Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN setengah mengarungi wabah Covid-19, industri keuangan kita seolah-olah baik-baik saja. Rasio kredit bermasalah memang naik. Pandemi tentu membuat sebagian bisnis melambat sehingga kreditor mengalami kesulitan membayar cicilan pokok dan bunga kredit. Tapi, sejauh yang terlihat di permukaan, situasi masih aman-aman saja. Per akhir Juni 2021, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan di industri keuangan cuma 3,24 persen secara gross, masih jauh dari ambang bahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya memang tersembunyi. Sebetulnya, ada timbunan kredit bermasalah yang luar biasa besar. Namun, agar tidak memicu krisis di industri keuangan, terutama pada bank, untuk sementara anggap saja masalah ini belum ada. Seperti kisah sihir Harry Potter, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggunakan “jubah ajaib” yang membuat segala sesuatu di baliknya tak tampak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan relaksasi kredit adalah “jubah ajaib” itu. Pinjaman yang sebetulnya sudah masuk kategori bermasalah bisa tetap dianggap lancar. Pelonggaran kebijakan menyelimutinya dengan status kredit dalam restrukturisasi. Bank pun tidak perlu menyisihkan cadangan karena pinjaman itu tidak masuk kategori aset bermasalah.
Pemerintah dan otoritas keuangan memang tak punya jalan selain menunda penyelesaian masalah secara tuntas. Ketika pandemi begitu keras mencekik ekonomi, kebijakan ini efektif mencegah ledakan kredit bermasalah yang bisa merembet menjadi krisis perbankan. Tak mengherankan jika pemerintah dan OJK terus mengulur-ulur waktu. Mulanya, OJK akan mengakhiri kebijakan relaksasi kredit ini pada Maret 2021. Tapi, tahun lalu, sebelum tiba tenggatnya, OJK sudah memperpanjang masa kebijakan hingga Maret 2022.
Walhasil, jubah relaksasi berhasil membuat cemong kredit bermasalah tak terlihat. Wajah industri keuangan tetap cantik. Total laba bank selama 2020 masih bisa membikin iri industri lain, Rp 104,7 triliun. Perbankan di Indonesia juga masih menikmati rasio pendapatan dari bunga alias net interest margin (NIM) yang mencorong, 4,66 persen per Mei 2021. Ini jauh di atas rata-rata NIM perbankan di negara-negara ASEAN yang cuma 3,5 persen. Dan, yang penting, sejauh ini tak ada krisis di industri keuangan karena pagebluk Covid-19.
Masalahnya, perlindungan “jubah ajaib” ini tak bisa berlangsung selamanya. Tak mungkin perbankan terus-menerus menganggap masalah ini tidak eksis. Risikonya amat tinggi semata-mata karena jumlahnya memang terlalu besar. Per Juni lalu, nilai kredit dalam restrukturisasi masih Rp 777 triliun. Angkanya berpotensi melonjak tajam lantaran serangan varian delta yang mengamuk sejak Juli dapat memperburuk keadaan.
Bahwa situasi memang memburuk sudah tampak gelagatnya. Pemerintah sudah meminta OJK memperpanjang lagi masa relaksasi kredit hingga Maret 2023. Ekspektasinya, dalam dua tahun ke depan, sebagian kredit dalam restrukturisasi ini mungkin bisa berangsur-angsur kembali lancar, sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi. Tapi, sudah pasti, tak semua kredit itu bakal benar-benar bisa pulih menjadi aset yang berkualitas baik. Sebagian akan tetap macet dengan segala konsekuensinya.
Itulah yang akan menentukan, sebesar apa krisis yang bakal menerpa perbankan ketika relaksasi kredit harus berakhir. Investor yang masih terpukau oleh wajah cantik industri keuangan harus bersiap-siap menghitung kemungkinan terwujudnya skenario terburuk. Jika wabah Covid-19 tak segera teratasi dan terus menggerogoti ekonomi Indonesia, kredit dalam restrukturisasi yang kelak menjadi macet bakal luar biasa besar jumlahnya.
Dan ada ancaman lain yang tak kalah berbahaya. Situasi pasar finansial global kemungkinan besar sudah berubah total ketika jubah relaksasi kredit kelak harus dilepas. Dua tahun lagi, suku bunga The Fed besar kemungkinan sudah naik. Artinya, akan ada arus balik valuta asing ke negara-negara maju yang berdampak pada mengetatnya likuiditas. Kurs rupiah bakal gonjang-ganjing. Perubahan kebijakan moneter The Fed dan berakhirnya selimut relaksasi kredit macet, jika datang bersamaan, bisa menimbulkan prahara yang mengguncang-guncang industri keuangan Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo