Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Azyumardi Azra menjadi Ketua Dewan Pers menggantikan Mohammad Nuh.
Dewan Pers jangan hanya berkutat pada pelatihan dan penanganan sengketa pers.
Dewan Pers diharapkan menjadi mitra kritis bagi pemerintah.
DEWAN Pers kini memiliki nakhoda baru. Azyumardi Azra menggantikan Mohammad Nuh memimpin lembaga yang diberi amanat undang-undang untuk melindungi kebebasan pers dan menjaga kepentingan publik ini pada Rabu, 18 Mei lalu. Azyumardi hendak mendorong agar Dewan Pers tak hanya berkutat pada tugas rutin, seperti menangani kasus sengketa pers, tapi juga bersuara dalam isu-isu yang menjadi perhatian publik dan penguatan demokrasi. Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini ingin agar lembaga tersebut menjadi mitra kritis bagi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alumnus Columbia University, Amerika Serikat, ini dikenal sebagai akademikus yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan akan tetap bersikap demikian. “Saya tidak melihat ada hal yang perlu dipertentangkan antara sikap kritis pribadi dan Dewan Pers, terutama kepada pemerintah,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, pada Kamis, 26 Mei lalu, Azyumardi memaparkan pandangannya mengenai tantangan dan masalah yang dihadapi media saat ini serta bagaimana seharusnya hubungan ideal antara pers, negara, dan masyarakat di tengah kemunduran demokrasi.
Sebagai Ketua Dewan Pers, apa yang mulai Anda lakukan?
Banyak sekali agendanya. Pertama, kami harus melakukan konsolidasi internal. Kedua, secara eksternal ini tak kurang beratnya karena banyak sekali tantangan dan tugas yang dihadapi. Salah satu yang paling pokok adalah revitalisasi Dewan Pers sebagai pembawa aspirasi publik. Dewan Pers seharusnya menjadi mitra kritis pemerintah. Secara obyektif ia bisa memberikan apresiasi kepada pemerintah dalam menjalankan program-program yang memberikan kemaslahatan bagi publik. Tapi, pada saat yang sama, Dewan Pers juga harus mengingatkan pemerintah jika terjadi hal-hal yang tidak pada tempatnya atau tidak patut.
Beberapa tahun terakhir ini banyak ahli mengatakan demokrasi Indonesia mengalami kemerosotan atau cacat. Karena itu, Dewan Pers harus mengingatkan pemerintah. Dalam konteks ini juga, misalnya, tentang pengangkatan pejabat kepada daerah. Pengangkatan itu tidak demokratis dan menghilangkan kedaulatan rakyat karena gubernur, wali kota, dan bupati yang habis masa jabatannya kan (dulu) dipilih oleh rakyat secara langsung. Sekarang, (mereka) begitu saja diganti oleh pemerintah.
Penggantiannya tidak transparan dan hanya melibatkan beberapa kementerian. Publik sama sekali tidak dilibatkan, termasuk dewan perwakilan rakyat daerah. Gubernur punya usul tapi tidak dipedulikan. Juga tidak mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yang pada dasarnya meminta agar pemerintah membuat peraturan mengenai pemilihan pejabat kepala daerah. Hal yang cukup fatal adalah mengangkat (anggota) Tentara Nasional Indonesia aktif seperti kasus di Seram Barat, Maluku. Ini hal-hal yang tidak proporsional dan Dewan Pers harus turut mengawalnya.
Bagaimana Anda melihat kondisi dan kinerja pers selama ini?
Media kita memang menghadapi tantangan sangat berat, yaitu meningkatnya digitalisasi di berbagai aspek kehidupan. Banyak media yang tidak lagi mengeluarkan edisi cetaknya. Kalaupun masih ada, oplah mereka berkurang signifikan. Perubahan ini juga mempengaruhi pendapatan media sehingga kemudian berdampak terhadap pekerja pers.
Kinerja media tidak bisa digeneralisasi. Kita bisa bagi media kita mungkin menjadi tiga kategori. Pertama, media arus utama kredibel, yang memilih bersikap kritis terhadap kebijakan tertentu dari pemerintah. Mereka memainkan peran sebagai penyambung aspirasi publik. Saya kira ini menjadi harapan kita, harapan publik. Kedua, media arus utama yang lebih pro status quo, yang tidak terlalu banyak bicara mengenai isu-isu yang sensitif, seperti perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan pemindahan ibu kota negara. Ketiga, media yang menimbulkan kekacauan dan kegaduhan di masyarakat, yaitu yang sering mengedarkan berita-berita yang tak sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Apakah kini kita memiliki kebebasan yang cukup dan menggunakannya dengan baik?
Sebetulnya Indonesia masih bisa kita bilang sebagai salah satu negara yang memiliki kebebasan pers kalau dibandingkan dengan negara lain, Vietnam dan Singapura, misalnya. Mungkin di Filipina juga bebas, tapi ancaman terhadap jurnalis di sana lebih besar karena tingkat kekerasannya saya kira yang paling tinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis juga ada walaupun (jumlahnya) jauh dibanding Filipina, tapi tetap saja harus kita perjuangkan agar tidak terjadi kekerasan terhadap jurnalis.
Sebetulnya kebebasan media kita masih cukup baik, tapi pada saat yang sama juga tidak digunakan sesuai dengan proporsinya. Misalnya, kebebasan itu tidak digunakan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kita, tidak meningkatkan sikap kritis. Malah kebebasan itu oleh sebagian media digunakan untuk menimbulkan kegaduhan, meningkatkan politik identitas, bahkan mungkin juga meningkatkan intoleransi atas dasar agama, suku, dan sebagainya.
Berapa banyak dari media kita yang masuk kategori seperti itu?
Sebagian besar menggunakan kebebasan itu untuk memajukan kehidupan masyarakat. Media-media arus utama menghadapi tantangan yang sangat berat akibat digitalisasi, tapi kita juga melihat munculnya terobosan, terutama melalui pengembangan jaringan online. Ada terobosan untuk membangun kehidupan publik yang lebih baik. Kalau disebut ada media yang tidak berkontribusi (positif) dan menimbulkan kegaduhan, itu memang minoritas, tapi mereka sangat aktif, termasuk mengadu domba dan menyebarkan informasi yang enggak benar.
Bagaimana idealnya hubungan pers dengan pemerintah?
Pers bukanlah bagian dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers entitas mandiri, independen. Kalaupun, misalnya, sebagian dana Dewan Pers dari pemerintah, tidak kemudian Dewan Pers harus mengamini saja semua kebijakan pemerintah. Apalagi media. Lembaga ini sama sekali tidak tergantung pada pemerintah. Makanya saya katakan pers Indonesia harus menjadi mitra kritis pemerintah. Apalagi di tengah keadaan seperti sekarang.
Dalam beberapa tahun terakhir masyarakat sipil kita mengalami disorientasi, kemunduran. Kalau kita diam saja, berarti tidak ada lagi kontrol, tidak ada lagi checks and balances terhadap pemerintah. Apalagi kemudian di dalam kelembagaan politik kita—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—tidak ada lagi kekuatan checks and balances. Semua kelihatannya sudah menjadi satu entitas tunggal. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semua langkahnya senada. Misalnya, eksekutif dan legislatif bersekongkol mengeluarkan undang-undang tanpa melibatkan publik, dari perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, pengesahan Undang-Undang Cipta kerja, hingga pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Itu Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden saja yang menentukan.
Begitu juga yudikatif. Yang paling tinggi adalah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam banyak kasus tidak mempedulikan kepentingan publik. Misalnya, 21 gugatan tentang presidential threshold ditolak semua. Itu makin menimbulkan rasa frustrasi dan mengikis kepercayaan kepada lembaga-lembaga publik. Ini kan tidak bagus. Kepercayaan itu modal sosial. Kalau tergerus, ia tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilik media juga ada yang politikus. Pemerintah juga bisa mempengaruhi media melalui alokasi iklan. Bagaimana agar media tetap menjadi mitra kritis?
Ini juga tidak mudah. Ada media yang juga tumpang-tindih sebagai kekuatan politik. Dalam hal ini, Dewan Pers harus berusaha dengan cara-cara tertentu. Meskipun pemilik atau kalangan dari media itu aktif menjadi aktor politik, pers sepatunya melakukan upaya-upaya agar medianya tetap independen. Memang tidak pada tempatnya (mereka) menggunakan ruang publik seperti televisi untuk kampanye partai atau kandidatnya.
Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra di kediamannya, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 27 Mei 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bagaimana Anda melihat hubungan pers dengan publik?
Karena media atau pers bagian dari publik, hubungannya harus bersahabat tapi tetap kritis. Pers sangat memerlukan publik secara ekonomi dan bisnis, tapi tetap harus kritis. Misalnya, (media) bisa mengkritik perilaku masyarakat yang permisif terhadap korupsi, suka ngasih salam tempel ke aparat, baik di jalan raya maupun di kantor.
Jurnalisme yang berkembang belakangan ini adalah jurnalisme data. Jurnalisme berbasis data. Salah satu contoh yang pernah ditampilkan adalah liputan yang menunjukkan bahwa dalam setahun masyarakat Indonesia memboroskan sekitar Rp 330 triliun dari makanan yang tidak habis. Ini yang saya maksud publik kita harus juga dikritik, harus diarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Pers harus meningkatkan peran edukasinya dalam membangun masyarakat yang berkeadaban, entah melalui persuasi, laporan investigatif, entah jurnalisme data.
Bagaimana kondisi kebebasan pers kita kini?
Saya sih percaya kebebasan mengalami kemerosotan, termasuk kebebasan pers kita. Kebebasan pers bagian dari kebebasan berpendapat dan mungkin bagian sentral dari kebebasan berekspresi. Ia jelas mengalami kemerosotan, antara lain karena orang-orang yang mengeluarkan ekspresinya mendapat gangguan dan dilaporkan dengan pasal pencemaran nama memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Terjadi kriminalisasi terhadap orang yang menggunakan kebebasannya, termasuk di media.
Apa faktor paling signifikan penyebab merosotnya kebebasan?
Demokrasi merosot dan kemudian terjadinya peningkatan oligarki. Oligarki bisnis berkolaborasi atau bersekongkol dengan oligarki politik. Oligarki bisnis itulah yang mengarahkan oligarki politik, misalnya untuk menghasilkan undang-undang atau perubahan undang-undang yang lebih memihak pada kepentingan oligarki daripada publik. Ini misalnya perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang hanya menguntungkan pengusaha tambang. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, lebih banyak merugikan buruh, atau merugikan kepentingan lingkungan karena tidak ada lagi analisis mengenai dampak lingkungan, atau mengambil wewenang dari pemerintah daerah soal pemberian izin, dan lain sebagainya. Jadi kemerosotan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi terjadi karena menguatnya oligarki politik dan oligarki bisnis, yang tidak atau kurang memberikan ruang memadai bagi publik, termasuk media dan pers, untuk menyampaikan aspirasi mereka. Pejabat-pejabat tinggi kita bukannya memberikan contoh bagaimana menangani kritik dengan baik, (mereka) malah melakukan kriminalisasi, mengadukan kepada polisi, dan sebagainya. Ini yang mengakibatkan terjadinya kemerosotan itu.
Peran apa yang bisa dilakukan oleh Dewan pers untuk memperbaiki kondisi ini?
Dewan Pers bisa melakukan berbagai hal, dari pernyataan terbuka, hingga mungkin melobi pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan DPR, serta pihak-pihak terkait lain. Memang sering juga pernyataan terbuka belum menyelesaikan masalah. Karena itu, kita harus melakukan lobi-lobi dan menyampaikan masalahnya melalui pertemuan dengan pejabat terkait, misalnya dengan presiden, anggota, atau Ketua DPR. Kita sampaikan masalah ini agar menjadi perhatian mereka sehingga kita bisa memulihkan kembali, bukan hanya kebebasan pers kita, kebebasan berekspresi kita, tapi juga pada saat yang sama memulihkan demokrasi kita yang mengalami kemerosotan di berbagai lini.
Adakah pendekatan baru yang ingin dicoba?
Kita perlu melakukan pendekatan yang lebih proaktif. Dewan Pers tidak boleh berdiam diri terhadap berbagai masalah. Saya lihat dalam visi dan misi Dewan Pers selama ini pers Indonesia diharapkan berada di urutan nomor satu untuk memperkuat kesatuan. Saya setuju kita harus memperkuat kohesi sosial, apalagi menjelang Pemilihan Umum 2024, saat ketegangan politik meningkat. Tapi, pada saat yang sama, tidak ada di dalam visi dan misi bahwa pers adalah salah satu pilar demokrasi. Kedua, pers kita dalam hubungannya dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menjadi mitra kritis. Itu sangat penting. Dewan pers kan lembaga resmi negara. Karena itulah saya kira Dewan Pers harus meningkatkan peran dan fungsinya. Melatih dan meningkatkan kualifikasi jurnalis itu sudah benar. Peningkatan kompetensi memang harus dijalankan. Tapi Dewan Pers jangan terjebak menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan. Saya kira masyarakat berharap lebih dari itu.
Anda dikenal sebagai akademikus yang kritis terhadap negara. Bagaimana posisi Anda sebagai Ketua Dewan Pers?
Saya tidak melihat itu sebagai dilema. Baik secara pribadi maupun sebagai Ketua Dewan Pers (saya) tetap harus bersikap kritis, yang adil dan berimbang. Hal-hal yang baik dan positif bagi kehidupan berbangsa dan negara yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus kita dukung. Kita perkuat. Tapi, kalau hal negatif, tidak bisa kita biarkan. Sekarang kan dalam kasus pengangkatan pelaksana tugas kepala daerah, misalnya, suara-suara dari masyarakat seolah-olah hanya bersifat sporadis. Nah, Dewan Pers sebagai lembaga resmi harus memberikan dukungan kepada suara-suara seperti itu karena penting sekali untuk memajukan demokrasi dan mengkonsolidasikan kembali demokrasi kita. Jadi saya tidak melihat ada hal yang perlu dipertentangkan antara sikap kritis pribadi dan Dewan Pers, terutama kepada pemerintah.
Azyumardi Azra
Tempat dan tanggal lahir
Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 4 Maret 1955
Pendidikan
S-1 Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
S-2 Kajian Timur Tengah Columbia University, New York, Amerika Serikat
S-3 Comparative History of Muslim Societies Columbia University
Karier
• Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
• Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi, 2015-2019
• Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2007-2015
• Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Wakil Presiden, 2007-2009
• Rektor UIN Syarif Hidayatullah, 1998-2002 dan 2002-2006
• Guru Besar Kehormatan University of Melbourne
Penghargaan
• Bintang Mahaputra Utama RI, 2005
• Commander of The Most Excellent Order dari Kerajaan Inggris, 2010
• The Order of the Rising Sun dari Kaisar Jepang, 2017
• The 500 Most Influential Muslim Leaders, Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, 2009
• The Asia Foundation Award, 2005
• Fukuoka Prize, Jepang, 2014
• Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia Award, 2014
• Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sarwono Award, 2017
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo