Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Lahan masyarakat di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, diduga diserobot oleh PT Multi Harapan Utama sejak 2019.
Perusahaan menolak ganti rugi tanam tumbuh yang telah diatur dalam peraturan Bupati Kutai Kartanegara tahun 2015.
Sejumlah warga menyandang status tersangka karena dianggap menghalangi aktivitas perusahaan tambang batu bara itu.
HATI Syamsu Arjaman, 64 tahun, lega tatkala ia menerima tembusan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur pada Kamis, 21 April lalu, soal sengketa lahan dengan PT Multi Harapan Utama. Surat itu berisi sejumlah permintaan, di antaranya, memastikan pencegahan kriminalisasi, kekerasan, ataupun intimidasi terhadap masyarakat yang terkena dampak aktivitas PT Multi Harapan, perusahaan tambang batu bara di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Enam bulan lalu, tepatnya pada 28 Oktober 2021, Syamsu, yang kerap dipanggil Tikong, melaporkan kriminalisasi yang ia alami kepada Komnas HAM. Menurut penduduk asli Desa Jembayan, Loa Kulu, itu, kriminalisasi tersebut adalah buntut perselisihannya dengan PT Multi Harapan Utama (MHU) mengenai kepemilikan lahan.
PT MHU, kata Syamsu, menyerobot lahan miliknya seluas 3,43 hektare. Padahal lahan itu telah ditanami pohon sengon sebanyak 400 batang dan pohon buah-buahan, seperti jeruk bali, mangga, durian, dan kuweni. "Sejak nenek moyang kami tinggal di sini, belum pernah perusahaan memberitahukan aktivitas mereka yang akan berada di atas lahan masyarakat," ucap Syamsu pada Ahad, 17 April lalu.
Persoalan kian runyam ketika lahan yang telah ditinggali oleh setidaknya lima generasi itu diklaim sebagai lahan yang sudah dibebani izin untuk perusahaan. "Kami tak pernah diberi tahu kapan lahan-lahan yang kami kelola ditetapkan sebagai lahan hak guna usaha atau hutan dengan status hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, atau area penggunaan lain," ujar tokoh masyarakat adat suku Lampong Kutai ini.
Menurut Syamsu, penyerobotan juga menimpa lahan warga lain. Selain keluarganya, ada empat keluarga lain di beberapa desa di Kecamatan Loa Kulu yang memiliki lahan seluas 1,5-5,6 hektare yang diserobot PT MHU pada medio 2019 hingga 2020. Lahan-lahan itu telah ditanami tanaman keras seperti karet, sengon, jati, kemiri, durian, nangka, petai, gaharu, mahoni, kelapa, serta padi dan keladi gunung.
Lahan Arifin contohnya. Lahan seluas 1,5 hektare itu, ucap Arifin, adalah sumber penghasilan utama bagi keluarganya. Ia mengklaim pendapatannya bisa mencapai Rp 2 juta per sepuluh hari. Di atas lahan itu ia menanam karet, pisang, kelapa, durian, gaharu, dan mahoni. "Kami punya surat tanah dan telah rutin membayar pajak-pajak yang harus kami bayar," ucap Arifin, yang lahannya dicaplok pada 2020.
Penggusuran ini dilakukan tanpa memperhatikan Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 48 Tahun 2015 yang mengatur penghitungan dan penetapan harga ganti rugi tanaman dan benda-benda lain. Aturan yang dikenal sebagai peraturan ganti rugi tanam tumbuh itu diterbitkan Bupati Rita Widyasari pada 20 Mei 2015.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo