Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Prestasi Kita Belum Terdesain

Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali tidak hanya mengemban misi penting membenahi tata kelola kementeriannya, tapi juga merampungkan desain besar keolahragaan nasional. Berfokus pada 14 cabang olahraga unggulan, termasuk bulu tangkis dan angkat besi, cetak biru tersebut dirancang dapat mendongkrak prestasi olahraga nasional hingga level Olimpiade.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Zainudin Amali di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 6 Agustus 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali sedang merampungkan desain besar keolahragaan nasional, cetak biru pembinaan atlet, dan strategi pencapaian prestasi olahraga yang bermuara pada level Olimpiade.

  • Dalam desain besar olahraga nasional, pemerintah berfokus mengembangkan prestasi 14 cabang olahraga unggulan untuk meraih prestasi mulai Olimpiade 2032.

  • Zainudin juga harus membenahi tata kelola kementeriannya yang sepuluh tahun tidak mendapat penilaian baik dari BPK.

KEINGINAN Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali mendongkrak peringkat Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 kandas. Dengan perolehan satu medali emas, satu perak, dan tiga perunggu, kontingen Merah Putih menempati posisi ke-55 dalam klasemen akhir. Kontingen Merah Putih gagal memperbaiki peringkat yang dicapai pada Olimpiade sebelumnya di Rio de Janeiro, Brasil. Saat itu Indonesia menempati peringkat ke-46.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zainudin mengapresiasi perolehan medali dari bulu tangkis dan angkat besi di Tokyo. Namun, kata dia, capaian yang masih bertumpu pada dua cabang olahraga tersebut membuktikan prestasi olahraga nasional belum terencana dengan baik. “Jadi prestasi yang dihasilkan di Olimpiade Tokyo adalah hasil dari apa yang sudah berjalan,” tutur Zainudin, 59 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Selasa, 3 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk meraih prestasi tertinggi di Olimpiade, Zainudin sedang menyelesaikan desain besar keolahragaan nasional yang memuat 14 cabang olahraga unggulan. Ada sejumlah nomor di cabang olahraga bulu tangkis, angkat besi, panjat tebing, panahan, menembak, karate, taekwondo, balap sepeda, atletik, renang, dayung, senam artistik, wushu, dan pencak silat yang dinilai berpeluang meraih prestasi dalam Olimpiade 2032. Untuk Olimpiade 2024 dan 2028, Indonesia masih mengandalkan sumber daya yang ada saat ini. Wushu dan pencak silat masuk cabang unggulan karena Indonesia mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Namun Brisbane, Australia, yang terpilih menjadi tuan rumah. “Untuk bidding Olimpiade 2036, saya harus lapor Presiden dulu apakah beliau masih mengizinkan,” ujarnya.

Minim pengalaman di bidang olahraga, politikus Partai Golkar ini dihadapkan pada segudang pekerjaan rumah. Selain meningkatkan prestasi olahraga nasional, ia harus membenahi kementerian yang terpuruk akibat kasus korupsi. Selama satu dasawarsa, kementerian yang ia pimpin tak bisa memperoleh penilaian laporan keuangan wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan. “Ketika saya dipanggil Pak Presiden untuk menjadi menteri, beliau berpesan untuk memperbaiki tata kelola,” ucap Zainudin.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Hussein Abri Dongoran, dan Irsyan Hasyim, Zainudin menceritakan pentingnya cetak biru keolahragaan nasional, sinergi dengan kementerian lain untuk pelatihan dan pengembangan bibit atlet, sains olahraga, pembangunan pusat pelatihan di Cibubur, Jakarta Timur, serta persiapan Pekan Olahraga Nasional di Papua.

Indonesia kembali meraih medali dari bulu tangkis dan angkat besi di Olimpiade. Apakah sudah sesuai dengan target pemerintah?

Prestasi kita sekarang ini belum terdesain. Padahal dengan potensi, sumber daya, dan talenta kita seharusnya bisa mengembangkan pembinaan untuk penyumbang prestasi dan medali bukan hanya di dua cabang itu. Saya selalu mengistilahkan prestasi yang muncul ini tidak terdesain. Jadi prestasi yang dihasilkan di Olimpiade Tokyo adalah hasil dari apa yang sudah berjalan.

Mengapa cabang-cabang olahraga lain tidak berpotensi mendulang medali?

Kami sudah mempersiapkan desain besar olahraga nasional yang bersumber dari arahan Bapak Presiden (Joko Widodo). Kalau itu berjalan, kita bisa secara sistematis melihat cabang mana yang akan bisa dipandu dan faktor apa saja yang menjadi pendukung prestasinya. Selama ini kita menemukan bakat, bibit, lalu dilatih masuk pelatnas (pusat pelatihan nasional), diikutkan single event ataupun multievent, menjadi juara, dan menyumbang medali buat Indonesia. Tapi pembinaan tidak boleh begitu. Pembinaan harus berjenjang, sistematis, dan terstruktur serta merata di seluruh Tanah Air.

Apa yang disampaikan Presiden?

Sesuai dengan arahan Presiden saat Hari Olahraga Nasional, 9 September 2020, kita harus me-review total ekosistem pembinaan olahraga nasional. Kalau ditanya apakah prestasi akan lahir dengan pembinaan yang ada sekarang? Saya jawab secara jujur, tidak. Lihat saja kemarin bagaimana rakyat Indonesia deg-degan menunggu satu medali emas saja.

Bagaimana Anda menyiapkan desain besar olahraga nasional?

Saya berdiskusi dengan para guru besar olahraga di berbagai perguruan tinggi, para pakar, praktisi, KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), KOI (Komite Olimpiade Indonesia), dan berbagai pihak. Lalu diadakan uji publik di perguruan-perguruan tinggi dan beberapa kota. Desain besar olahraga nasional menjadi dasar. Tidak ada jalan pintas dalam meraih prestasi. Dibutuhkan waktu minimum 10 tahun atau 10 ribu jam latihan untuk mengantarkan atlet menuju podium internasional. Misalnya, kita ingin mencapai prestasi di Olimpiade 2032, yang dipersiapkan sekarang adalah anak-anak usia 10, 11, dan 12 tahun. Pembibitan atlet jangka panjang ini harus bisa menghasilkan prestasi dunia.

Apa saja targetnya?

Selama ini kita tidak punya sasaran utama. Antara SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade sama saja. Ini saya ubah. Sasaran utama kita adalah Olimpiade dan Paralimpiade untuk atlet penyandang disabilitas. Kita harus berani menetapkan itu walaupun berat, karena untuk masuk Olimpiade harus ada kualifikasi.

Bagaimana dengan SEA Games, Asian Games, atau kejuaraan lain?

Kita tetapkan sebagai sasaran antara. Pemikiran dan pemahaman masyarakat kita ditujukan kepada Olimpiade. Untuk menuju ke sana, tentu harus realistis. Kita tidak mungkin menggarap semua cabang olahraga. Sekarang ada 70-an cabang olahraga di KONI. Pertama, kita tentukan cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade. Kedua, kita harus berfokus dan berkonsentrasi pada cabang olahraga yang sesuai dengan karakteristik fisik orang Indonesia.

Apa saja cabang olahraga itu?

Dari diskusi dengan para profesor olahraga, kami memutuskan berkonsentrasi dan berfokus pada cabang olahraga yang lebih mengandalkan akurasi dan teknik. Ada 12 cabang olahraga unggulan yang sudah dipertandingkan di Olimpiade, seperti bulu tangkis, angkat besi, dan panjat tebing. Dua cabang olahraga lain adalah pencak silat dan wushu. Pencak silat menghasilkan sampai 14 medali emas pada Asian Games 2018, tapi sekarang tidak dipertandingkan di Olimpiade.

Bagaimana cara mencetak atlet yang dapat berprestasi di tingkat internasional itu?

Pertama, kita harus punya target. Kami membuat target sampai 100 tahun Indonesia merdeka, yakni (Olimpiade) 2044, walaupun grand design belum ada. Untuk mencapai prestasi yang ditargetkan, kita tentu harus punya sumber daya dari basis-basis di seluruh Tanah Air. Pada tahap awal, 250 ribu siswa identifikasi bakat diseleksi untuk melahirkan 37.500 atlet kelas olahraga. Selanjutnya dinaikkan menjadi 3.750 atlet talenta muda. Dari situ diseleksi lagi menghasilkan 750 atlet elite junior. Dan ujungnya adalah 150 atlet elite nasional. Mereka yang akan didorong di berbagai kejuaraan, termasuk dipersiapkan ke level dunia, khususnya Olimpiade. Kami susun seperti ini sehingga tahapnya jelas, ukurannya ada, tidak mengarang. Tapi kuncinya adalah semua harus terlibat karena ini tidak mungkin hanya menjadi pekerjaan Menpora atau Kemenpora.

(Dalam rencana induk peningkatan prestasi olahraga nasional 2021-2032, pemerintah menargetkan peringkat 40 besar Olimpiade 2020, peringkat 30 besar Olimpiade 2024, peringkat 20 besar Olimpiade 2028, dan peringkat 10 besar Olimpiade 2032.)

Dari mana memperoleh bibit unggul atlet sebanyak itu?

Untuk 250 ribu siswa tadi kami harapkan dari partisipasi sekolah-sekolah di daerah. Sekolah-sekolah itu di bawah bupati, wali kota, dan gubernur. Kami bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri.

Bagaimana dengan kurikulumnya?

Kami bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum jangan dianggap remeh. Ketika saya berkeliling ke berbagai pemusatan latihan, para atlet mengeluhkan tentang sekolahnya. Mereka masih mendapatkan kurikulum reguler seperti siswa non-atlet. Saya sudah bicara dengan Mas Nadiem (Mendikbud Nadiem Makarim) dan beliau oke. Tinggal membicarakan teknisnya.

Seperti apa seharusnya kurikulum yang menunjang bibit atlet?

Di Amerika Serikat, misalnya, prestasi di bidang atlet dikonversi menjadi prestasi akademik. Di Indonesia belum. Apalagi dengan kultur di sini, orang tua pasti pertama kali menekankan soal sekolah. Sekarang ini antara prestasi akademik dan prestasi olahraga enggak bisa jalan beriringan.

Kendala apa lagi yang dipetakan?

Permasalahan olahraga kita banyak sekali. Kami menyimpulkan sedikitnya ada 13. Contohnya, untuk mendapatkan talenta yang baik kita harus mempunyai bibit yang unggul. Itu bisa dihasilkan dari kebugaran. Hasil penelitian dari luar negeri, rata-rata kebugaran minimum yang dibutuhkan adalah berjalan 7.000 langkah sehari. Tapi orang Indonesia hanya 3.000-3.500 langkah. Bagaimana bisa menghasilkan orang bugar? Padahal ini hulunya. Hal-hal seperti ini yang kami desain. Saya selalu mengibaratkan grand design adalah pabrik untuk prestasi. Sebab, prestasi harus (dicetak) di pabrik, enggak bisa nemu.

Berapa dana yang dibutuhkan untuk mencapai target sesuai dengan desain besar itu?

Kami melihatnya enggak begitu. Komponen di grand design tertera di berbagai kementerian dan lembaga. Misalnya, pembangunan infrastruktur menggunakan dana di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Untuk kesehatan ada Kementerian Kesehatan, misalnya meningkatkan nutrisi yang masih rendah dibanding Australia, Inggris, dan Tiongkok. Kami tinggal minta kebutuhan sesuai dengan grand design. Silakan dianggarkan sendiri di sana.

Kementerian apa yang menjadi sektor pemimpinnya?

Dalam undang-undang tentu olahraga tetap menjadi tanggung jawab kami.

Bukankah mekanisme seperti itu lebih sulit untuk mengkoordinasikannya?

Enggak. Kan nanti grand design dituangkan dalam bentuk peraturan presiden. Makanya dibahas bareng antar-kementerian dan lembaga.

Apakah Anda memiliki kewenangan cukup kuat untuk menginstruksikan kementerian dan lembaga lain?

Itu seni berkomunikasi. Selama ini saya enggak ada hambatan. Saya bicara dengan Pak Basuki (Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono), Mas Nadiem, Pak Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), bahkan sejak Pak Terawan dan sekarang Pak BGS (Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin) tidak ada masalah. Mereka oke saja. Intinya yang penting ini benar-benar riil ditujukan untuk pembinaan prestasi, bukan untuk diselewengkan. Dan saya menghindar itu terpusat di tempat kami.

Mengapa?

Godaannya tinggi. Sudahlah tidak usah saya terusin, he-he-he….

Apakah karena dua menteri sebelumnya pernah tersangkut kasus korupsi?

Pokoknya kami perlu apa, tinggal ngomong ke menteri apa. Selama ini yang penting komunikasi kami baik. Kami menjelaskan untuk kebutuhan ini lho, bukan untuk diapa-apain.

Bagaimana dengan fasilitas latihan atlet?

Kami akan membangun fasilitas training camp di Cibubur, Jakarta Timur, sebagai tempat latihan terpusat. Nanti taekwondo, karate, senam, panjat tebing, dan cabang olahraga unggulan lain di sana. Kalau sekarang pelatnasnya dipisah-pisah. Kecuali dayung tetap di Purwakarta dan bulu tangkis di Cipayung (Jakarta Timur). Di Cibubur sudah ada Rumah Sakit Olahraga Nasional yang nanti difungsikan sebagai pusat sport science.

Mengenai Pekan Olahraga Nasional XX di Papua, bagaimana persiapannya sejauh ini di tengah pandemi yang masih merebak di luar Pulau Jawa?

Setiap kementerian melaksanakan tugas. Kemenpora berkonsentrasi ke pengadaan peralatan dan pertandingan, Kementerian Pekerjaan Umum ke venue dan akomodasi, Kementerian Perhubungan ke transportasi, dan lain-lain. Kami berjalan saja, kira-kira September pelaksanaannya. Jika situasinya berubah, saya tentu lapor Bapak Presiden dan pasti akan ada rapat lagi untuk menentukan itu.

Apa langkah pemerintah untuk memastikan PON bisa tetap berlangsung?

Yang penting sekarang ini vaksinasi di Papua dimasifkan, terutama empat kluster lokasi penyelenggaraan, yaitu Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Mimika. Lalu semua kontingen dari daerah juga sudah divaksin. Dalam rapat terbatas terakhir, awal Juli lalu, Pak Gubernur (Papua) menyampaikan mereka siap.

Menpora Zainudin Amali (tengah) menyambut kedatangan kontingen Olimpiade Indonesia disaksikan pebulutangkis ganda putri peraih medali emas Olimpiade Tokyo, Greysia Polii (kiri) dan Apriyani Rahayu di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 4 Agustus 2021. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Faktor situasi keamanan di Papua juga dibahas?

Iya, semua melaporkan. Kementerian Kesehatan, Kepala Kepolisian RI, hingga Panglima Tentara Nasional Indonesia menyampaikan.

Apakah ada kemungkinan PON Papua diundur lagi dengan mempertimbangkan situasi pandemi?

Sampai sekarang belum ada opsi itu.

Kementerian Pemuda dan Olahraga mendukung langkah Kementerian Kesehatan melarang sponsor rokok di bidang olahraga. Apa alternatif pendanaan bagi peningkatan prestasi olahraga?

Untuk cabang-cabang olahraga yang ada di grand design, kami sudah membicarakan saat rapat kabinet dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Nanti akan ada BUMN-BUMN tertentu yang ditugaskan menjadi bapak angkat. Tentu BUMN yang sehat ya, yang bisa menjadi bapak angkat sekaligus menjadi tempat untuk para atlet dan pelatih pasca-prestasi. Tentu kami tetap mengharapkan peran pihak swasta. Masih banyak peran pihak swasta yang non-rokok.

Dua menteri sebelum Anda tersangkut kasus hukum. Bagaimana cara Anda bersih-bersih dan mencegah agar tidak terjadi lagi?

Begitu masuk, saya membuat lima program prioritas. Saya tidak menempatkan olahraga atau kepemudaan di atas, melainkan perbaikan tata kelola kelembagaan, kompetensi ASN (aparatur sipil negara), penyederhanaan regulasi, birokrasi, dan peningkatan kecepatan pelayanan publik.

Mengapa?

Ketika saya dipanggil Pak Presiden, 22 Oktober 2019, yang dipesankan oleh beliau adalah perbaiki tata kelola. Saya tadinya enggak sadar. Saya kerja saja. Begitu saya masuk, mungkin ini satu-satunya kementerian yang dalam sepuluh tahun terakhir mendapat status penilaian wajar dengan pengecualian dan disclaimer. Saya masuk ke area yang seperti itu.

Apa yang Anda lakukan ketika itu?

Saya ajak teman-teman mengerjakan apa yang seharusnya kami kerjakan dengan program prioritas perbaikan tata kelola. Secara perlahan akhirnya kami bisa. Alhamdulillah sudah dua tahun ini Kemenpora memperoleh status wajar tanpa pengecualian. Masih ada kekurangan, tapi sudah kami perbaiki.

Seperti apa contohnya?

Kalau dulu ada cabang olahraga yang mengusulkan bantuan, kami tidak tahu mereka dibantu berapa dan di situ potensi terjadi negosiasi. Begitu saya masuk, saya ubah sistemnya. Proposal yang masuk ditinjau bukan hanya oleh Kemenpora, tapi juga tim akademikus dan praktisi. Itu bisa dua-tiga kali. Lalu sistemnya diberikan per termin. Pertanggungjawabkan dulu yang kami sudah berikan, kemudian kami akan memberikan termin berikutnya. Itu akan menghindari potensi terjadinya negosiasi, kickback, dan sebagainya.


ZAINUDIN AMALI | Tempat dan tanggal lahir: Gorontalo, 16 Maret 1962 | Pendidikan: Sarjana Muda di Akademi Perbankan dan Akuntansi Jakarta (1986); Sarjana Ekonomi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Swadaya Jakarta (1992); Magister Kebijakan Publik di Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta (2016); Doktor Ilmu Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta (2019) | Karier: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar (2004-2009, 2009-2014, 2014-2019), Dosen di Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Dosen Pascasarjana di Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Menteri Pemuda dan Olahraga (sejak Oktober 2019) | Organisasi: Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jawa Timur (2013), Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar (2015-2016), Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar (2014-2019), Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar (2019-2024), Dewan Pembina Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (2021-2025).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus