Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lubang Tambang Terus Menganga

PT Multi Harapan Utama setengah hati menutup lubang tambang batu bara di Kutai Kartanegara. Berpotensi menambah jumlah korban tenggelam.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah lubang tambang PT Multi Harapan Utama tak ditutup dan disulap menjadi penyimpan air bersih.

  • Pengujian laboratorium atas sampel air lubang tambang yang dilakukan Tempo pada 2017 menunjukkan adanya pencemaran logam berat.

  • Dibayangi persoalan perizinan.

SEJUMLAH plang berwarna putih berukuran sekitar 1,5 x 1,5 meter dan 1,5 x 0,5 meter berdiri tegak di sejumlah titik di Desa Margahayu dan Jonggon Jaya, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setidaknya ada tiga plang yang menarik perhatian. Plang dengan logo PT Multi Harapan Utama itu berisi keterangan mengenai kepemilikan lahan, larangan beraktivitas di dekat lubang tambang, juga informasi tentang reklamasi lubang tambang.

Pada salah satu plang yang tulisannya telah pudar tertulis: “Blok: BJO; Lokasi: Workshop LCI; Jenis: Sengon trembesi; Jarak tanaman: 3x3; Jumlah: 1.090 batang; Tanggal penanaman: 28 Mei 2018”. Di bagian bawah: “Dilarang merusak tanaman reklamasi”. Tapi tak tampak sebatang pun pohon sengon ataupun trembesi di sana. Dari tepi jalan raya, kolam-kolam bekas tambang tidak terlihat karena tertutup lebatnya semak belukar. Ketika Tempo menerbangkan drone, barulah terlihat lubang bekas tambang.

Tempo juga mendatangi salah satu lubang bekas tambang batu bara di Rukun Tetangga 3 Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di kolam itulah Mulyadi, siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Geologi Pertambangan Kutai Kartanegara, tewas tenggelam pada 2015. Hingga Rabu, 1 Juni lalu, kolam seluas 3 hektare lebih itu masih menganga.

Hanya ada plang peringatan dilarang beraktivitas di sekitar kolam yang ditambahi pagar kawat dan bambu sebagai tindak pengamanan. "Plang itu dipasang setelah kejadian (tenggelamnya) Mulyadi," kata Muhamad Japar, Ketua RT 3, Rabu, 1 Juni lalu. Tubuh remaja 15 tahun itu ditemukan petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kutai Kartanegara tidak bernyawa di kedalaman 30 meter setelah tiga jam pencarian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga menunjukkan lokasi kolam tambang di Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. TEMPO/Sapri Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarak kolam bekas tambang tersebut dengan permukiman hanya sekitar 50 meter. Dengan berjalan kaki, kita bisa melihat kolam tambang tersebut, yang juga tak jauh dari tepi jalan raya Loa Ipuh Darat. Padahal Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara menyebutkan jarak minimal tepi lubang galian minimal 500 meter dari batas izin usaha pertambangan.

Japar menjelaskan, ada sebagian kecil masyarakat yang memang meminta tidak semua kolam ditutup supaya dapat digunakan sebagai sumber air. Namun, ihwal kolam-kolam yang telah memakan korban, warga kompak meminta ditutup. "Sudah dari dulu katanya ada rencana ditutup. Saya berkali-kali ikut rapat membahas soal itu, tapi sampai sekarang tidak ada realisasi penutupannya," tuturnya.

Menurut ingatan Japar, di antara kolam bekas tambang itu, ada yang sudah terbentuk pada akhir 1990-an. Hingga saat ini, setahu dia, ada puluhan kolam bekas tambang yang belum ditutup. "Kalau bisa ditutup, ya, ditutup," ujarnya. Ia mengatakan tak ada yang bisa masyarakat banggakan dari kehadiran PT Multi Harapan Utama (MHU), baik saat masih beroperasi di Loa Ipuh Darat maupun ketika sudah pindah ke lokasi lain.

Air yang berasal dari kolam tambang, Japar menambahkan, sejauh ini hanya digunakan masyarakat untuk kebutuhan MCK alias mandi-cuci-kakus, menanak nasi dan irigasi. Ketua RT 2 Blok A Dusun Kebun Sari, Desa Margahayu, Kecamatan Loa Kulu, Kasmin, 46 tahun, mengatakan masyarakat berpikir-pikir untuk menggunakannya sebagai air minum. "Kalau untuk air minum, kami beli air isi ulang," katanya.

Kepala Desa Margahayu, Rusdi, mengatakan ada 53 kolam bekas tambang di desanya. Warga meminta tujuh kolam disisakan sebagai sumber air dan irigasi untuk kebutuhan sekitar 3.670 orang dari 1.163 keluarga. Sisa kolam, menurut Rusdi, diminta warga direklamasi.

Pada 2017, tim investigasi Tempo melakukan uji laboratorium terhadap sampel air dari lubang tambang yang dikonsumsi warga Margahayu. Hasilnya, sampel air dari tangki penampung air Tirta Pelita Kita—pengelola penampungan air—yang diambil pada Desember 2016 menunjukkan tingkat keasaman (pH) yang tinggi, 3,6. Nilai pH normal adalah 6-8. Kandungan logam berat air juga di atas baku mutu, misalnya mangan (Mn) 5,85 miligram per liter (mg/l), seng (Zn) 0,571 mg/l, dan besi (Fe) 0,683 mg/l.

Menurut Shannaz Nadia Yusharyahya, ahli kesehatan kulit dan kelamin yang juga Lektor Universitas Indonesia, mengatakan penggunaan air yang bersifat asam dan tercemar logam berat dapat terlalu lama dapat menyebabkan sawar kulit rusak. "Karena itu, kandungan logam yang tadinya tidak bisa menembus kulit karena berat massanya terlalu besar, molekulnya besar, akhirnya bisa menembus kulit," kata dia. Efeknya, kulit menjadi teriritasi, berpigmentasi, dan menebal dengan efek kumulatif berupa kanker kulit. Dia menambahkan, efeknya akan lebih besar jika air itu digunakan untuk menanak nasi.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan perusahaan tidak menutup lubang tambang dengan modus berlindung di balik alasan kebutuhan masyarakat akan penampungan air bersih. Yang perlu diingat, kata dia, sebelum ada aktivitas pertambangan, sumber air bagi masyarakat sangat cukup. "Aktivitas pertambangan membuat layanan fungsi alam menyediakan air bersih hilang.”

Menurut Pradarma, kondisi tersebut membuat masyarakat tidak memiliki pilihan lain. Karena itu, dia melanjutkan, tak aneh jika ada warga yang meminta kolam tambang yang digunakan sebagai sumber air tidak ditutup. "MHU jadi diuntungkan. Mereka tidak perlu menutup kolam tambang karena alih peruntukan," ujar Pradarma, Jumat, 3 Juni lalu. Ia khawatir lubang itu menambah jumlah korban. Di Kalimantan Timur saja, dia mengungkapkan, sudah ada 40 korban meninggal akibat tenggelam di lubang bekas tambang.

Foto udara kolam bekas tambang di Loa Ipuh Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 1 Juni 2022. TEMPO/Sapri Maulana

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebetulnya memiliki Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Reklamasi dan Revegetasi Lahan serta Penutupan Tambang Batu Bara. Pada pasal 2 ayat 1 tertulis bahwa setiap orang dan/atau penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan wajib melaksanakan reklamasi dan revegetasi lahan sesuai dengan mekanisme perundang-undangan.

Selain itu, ada Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 53 Tahun 2015 tentang Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Daerah. Menurut Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur Christianus Benny, komisi itu memang pernah dibentuk dan berjalan selama dua tahun. Namun sejak 2019 kerja komisi dihentikan dan diatur langsung oleh pemerintah pusat.

Direktur PT MHU Achmad Zuhraidi tidak merespons dan menjawab pertanyaan hingga Sabtu, 4 Juni lalu. Anggota staf hubungan masyarakat PT MHU menanggapi pertanyaan yang dikirimkan Tempo, tapi tidak mau penjelasannya dikutip. Head of Corporate Strategy and Communication MMS Group Indonesia—perusahaan induk PT MHU—memberi penjelasan panjang-lebar atas pertanyaan Tempo, tapi menolak dikutip.

Dalam surat permohonan wawancara tertanggal 10 Maret 2022 itu, Tempo mengajukan sejumlah pertanyaan. Di antaranya mengapa PT MHU belum menutup lubang-lubang eks tambangnya, sejauh mana perusahaan telah berupaya mereklamasi dan menutup lubang tambang, dan benarkah perusahaan menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk memanfaatkan kolam air bekas lubang tambang tersebut.

Syamsu Arjaman, warga Desa Loa Kulu, mengatakan PT MHU telah mengubah lahan produktif masyarakat menjadi lubang tambang di lahan sengketa dan belum menyelesaikan kewajiban ganti ruginya. Menurut Syamsu, masyarakat baru mengetahui lahan mereka yang dicaplok perusahaan merupakan bagian dari izin pinjam pakai kawasan hutan produksi pada 2017. "Kami tak pernah diberi tahu oleh Dinas Lingkungan Hidup ataupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa ini kawasan hutan produksi," tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus