkembang biak, Dadang mengatakan, petani perlu dibekali informasi mengenai curah hujan dan kelembapan yang mempengaruhi perkembangbiakan belalang kembara. “Harus ada kerja sama lintas sektoral dan lintas teritorial karena belalang tak kenal batas wilayah administratif,” katanya. Serangan tahun ini yang meluas ke empat kabupaten di Pulau Sumba menunjukkan hal tersebut.
Untuk mengatasi persoalan yang kadung terjadi, Kementerian Pertanian mengajak petani mengendalikan hama dengan cara menangkap belalang kembara yang telah dewasa. Per kilogram belalang kembara akan ditebus dengan harga Rp 5.000 atau per dua kilogram akan ditukar dengan satu kilogram beras. Setelah itu, belalang yang ditangkap akan dibuat menjadi pelet untuk campuran pakan ternak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo