Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Saya Khawatir Ini Hanya Puncak Gunung Es  

Bagaimana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menangani kekerasan seksual di pesantren?

 

25 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Agama Yaqut Cholil melobi Arab Saudi agar jemaah umrah dan haji bis berangkat.

  • Apa langkahnya untuk mencegah kekerasan seksual di pesantren?

  • Bagaimana dia menangani pegawai yang pemahaman keagamaannya belum moderat?

YAQUT Cholil Qoumas menerima sejumlah pekerjaan rumah ketika memegang jabatan Menteri Agama sejak 22 Desember 2020. Dia harus menangani masalah penyelenggaraan umrah dan haji yang terhenti sejak masa pandemi Covid-19 hingga moderasi beragama. Dia mengakui masih banyak pegawai Kementerian Agama yang pemahaman keagamaannya belum moderat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah lain yang muncul belakangan adalah berbagai kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan. Salah satu yang mencuat adalah kasus pemerkosaan pemimpin Pondok Pesantren Madani Boarding School, Hery Wirawan, terhadap 13 santrinya di Bandung, Jawa Barat. “Saya khawatir ini hanya puncak gunung es. Sementara di bawah banyak,” tutur Yaqut dalam wawancara kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Deayu Jihan, secara daring pada Jumat, 17 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perbincangan selama lebih-kurang satu jam, Yaqut menuturkan hasil perjalanannya ke Arab Saudi untuk melobi agar umrah kembali diperbolehkan dan ibadah haji kembali dibuka tahun depan. Dia juga memaparkan akar masalah kasus Madani Boarding School, apa saja yang dilakukan Kementerian Agama untuk mencegah kasus serupa terulang dan rencana penerbitan peraturan presiden mengenai pendirian rumah ibadah.

Apa hasil penting dari kunjungan ke Arab Saudi pada akhir November lalu?

Saya ke Arab Saudi itu dua atau tiga minggu. Misinya adalah bagaimana supaya jemaah umrah bisa berangkat. Saudi menangguhkan (pemberangkatan jemaah) Indonesia sejak Februari setelah ada satu biro wisata umrah yang menggunakan hasil tes reaksi berantai polimerase (PCR) bodong. Sebagian anggota jemaahnya kemudian diketahui positif Covid-19 dan dikarantina selama 14 hari di Saudi. Setelah (hasil tes mereka) negatif, mereka baru boleh kembali ke Tanah Air. Bukan hanya umrahnya yang ditangguhkan, tapi semua (perjalanan ke Saudi).

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan diplomasi untuk mengakhiri penangguhan ini melalui Kementerian Luar Negeri, tapi sampai menjelang akhir tahun penangguhan belum dicabut. Kemudian saya memutuskan untuk berangkat ke Saudi. Targetnya bukan mencabut penangguhan, karena itu bukan kewenangan Kementerian Agama. Target kami adalah bagaimana supaya jemaah umrah bisa diterima dan ada peluang melaksanakan ibadah haji tahun depan. Sampai di sana kami menemui beberapa pihak. Di antaranya Menteri Urusan Islam, Menteri Haji, dan Gubernur Mekah. Mengapa Gubernur Mekah? Struktur pemerintahan di Saudi itu berbeda dengan kita. Gubernur itu posisinya di atas menteri, semacam menteri koordinator. Gubernur Mekah ini sepupunya Raja Salman dan Ketua Komite Haji Saudi. Selama lima hari kami melakukan diplomasi. Alhamdulillah, bukan hanya umrah yang diberikan, tapi penangguhan juga dicabut.

Apa yang Anda sampaikan untuk meyakinkan pemerintah Saudi?

Bismillah saja. Kami selalu merendah dan mengaku kami salah. Ini demi umat Islam. Indonesia ini kan memiliki jumlah penganut Islam terbanyak di dunia. Jadi akan agak aneh kalau tidak diberi kesempatan umrah. Saya sampaikan juga bagaimana penanganan pandemi di Indonesia yang sedemikian baik serta angka positivity rate-nya turun dan melandai. Kami pun siap melaksanakan protokol kesehatan dan mengikuti apa pun aturan pemerintah Saudi. Itulah kira-kira yang saya sampaikan. Alhamdulillah, hari terakhir saya di sana saya mendapat pesan WhatsApp dari Menteri Haji Arab Saudi (Tawfiq F. Al-Rabiah) bahwa penangguhan dicabut.

Pada saat berbicara soal umrah ini, kami bicarakan juga soal haji. Saya sampaikan ke Menteri Haji agar membuka kesempatan jemaah Indonesia supaya bisa berangkat tahun depan. Beliau mengatakan yang penting bagaimana umrah ini bisa berjalan baik. Kalau ini baik, jemaah taat protokol kesehatan, dan tak ada lagi pemalsuan PCR, kemungkinan besar akan dibuka penyelenggaraan haji untuk jemaah Indonesia. Untuk lebih yakin, saya minta pemerintah Saudi saja yang menentukan tempat tes PCR. Pemerintah Saudi sudah menunjuk tiga laboratorium untuk (pemeriksaan) pemberangkatan umrah. Saya sampaikan, oke kami sanggup. Kami tambahkan juga bahwa Indonesia menggunakan kebijakan satu gerbang. Semua anggota jemaah Indonesia nanti akan berangkat dari satu tempat: Jakarta.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (kanan) saat menggelar pertemuan dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi H.E Taufig F. Alrabiah (kiri) di Mekah, 22 November 2021/ANTARA/HO-Kemenag

Tidak ada lagi anggota jemaah yang langsung berangkat dari daerah?

Tidak ada lagi. Anggota jemaah dari daerah nanti masuk dulu ke Asrama Haji Pondok Gede untuk dites. Kalau hasilnya negatif, kami berangkatkan. Setelah pulang dari Saudi, saya masih berkomunikasi tentang kuota haji. Saya menanyakan berapa kira-kira kuota haji untuk Indonesia. (Mereka) minta jangan disampaikan dulu. Maksimal 30 persen dari jumlah penduduk kota besar kita, yaitu 210 ribu anggota jemaah. Itu masih saya tawar terus. Syukur-syukur kalau bisa dapat 50 persen karena antrean haji kita secara nasional ini sudah 27 tahun. Pada saat mendiskusikannya, Menteri Haji mengatakan perlakuan khusus akan diberikan ke Indonesia dalam situasi normal. Di samping kuota 210 ribu itu, nanti yang tertunda kami berangkatkan sekalian.

Apakah sudah ada kabar soal penyelanggaraan haji tahun depan?

Kami masih belum mendapat kepastian. Biasanya, seperti tahun-tahun lalu, pada pertengahan Desember, sudah ada nota kesepahaman antara pemerintah Saudi dan negara-negara yang mengirim jemaah haji. Hari ini belum ada satu negara pun yang teken nota. Saya sudah kirim pesan ke Menteri Haji Saudi. Beliau menjawab, “Masih on progress.

Bagaimana protokol pemeriksaan anggota jemaah umrah?

Menteri Haji menyampaikan vaksin bikinan Cina sudah diterima, yaitu Sinovac atau Sinopham, tapi (jemaah) tetap harus menjalani karantina selama tiga hari. Saat hari kedua, peserta akan dites PCR. Kalau hasilnya negatif, hari ketiga sudah bisa umrah. Kalau memakai vaksin yang diakui Saudi, yaitu Johnson and Johnson, Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna, tanpa karantina. Setelah hasil tes PCR negatif, peserta bisa langsung umrah.

Bagaimana dengan penggunaan aplikasi PeduliLindungi?

Waktu saya ke Saudi, tim Kementerian Kesehatan juga ke sana untuk menjembatani aplikasi PeduliLindungi dengan Tawakkalna milik Saudi. Menurut informasi yang saya terima, kini proses finalisasi. Kalau toh nanti belum siap saat penyelenggaraan haji, sebenarnya kami sudah menyiapkan sistem sederhana (memakai barcode) yang bisa dikenali Tawakkalna.

Jadwal pemberangkatan umrah akhirnya bagaimana?

Kami mempersiapkan 23 Desember sebagai umrah pertama. Tapi Presiden memberikan pengumuman kepada kami semua bahwa sebaiknya menahan diri untuk ke luar negeri karena kasus Omicron. (Kementerian Agama mengumumkan penundaan umrah pada 18 Desember 2021).

Ada aduan bahwa anggota jemaah umrah diminta membayar biaya tambahan. Itu untuk apa?

Setelah kami hitung, pelaksanaan umrah itu membutuhkan biaya Rp 28 juta. Ini di luar biaya karantina dan tes PCR. Penambahan itu untuk biaya karantina, tes usap PCR, serta saat berangkat dan pulang ke Indonesia. Tentu (biaya itu) harus ditanggung anggota jemaah.

Penambahannya memang Rp 10 juta?

Kurang-lebih. Itu murah karena karantinanya di Asrama Haji dan sudah termasuk empat kali tes PCR. Kalau di hotel, mahal. Di hotel bintang 3 saja biayanya Rp 15 juta hanya untuk karantina dan makan sekali sehari.

Anda juga memberi masukan ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ada masalah apa?

Pertama, filosofi dikeluarkannya dana haji dari Kementerian Agama supaya (pengelolaannya) lebih akuntabel. Kedua, agar memberikan manfaat yang lebih banyak dari dana haji yang tersimpan sekitar Rp 150 triliun itu. Anggota jemaah haji kan hanya membayar separuh dari kebutuhan pelaksanaan haji. Biaya haji itu sekitar Rp 70 juta dan anggota jemaah membayar sekitar Rp 35 juta. Sisanya dipenuhi atau ditutup oleh dana di BPKH. Tapi, selama ini, BPKH mengelola uang masih dengan cara yang konvensional seperti saat dikelola oleh Kementerian Agama. Masih ditaruh di sukuk, deposito syariah, dan seterusnya. Dana manfaatnya tidak signifikan. Saya khawatir BPKH akan terjebak seperti skema Ponzi. Dana digunakan untuk menutup biaya jemaah yang berangkat sekarang memakai dana jemaah yang mendaftar belakangan. Lama-lama dananya akan tergerus. Kami khawatir akan itu. Makanya kami dorong BPKH agar lebih berani karena investasi yang bisa dilakukan banyak, misalnya dengan membangun hotel haji di Mekah atau Madinah, kerja sama dengan pemerintah di sana. Itu sangat mungkin dilakukan. Itu kan pasti imbal hasilnya besar karena anggota jemaah haji akan terus ada. Memang berisiko. Kan selalu begitu. Semakin besar risikonya, imbal hasilnya semakin besar.

Apakah faktor risiko itu yang menjadi pertimbangan?

Ya, memang. Menurut Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji, ketika dana kelolaan BPKH mengalami kerugian, misalnya, semua pengurus harus tanggung renteng secara pribadi mengganti uang itu. Ini yang membuat teman-teman di BPKH mungkin agak ngeri-ngeri sedap. Kami memahami itu. Di sisi lain, ada tuntutan yang harus mereka penuhi.

Apakah karena soal dana operasional yang sampai Rp 200 miliar?

Ya, besar sekali biaya operasionalnya. Tapi, ya, itu ada aturannya semua. Sekian persen dana kelolaan bisa digunakan untuk kegiatan operasional. Kalau dikelola Kementerian Agama, tidak ada biaya operasional itu.

Tapi ada kekhawatiran uangnya juga dipakai Menteri Agama seperti sebelumnya?

Betul. Memang itu. Kepercayaan publik masalahnya. Menurut saya, dana lebih bagus dikelola BPKH daripada Kementerian. Kami tahu birokrasi tidak dicetak atau bukan entitas untuk menjalankan bisnis.

Kabar terakhir, BPKH  menanam saham di Bank Muamalat.

Dulu saya memberi pertimbangan agar ditahan dulu karena kita tahu bank itu kan juga bukan bank yang sehat-sehat amat. Tapi saya tidak tahu apa pertimbangannya (kemudian) karena memang tidak memerlukan persetujuan Menteri Agama.

Kini sedang ramai ihwal kasus pemerkosaan oleh pengelola Madani Boarding School. Apa yang dilakukan Kementerian?

Ada tiga hal yang kami lakukan. Ini kasus lama. Sejak Mei. Saya baru tahu ketika ini muncul di media. Saya tanya mengapa saya tidak dapat laporan? Pertimbangan mereka, ini untuk melindungi korban.

Siapa yang menahan laporan?

Jajaran saya di Direktorat Pendidikan Islam. Pertimbangannya untuk melindungi korban karena kasihan. Mekanisme perlindungan korban di Kementerian Agama ini tidak ada. Mereka memilih menyimpannya. Mei lalu, izin operasional Madani Boarding School dicabut. Kemudian saya, pertama, menjalin kerja sama dengan kepolisian dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Kami membuat kerja sama agar kasus-kasus serupa bisa ditangani lebih cepat. Saya terus terang khawatir kejadian yang sudah ada itu kan di Cilacap (Jawa Tengah), Sulawesi, dan beberapa tempat. Saya khawatir ini hanya puncak gunung es, sementara di bawah banyak. Kedua, kami sudah meminta seluruh jajaran di Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama untuk melakukan “investigasi”. Bisa dengan bertanya ke lingkungan sekitar. Saya minta laporan soal ini secepatnya. Tidak lebih dari sebulan setelah diminta, saya sudah mendapatkan laporannya.

Kapan perintah itu dikeluarkan?

Setelah kasus ini mencuat dua minggu lalu. Ketiga, kami memperketat izin pendirian lembaga. Pengetatannya lebih ke internal, bukan eksternal. Saya tanya ke anggota staf, dulu bagaimana izin operasional keluar? Harus ada rekomendasi dari kantor Kementerian Agama setempat. Saya menelepon ke beberapa kantor yang memberikan rekomendasi. Saya tanya, bagaimana rekomendasi diberikan? Jadi laporannya di atas kertas. Lembaga A ini santrinya sekian, pendidikannya ini, sistemnya ini. Begitu saja. Saya tanya, pernah atau enggak melihat ke lapangan? Tidak. Ini yang kami perketat. Dalam laporan harus ada video dan foto, baru kasih rekomendasi. Kalau tidak dilengkapi itu, tidak akan kami keluarkan izin operasionalnya.

Ada kritik bahwa kasus perundungan seksual itu terjadi karena lemahnya pengawasan terhadap boarding school atau pesantren.

Memang, kalau bicara pesantren, relasi kuasanya tidak berimbang. Kiai sebagai pemilik otoritas tertinggi, bahkan tunggal, di pesantren sering kali tidak tersentuh. Nah, ini sebenarnya perbedaan dengan boarding shool. Pesantren itu secara genuine memiliki tiga mandat utama: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan. Di pesantren abah saya (KH Cholil Bisri di Rembang), misalnya, juga mengemban misi ini. Tidak kemudian membatasi diri dengan masyarakat. Coba cek Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Ploso (Kediri), Buntet (Cirebon, Jawa Barat), dan lain-lain. Semua berbaur dengan masyarakat sehingga otoritas dan relasi kuasa yang tidak berimbang ini diawasi oleh masyarakat sekitar. Kami lihat memang boarding school yang muncul (belakangan) ini eksklusif. Ditutup pagar tinggi sehingga publik tidak bisa mengakses.

Apa langkah Kementerian Agama kemudian?

Kami akan membuat peraturan Menteri Agama untuk melakukan kunjungan ke lembaga-lembaga itu secara berkala karena selama ini memang tidak ada pengawasan. Pengawasannya hanya bersifat normatif, tidak berkala. Saya ingin ini dilakukan berkala sehingga kami memiliki kontrol terhadap lembaga yang izinnya kami keluarkan.

Berkaitan dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia yang ditangkap Densus Anti-Teror 88, apa program Kementerian mengenai radikalisme atau untuk gerakan moderasi beragama?

Memang agak sulit kalau bicara soal moderasi beragama ini. Butuh waktu. Di Kementerian, saya menetapkan salah satu program prioritas adalah moderasi beragama. Dengan membawa orang yang pandangannya ekstrem kanan ke tengah, yang terlalu kiri, liberal, juga ke tengah.


Yaqut Cholil Qoumas


Tempat dan tanggal lahir:
Rembang, Jawa Tengah, 4 Januari 1975

Pendidikan:
S-1 Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia

Karier Organisasi dan Politik:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rembang (2004-2005)
Wakil Bupati Kabupaten Rembang (2005-2010)
Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Rembang (2001-2014)
Ketua Dewan Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor (2011-2015)
Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Tengah (2012-2017)
Anggota Fraksi PKB Dewan Perwakilan Rakyat (2014-2019)
Ketua Umum DPP GP Anshor (2015-sekarang)
Anggota Fraksi PKB DPR (2019-2020)


Bagaimana caranya?

Ini kan bukan memoderasi agama tapi moderasi perilaku beragama. Kami meyakini mereka yang berpandangan moderat, yang ada di tengah itu, jauh lebih banyak tetapi mereka lebih memilih diam. Moderasi beragama ini salah satu kuncinya adalah bagaimana yang mayoritas diam ini mau bersuara sehingga yang radikal ada penyeimbangnya.

Seperti apa program moderasi beragama itu?

Kami mulai dari jajaran aparatur sipil negara di Kementerian Agama, setelah itu ke kementerian lain, lalu ke masyarakat. Bentuknya pada pemahaman keagamaan. Terus terang di Kementerian Agama masih banyak teman-teman kami yang pemahaman keagamaannya belum moderat, masih menganggap yang tidak sama dengan pemahama mereka itu salah.

Bagaimana perkembangan rencana revisi surat keputusan bersama (SKB) dua menteri tentang pendirian rumah ibadah?

Kami sedang banyak meminta masukan masyarakat, tokoh agama, akademikus, sebelum nanti kami harmonisasi dan perkuat menjadi peraturan presiden. Pengaturan pendirian rumah ibadah itu diperlukan. Indonesia ini majemuk dan secara geografis tidak heterogen amat. Misalnya, di Sumatera Barat mayoritas muslim. Di Sulawesi Utara mayoritas Kristen. Di Nusa Tenggara Timur, mayoritas Katolik. Saya membayangkan, kalau pendirian rumah ibadah ini tidak diatur, nanti (di daerah) yang mayoritas muslim akan banyak sekali rumah ibadah muslim, seperti masjid dan musala, kemudian melarang rumah ibadah agama lain untuk berdiri. Ini bisa dibalas di daerah yang kaum muslim minoritas. Ini kan sangat berbahaya. Problemnya, bagaimana supaya peraturan ini bisa seadil mungkin, bisa proporsional. Di daerah yang (penduduknya) mayoritas muslim tentu rumah ibadah Islam lebih banyak dari yang lain. Di tempat (yang mayoritas penduduknya) Kristen atau Katolik juga demikian. Ini butuh peraturan yang mengikat agar upaya saling balas dendam tidak terjadi. Selama ini, terus terang kami melihat SKB ini sering kali digunakan sebagai alat untuk menghambat pembangunan rumah ibadah agama lain. Kami sedang mencari cara supaya (aturan) ini tidak menjadi pasal karet atau bisa digunakan untuk mempersekusi minoritas. 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus