Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mitos Rusa dan Cinta Tak Biasa

Film pendek Dear to Me karya Monica Tedja ditayangkan dalam program Open Doors: Shorts di Festival Film Locarno tahun ini. Dear to Me berkisah tentang benturan agama, keluarga, dan identitas seksual minoritas. Dihadirkan dengan visual dan narasi yang puitis.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film pendek Monica Tedja Dear to Me

  • Dear to Me bukan film pertama tentang homoseksualitas.

  • Monica mempertanyakan banyak persoalan identitas minoritas dalam film-filmnya.

ORANG-ORANG pulau percaya bahwa mereka yang dapat melihat rusa di pantai akan segera bertemu jodoh. Si rusa adalah jelmaan seorang pria yang setia menanti kekasihnya hingga ajal tiba. Hikayat yang diceritakan penjaga vila itu disimak Tim (Jourdy Pranata) dengan mata bersinar. Dia tersenyum untuk pertama kali sepanjang cerita dan laki-laki muda itu tampaknya ingin percaya bahwa legenda itu benar adanya. Binar di mata Tim segera lesap begitu dilecut lontaran kalimat kedua orang tuanya, “Kami kan orang Kristen, kami hanya percaya sama Tuhan Yesus.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keyakinan dan doa-doa yang dilontarkan orang tua Tim adalah satu-satunya garis kentara yang ditarik dalam cerita Dear to Me. Tim yang mencintai seorang pemuda menemukan dirinya terbentur pada garis tebal yang tak dapat dilangkahi atau dikompromikan. Tim menghadapinya dengan masuk garis kabur antara yang nyata dan yang mimpi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan dalam Dear to Me. locarnofestival.ch

Narasi tentang mimpi mengikat sejak permulaan. Berkas sinar matahari menerobos sebuah hutan yang ramai dengan denging tonggeret dan dekut burung. Hutan itu membuka pada desau angin dan pantai berbatu. Seseorang melangkah tergesa-gesa dan menemukan seseorang lain berada di tengah ombak. “Semalam aku ingat, aku lihat kamu. Ngebelakangin aku, sendirian di tengah laut. Ngeliat langit di depan kamu. Sampai akhirnya kamu hilang. Begitu saja,” terdengar Tim bersuara.

Kita menemukan Tim pada sebuah masa liburan di vila tepi pantai bersama ayah dan ibunya. Itu adalah liburan janggal dengan banyak doa tapi tak ada tawa. Orang tua Tim berkeyakinan kuat dan tak menerima apa pun di luar keyakinan itu. Mereka memaksa untuk tetap bersama dan langsung meninggikan suara tatkala Tim meminta waktu sendiri sebentar saja. Ada upaya Tim untuk melawan, tapi jelas kedua orang tuanya tidak akan mudah untuk dikalahkan.

Kemurungan hilang dari wajah Tim hanya saat bersama James (Jerome Kurnia). Mereka saling membelai di sebuah pantai bermandikan cahaya. Entah pantai yang sama dengan tempat Tim berlibur entah berbeda. Pasangan itu jelas saling menginginkan. Interaksi mereka manis dan tak berlebihan. Sosok James juga muncul tanpa aba-aba pada waktu-waktu lain, seperti mimpi yang dimulai di tengah jalan lalu juga berakhir tiba-tiba.

Adegan dalam Dear to Me. monicavanesatedja.com

Kita tak dapat—dan tak perlu—menentukan mana yang benar-benar terjadi atau mana impian Tim sepanjang cerita 19 menit ini. Sutradara Monica Tedja memperjelasnya dengan menghadirkan gambar-gambar yang kabur atau membenturkan realitas. Pantai kelabu pada rembang petang. Gedung-gedung bertingkat bergelimang cahaya yang sekelebat muncul di sisi jauh pulau yang seharusnya terpencil itu. Lalu, rusa bertanduk seperti mahkota yang muncul begitu saja.

Yang nyata barangkali hanya satu menit menjelang akhir film. Tim menatap nanar ke luar jendela mobil yang bergerak cepat melintasi kebun kelapa dan desa dan muara. Hujan luruh bersamaan dengan air matanya. Kenyataan bagi Tim hanya kepedihan, yang membaur bersama tetes hujan.

Tim tak bisa tidak mengingatkan kita akan Timothée Chalamet yang ragu dan rapuh dalam Call Me by Your Name (Luca Guadagnino, 2017). Rambut gelap bergelombang, rahangnya keras, dan matanya memantulkan kekayaan emosi.

Adegan dalam Dear to Me.

Tak banyak kata yang dilontarkan Jourdy sebagai Tim. Namun, hanya lewat ekspresi wajahnya, terasa segala yang mendidih tapi ditindih di dalam dirinya. Lihatlah lapisan emosi yang dipancarkan Jourdy saat berdiam kala berdoa bersama, meminta pada Tuhan agar Tim, “Menjadi laki-laki yang normal dan sempurna, yang mampu mengatasi segala masalah disorientasi seksualnya.”

Dear to Me masuk daftar film pendek Open Doors: Shorts di Festival Film Locarno 74 yang berlangsung pada 4-14 Agustus 2021. Film ini dapat disaksikan secara langsung di sejumlah lokasi pemutaran di Locarno ataupun secara daring dengan kuota yang dibatasi. Kuota menonton daring film yang dibuat Monica untuk tugas akhirnya di Film University Babelsberg Konrad Wolf, Jerman, ini segera habis begitu slotnya dibuka.

Menarik melihat antusiasme penonton Indonesia terhadap film ini. Dear to Me tentu bukan film pertama yang membicarakan homoseksualitas di tengah banyaknya benturan nilai di negeri ini. Banyak di antara film itu ditentang keras oleh sebagian kelompok. Ingat bagaimana Kucumbu Tubuh Indahku oleh Garin Nugroho yang memenangi Festival Film Indonesia dua tahun lalu dan dipertimbangkan untuk seleksi Oscar justru dilarang tayang di bioskop sejumlah kota? Film pendek Monica boleh jadi juga mendapat reaksi serupa jika dipromosikan secara terbuka. Namun sejauh ini tanggapan yang muncul masih lebih banyak dari mereka yang tersentuh setelah menontonnya.

Suasana villa pinggir pantai dalam Dear to Me. locarnocfestival.ch

Monica mempertanyakan banyak persoalan identitas minoritas dalam film-filmnya. Juga benturan seksualitas dan agama. Dalam Sleep Tight, Maria (2015), sutradara Cina-Indonesia kelahiran 1991 itu memotret kebutuhan seorang remaja perempuan di tengah lingkungan Katolik untuk bermasturbasi. Dengan menggelitik, film ini menyoroti standar kecantikan dan sekat-sekat seksualitas perempuan.

Dalam Dear to Me, Monica adalah pelukis sekaligus penyair. Film ini adalah kanvas yang menangkap keindahan visual sekaligus puisi tentang cinta dan ketakberdayaan. Layar menyuguhkan tangkapan stabil satu sudut dari suasana yang membunyikan kesepian: kelapa yang jatuh di kebun, tirai yang berkibar di teras penginapan, air yang menetes di wastafel kamar mandi, dan, tentu saja, pantai dengan ombak yang tenang.

Dear to Me memikat karena kesederhanaan cerita dan kemegahan bahasa visualnya. Ini bukan film yang memprotes atau mendobrak dengan lantang. Monica terasa memiliki kepedulian dan sensitivitas untuk memasuki sudut pandang paling personal dari seorang queer. Bagaimana pada akhirnya cinta yang nyata di antara dua manusia harus berakhir sebagai mimpi belaka karena hal-hal di luar mereka. Bagaimana bukan keluarga terdekat, melainkan justru mitos antah-berantah tentang rusa yang menjadi seberkas tipis harapan yang digenggam dengan begitu kuat.

DEAR TO ME

Sutradara: Monica Vanessa Tedja
Pemain: Jourdy Pranata, Jerome Kurnia, Willem Bevers, Wani Siregar, Abbe Rahman
Penulis skenario: Monica Vanessa Tedja
Produser: Astrid Saerong, Felix Schwegler

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus