Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Agung mencabut keputusan panitia penerimaan CPNS Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mencoret seorang peserta difabel.
Panitia tes CPNS dianggap diskriminatif.
Gubernur Ganjar Pranowo, yang semula abai terhadap kasus ini, berjanji mematuhi putusan Mahkamah Agung.
DI bawah cahaya lampu belajar, Muhammad Baihaqi tekun mengetik di laptop. Sesekali penyandang difabel (differently abled) netra ini mendekatkan wajahnya ke layar untuk mengecek ketikannya. Guru matematika Sekolah Menengah Atas Al-Irsyad, Pekalongan, Jawa Tengah, itu tengah menyiapkan bahan ajar untuk siswanya pada Jumat, 24 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Baihaqi berada di Kraton Lor, Pekalongan. Mata laki-laki 35 tahun ini nyaris buta sehingga ia membutuhkan cahaya terang untuk bisa melihat benda-benda, seperti layar laptopnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah puluhan tahun mata kanannya tidak berfungsi. Baihaqi hanya mengandalkan mata kirinya untuk melihat. Kondisi ini yang menjadi alasan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tak meloloskan Baihaqi dalam seleksi calon pegawai negeri sipil pada Juli 2019. Padahal Baihaqi telah memenuhi semua syarat administrasi dan memperoleh nilai tertinggi dalam tes kompetensi dasar.
Hasil seleksi kompetensi dasar pengadaan CPNS 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah/Dok. TEMPO
Selama hampir dua tahun Baihaqi berjuang menuntut haknya. Ia menggugat keputusan panitia seleksi yang dianggap diskriminatif itu. Ia sempat keok dua kali, di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya.
Kekalahan ini tak membuat Baihaqi patah semangat. Pada akhir November lalu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Baihaqi. Namun, hingga lebih dari tiga pekan setelah putusan kasasi keluar, Baihaqi tidak memperoleh kabar apa pun mengenai nasib pekerjaan idamannya menjadi guru matematika dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
•••
MUHAMMAD Baihaqi lahir di Pekalongan pada 6 Februari 1986 dengan kedua mata bisa melihat. Saat ia berusia delapan tahun, mata kanannya mendadak kelilipan. Dia mengaku tak merasakan sakit apa pun pada matanya. Sejak saat itu, pandangan mata kanannya berangsur-angsur buram. “Ketika saya tutup mata kiri, saya tak bisa melihat benda-benda,” katanya.
Karena merasa orang tuanya tak memiliki cukup biaya untuk berobat, Baihaqi memilih membiarkan mata kanannya memburam. Bapak Baihaqi seorang buruh pabrik dengan penghasilan pas-pasan, sementara ibunya tidak bekerja. “Operasi butuh banyak uang. Saya bilang ke orang tua tidak usah diperiksakan,” ucap anak kedua dari empat bersaudara tersebut.
Baihaqi bukan anak yang mudah menyerah. Dia tetap rajin belajar dan kerap menjadi juara kelas. Sejak di SMA, dia selalu mendapat beasiswa. Prestasinya yang menonjol membuat dia kembali memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta pada 2004.
Setelah merampungkan kuliah, Baihaqi sempat bekerja di lembaga bimbingan belajar. Di sini dia kerap ditugasi berkeliling ke berbagai sekolah di Pulau Jawa untuk membimbing siswa menghadapi ujian nasional. “Hampir semua kota di Jawa pernah saya kunjungi,” tutur Baihaqi.
Direktur LBH Semarang Eti Oktaviani/Dok. LBH Semarang
Pada 2012, ia mengikuti seleksi program pendidik anak pekerja migran Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seleksi digelar di enam perguruan tinggi negeri, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta. Baihaqi lolos. Pada 2013, bersama 59 pengajar lain, dia berangkat ke Sabah, Malaysia, untuk mengajar. “Saya mengajar anak setingkat SMP,” ujarnya. “Mereka anak para pekerja migran Indonesia yang bekerja di ladang sawit.”
Selama mengajar di negeri jiran, Baihaqi tinggal di gedung sekolah. Kamarnya hanya dipisahkan dinding batu bata dan tripleks dengan kelas tempatnya mengajar. Dia mengajar semua mata pelajaran untuk semua tingkat kelas. Ada 30 siswa yang ia ajar tiap hari.
Baihaqi bertahan lima tahun di Malaysia. Meski dia senang dengan pekerjaannya, tambahan tugas membuatnya sedikit kewalahan. Baihaqi menyebutnya “amanat tambahan” karena, selain mengajar, ia menjadi pengelola sekolah. Dari administrasi, keuangan, hingga kegiatan sekolah, semua ia urus.
Kerja kerasnya itu berbuah penghargaan. Di Malaysia, Baihaqi mendapat apresiasi antara lain dari Konsulat Jenderal RI di Sabah; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Plakat dan penghargaan itu kini berjejer di salah satu sudut ruang tamu rumahnya di Pekalongan.
Pulang dari Sabah pada 2018, ia mengajar di SMA Al-Irsyad Pekalongan. Meski penglihatannya terbatas, ia merasa tak punya kendala dalam mengajar. Di kelas, ia bisa mengenali murid-muridnya sehingga tak ada masalah komunikasi. Baihaqi tak bisa melihat dengan sempurna ketika gelap atau malam.
Berbekal pendidikan serta pengalaman mengajar selama bertahun-tahun, Baihaqi mengikuti pendaftaran calon pegawai negeri sipil formasi khusus penyandang disabilitas untuk jabatan guru matematika SMA Negeri 1 Randublatung, Blora, Jawa Tengah, pada 2019—227 kilometer dari rumahnya.
Pada tahap verifikasi administrasi, panitia seleksi menghubungi Baihaqi melalui panggilan video. Dalam percakapan video dengan panitia itu, Baihaqi mengatakan bahwa ia difabel netra. “Saya tunjukkan bukti medis yang diterbitkan rumah sakit,” ucapnya.
Panitia menyatakan Baihaqi lolos seleksi administrasi. Ia pun mengikuti ujian kompetensi dasar pada 23 Februari 2020. Baihaqi berangkat diantar ayahnya ke lokasi ujian di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Ia mendapat kursi paling belakang, tapi hasil tesnya paling menonjol.
Hasil tes yang keluar pada hari itu juga menunjukkan Baihaqi memperoleh skor 401, nilai tertinggi di kelompoknya. Panitia seleksi secara spontan menghampiri dan mengucapkan selamat kepadanya. “Nilai saya tertinggi, mereka yakin saya akan lolos. Bahkan panitia ajak saya foto bersama,” tuturnya.
Sepuluh hari kemudian, Baihaqi mendapat undangan dari Badan Kepegawaian Daerah Jawa Tengah yang memintanya datang ke kantor mereka di Semarang pada 13 Maret 2020. Tidak ada keterangan apa tentang tujuan pemanggilan tersebut. Tapi surat itu membuat Baihaqi makin yakin bakal diterima menjadi pegawai negeri. “Saat itu saya merasa impian saya sudah di depan mata,” ujarnya.
Seusai salat subuh, dengan riang Baihaqi bersama ayahnya berangkat ke Semarang. Namun di sana dia justru mendapat kabar bahwa ia tidak lolos tes itu. “Saya digugurkan karena dianggap tidak memenuhi syarat,” tuturnya dengan suara bergetar. Badan Kepegawaian Daerah Jawa Tengah juga menilai Baihaqi salah memilih formasi. Mereka mengklaim hanya membuka formasi calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk difabel daksa atau cacat anggota tubuh, bukan difabel netra.
Baihaqi mengernyit. Ia ingat tidak ada ketentuan khusus yang menyebutkan formasi tersebut hanya diperuntukkan bagi difabel daksa. Lagi pula, jika ia tak sesuai dengan kualifikasi, mengapa panitia meloloskannya di tahap seleksi administrasi? Jika benar pos CPNS itu hanya untuk difabel daksa, panitia semestinya mencoretnya dari awal. Apalagi mereka juga tahu sewaktu wawancara video.
Pengumuman tersebut sempat membuat Baihaqi terguncang. Hatinya yang riang berubah menjadi murung. Ayahnya tak bisa berbuat banyak untuk menolong sang anak.
Tapi Baihaqi tak menyerah. Dia menghubungi berbagai pihak untuk menyampaikan perihal kesewenang-wenangan para pengurus negara. Ia mengontak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang untuk memohon didampingi.
Ganjar Pranowo dalam sambutan sekaligus penyerahan SK Pengangkatan CPNS Pemerintah Provinsi Jateng formasi tahun 2019., 15 Januari 2021/Dok. Humas Pemprov Jateng
Bersama LBH Semarang, Baihaqi melaporkan apa yang ia alami ke berbagai lembaga negara dan pejabat, dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga Kantor Staf Kepresidenan. “Pak Ganjar tak merespons, surat saya tak pernah dibalas,” ujarnya.
Direktur LBH Semarang Eti Oktaviani mengatakan kasus yang dialami Baihaqi adalah pelanggaran hak asasi serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “Mereka melakukan diskriminasi dan abai dengan pemenuhan hak difabel,” ucap Eti pada 22 Desember 2021.
Berdasarkan pertimbangan itu, Baihaqi bersama LBH Semarang mengajukan permohonan banding administrasi atas pencoretan namanya sebagai peserta tes CPNS ke Gubernur Jawa Tengah pada 9 Juni 2020. Lagi-lagi Ganjar Pranowo tak meresponsnya.
Empat bulan kemudian, tepatnya pada 5 Oktober 2020, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Baihaqi menggugat keputusan panitia seleksi yang sewenang-wenang itu.
Selama proses pengadilan, Baihaqi dan tim LBH Semarang optimistis akan menang karena semua bukti dan saksi serta keterangan ahli menunjukkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terbukti melakukan diskriminasi. Namun putusan pengadilan menyatakan sebaliknya.
Pada 24 Februari 2021, PTUN Semarang menolak gugatan Baihaqi. Majelis hakim beralasan gugatannya kedaluwarsa atau melewati batas waktu administrasi 90 hari yang diatur oleh Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Tidak puas dengan putusan PTUN Semarang, Baihaqi mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya. Mereka kembali kecewa. Hakim pengadilan di Surabaya justru menguatkan putusan PTUN Semarang dengan alasan yang sama.
Hakim sama sekali tak membahas substansi gugatan. Putusan itu juga mereka anggap salah karena hakim menghitung hari kalender. Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 menyatakan jangka waktu 90 hari tersebut dihitung sejak upaya administrasi dilakukan dan berdasarkan hari kerja. “Laporan kami masih masuk 90 hari kerja,” ujar pengurus LBH Semarang, Syamsuddin Arif.
Tak kendur dengan pelbagai kesewenangan negara, Baihaqi mengajukan permohonan kasasi pada 17 Juni 2021. Lima bulan kemudian, hakim Mahkamah Agung mengumumkan menerima permohonan kasasi Baihaqi. “Kemenangan ini menunjukkan bahwa Baihaqi memang mengalami diskriminasi dalam seleksi CPNS,” kata Syamsuddin.
Syamsuddin berharap pemerintah Jawa Tengah segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung dengan segera mengembalikan hak Baihaqi. “Kami juga berharap pemerintah Jawa Tengah melakukan evaluasi seleksi CPNS. Pelaksanaan tes harus adil, transparan, dan tidak diskriminatif,” tuturnya.
Muhammad Baihaqi, penyandang difabel netra peserta seleksi CPNS 2019 Pemprov Jateng yang dicoret namanya, berdiri memegang berbagai piagam penghargaan dan sertifikat di depan rumahnya di Kelurahan Kraton Lor Kota Pekalongan, 23 Desember 2021/TEMPO/ Jamal A. Nashr
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Jawa Tengah Wisnu Zaroh menolak berkomentar tentang putusan kasasi itu. “Saya tak perlu menanggapi,” katanya pada Jumat, 24 Desember lalu. Tanggapan datang dari Gubernur Jawa Tengah. Perlu putusan Mahkamah Agung di Jakarta untuk membuat Ganjar Pranowo keluar dari singgasananya dan menaruh perhatian pada kasus Baihaqi. “Kami ikuti putusan Mahkamah Agung,” ucapnya. “Teknisnya akan disiapkan BKD.”
Baihaqi hanya berharap para pengurus negara ini memenuhi putusan hukum. “Saya mohon mereka menyadari dan mengakui kekeliruan serta secara legawa bertanggung jawab mengembalikan hak saya,” tuturnya.
Pagi itu, ia bersiap mengajar. Setelah menutup laptop, ia memasukkan puluhan spidol ke tasnya. Baihaqi mengandalkan spidol itu ketika mengajar agar huruf dan angka serta rumus yang ia tulis terlihat jelas. “Bapak yang membantu mengisikan spidol tiap Minggu,” katanya. Kali ini wajahnya semringah.
JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo