Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN dingin Alfred Riedl kembali terbukti. Racikan strategi pelatih asal Austria ini mengantar tim nasional sepak bola Indonesia menembus partai final Piala AFF Suzuki 2016. Padahal dia mempersiapkan 23 pemain di pasukannya hanya dalam empat bulan, setelah Âpencabutan sanksi Federasi Sepak Bola Dunia, FIFA, atas Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), ÂMei lalu.
Sama sekali tak diunggulkan di awal kompetisi sepak bola se-Asia Tenggara ini, Garuda menjelma jadi tim yang produktif. Pada setiap pertandingan, dari fase penyisihan sampai leg pertama partai puncak, Boaz Solossa dan kawan-kawan mencetak dua gol. Langkah Indonesia hanya terhenti di Bangkok, setelah takluk 0-2 di tangan juara bertahan Thailand, Sabtu dua pekan lalu. "Timnas sudah melakukan yang terbaik," kata Riedl. Ini merupakan yang kedua kali ia mengantar Indonesia ke pertandingan puncak turnamen dua tahunan itu. Pada final AFF 2010, Indonesia dikalahkan Malaysia justru ketika timnas sedang dalam penampilan terbaiknya.
Di masa rehat sebelum kembali ke kampung halamannya di Eropa, Alfred Riedl menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang, koresponden Bram Setiawan, dan fotografer Johannes Christo di Sofitel Resort, Nusa Dua, Bali, pekan lalu. Ini momen yang langka. Sebab, selama menjadi pelatih timnas, dia amat jarang bersedia diwawancarai secara khusus.
Dicecar berbagai pertanyaan, dengan lugas Riedl menjelaskan perspektifnya atas berbagai isu persepakbolaan nasional, dari soal kedisiplinan pemain, ketiadaan pembinaan usia dini, kepengurusan baru PSSI, sampai proses pemilihan pemain di Piala AFF lalu. "Itulah masalah sepak bola di negeri ini. Selalu sama kondisinya dari waktu ke waktu," ujarnya Âdatar.
Sepanjang wawancara dalam bahasa Inggris selama 40 menit, wajah Riedl, 67 tahun, boleh dikata tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Keningnya selalu berkerut bak sedang berpikir keras—persis sama dengan raut mukanya ketika timnya menang atau kalah. Dia baru menegakkan punggung dan meninggikan nada bicara tatkala ditanya soal dugaan suap pada Piala AFF 2010, juga soal dukungan pemerintah terhadap timnas. Tangannya yang semula selalu terkatup di depan dada seketika aktif bergerak seiring dengan intonasinya yang memuncak. Jejak kegusarannya masih membekas ketika dia diminta tersenyum di sesi pemotretan. "No. Big no!" katanya menolak.
Selamat atas pencapaian timnas Indonesia pada Piala AFF 2016. Apakah Anda menganggap posisi runner-up sebagai hasil yang memuaskan?
Itu adalah pencapaian maksimal yang bisa dicapai timnas pada 2016. Thailand adalah tim yang sangat kuat. Sepanjang turnamen, hanya Indonesia yang mampu memberi perlawanan, bahkan sempat mengalahkan mereka. Timnas bisa mencetak empat gol dalam tiga pertandingan melawan Thailand. Jadi timnas sudah melakukan usaha terbaik.
Sepanjang turnamen, Tim Merah Putih selalu mencetak dua gol, kecuali leg kedua babak final. Apa yang salah?
Pertandingan itu adalah laga yang sulit. Tapi pemain seharusnya lebih berani dan bertenaga meladeni pemain Thailand, yang posturnya lebih tinggi. Sedangkan pemain kita berpostur relatif lebih kecil.
Bagaimana perbandingan kekuatan Tim Merah Putih di AFF 2010 dan tahun ini?
Pada 2010, timnas dihuni 12 pemain yang pernah memperkuat tim ini sebelum saya melatih mereka. Ada Firman Utina, Muhammad Ridwan, dan Bambang Pamungkas. Mereka adalah pemain berkualitas yang sedang matang pada usianya. Persiapan timnas saat itu juga sangat baik. Dengan dua faktor itu, timnas menjadi yang terbaik di turnamen. Kali ini kami hanya punya sembilan pemain yang berpengalaman.
Tapi Indonesia kalah oleh Malaysia dengan agregat 4-2 di final AFF 2010....
Timnas kalah karena satu pemain. Kesalahan satu pemain. Pemain lawan juga mampu membunuh kami dengan satu sentuhan. Begitulah sepak bola. Namun saya tak ingin menyalahkan pemain tersebut. Sebab, dalam sepak bola, siapa pun selalu punya peluang untuk membuat kesalahan.
Ada kabar beberapa pemain Anda terlibat pengaturan skor di pertandingan tersebut. Apa pendapat Anda?
(Nada bicara Riedl meninggi.) Beri saya nama-nama pemain yang terlibat. Saya tak punya bukti soal itu. Bagaimana pula saya mengetahuinya? Jika saya tahu, saya sudah dipenjara.
Bagaimana Anda membandingkan sepak bola Indonesia sekarang dengan 2010?
Sepak bola Indonesia tak pernah berubah. Jika Anda lihat pertandingan di liga, tak ada perubahan. Itulah masalah sepak bola di negeri ini. Selalu sama kondisinya dari waktu ke waktu. Kadang saya tak cocok dengan pertandingan di liga nasional.
Apa penyebab stagnasi itu?
Tak ada seorang pun yang mau melakukan perubahan. Dalam konteks ini, perubahan besar bisa dimulai dengan menggulirkan pembinaan usia dini.
Artinya, program pembinaan pemain usia dini di Indonesia tak berjalan?
Sepak bola usia dini tak populer karena tak mendatangkan uang. Justru kita dituntut sabar dan butuh setidaknya sepuluh tahun untuk melihat hasilnya. Di sisi lain, PSSI tak punya cukup kekuatan dan uang untuk melakukan pembinaan usia dini yang berjenjang. Melatih anak usia dini tak mendatangkan duit. Bahkan, di Austria, pelatih sepak bola anak hanya mendapatkan recehan. Hanya idealisme yang mendorong pelatih dan pengurus klub melatih bocah. Tanpa mereka, anak-anak akan beralih ke aktivitas lain.
Bagaimana bentuk pembinaan usia dini di Austria?
Dari klub. Di negara saya, ada 8,5 juta penduduk. Kami punya 2.100 klub sepak bola. Sedangkan di Indonesia, Anda punya lebih dari 250 juta penduduk, tapi cuma ada 500 klub. Itu perbedaan yang masif.
Dengan sederet permasalahan tersebut, Anda tetap menerima pinangan PSSI. Bagaimana ceritanya?
Saya ditelepon seseorang di Indonesia pada akhir Mei 2016, bukan dari PSSI. Sejak awal saya bukan pelatih yang ditunjuk oleh PSSI, karena saat itu PSSI belum punya kekuatan dan dukungan finansial yang memadai. Saya ditunjuk oleh seseorang yang menempatkan saya pada posisi pelatih. (Pada rubrik Wawancara majalah Tempo edisi 28 November-4 Desember 2016, Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi mengatakan Riedl dihubungi Djoko Driyono, kini Wakil Ketua Umum PSSI.)
Anda langsung menyetujui proposal itu?
Ya, karena saat tawaran itu datang, saya sudah menepi dari hiruk-pikuk sepak bola selama setahun lebih. Sangat sederhana dan mudah. Proposal yang ditawarkan adalah kontrak jangka pendek dan itu bukan masalah.
Apa yang menjadi kekuatan timnas sekarang?
Saya menjumpai pemain-pemain yang punya kemauan besar. Determinasi ini sangat penting agar mereka menunjukkan penampilan yang saya inginkan. Ada pemain muda yang ingin membuktikan kemampuannya, ada pula pemain senior yang bertugas membimbing.
Siapa pemain yang punya tekad paling Âbesar?
Saya tak bisa menyebutkan satu per satu. Hampir semua pemain punya kemauan besar. Tekad bukan sekadar dipikirkan, tapi harus selalu diwujudkan.
Sebaliknya, apa kelemahan timnas?
Pemain tak peduli dengan nutrisi. Mereka makan apa pun yang mereka mau. Saat mereka pulang, asupan nutrisi tak terjaga. Seorang atlet seharusnya punya kepedulian tinggi pada nutrisi. Bayangkan, pemain kita makan kerupuk atau kentang goreng, yang jelas-jelas tak bergizi. Juga ada masalah dalam disiplin. Beda dengan Vietnam, yang punya kedisiplinan tinggi. (Riedl melatih tim nasional Vietnam pada 2005-2007.)
Pelanggaran disiplin apa yang sering dilakukan para pemain?
Contohnya pemain-pemain dari Papua. Mereka sering minum alkohol berlebihan. Minum sampai mabuk tak bisa ditoleransi. Saya selalu mendapatinya dan sepertinya tak pernah berakhir.
Bagaimana Anda mengatasi pemain yang membangkang?
Mengeluarkannya dari tim. Saya menjelaskan target tim dan meminta mereka menunjukkan kemampuan terbaik. Bila itu tak ditampilkan, tak ada tempat baginya. Silakan pulang dan sampai jumpa.
Anda sudah berpuluh tahun melatih sepak bola, apa filosofi dasar Anda sebagai pelatih?
Di sepak bola, menyerang adalah pertahanan terbaik. Filosofi ini terkenal dengan nama total football. Artinya, tim harus terus menyerang. Taktik ini butuh pemain dengan tenaga besar dan kebugaran prima.
Apakah kemampuan pemain Indonesia menunjang strategi Anda?
Pemain Indonesia tak sepenuhnya bagus dalam hal teknik. Bukan berarti timnas tak punya pemain berkemampuan tinggi. Namun, bila dibandingkan dengan Thailand, misalnya, kita masih kalah. Mereka punya kemampuan olah bola yang bagus.
Bicara tentang strategi, mengapa belakangan ini timnas mengandalkan bola panjang, padahal sebelumnya lebih banyak menerapkan umpan pendek?
Timnas menjadi punya alternatif taktik untuk menyerang lebih cepat dengan umpan panjang. Itu dilakukan demi memaksimalkan peran gelandang sayap.
Apakah taktik ini yang membuat gelandang tengah Evan Dimas, pemain muda paling berbakat kita, tersingkir ke bangku cadangan?
No, no, no. Evan Dimas adalah pemain yang sangat berbakat, tetapi dia tak cukup bertenaga. Sesederhana itu alasannya. Saya mengatakan kepadanya, "Dimas, kamu harus memperkuat kakimu." Dia memang tak akan tumbuh lebih tinggi, tapi ototnya masih bisa berkembang. Tubuhnya harus lebih berisi ketimbang yang sekarang. Soal talenta, dia tak perlu diragukan. Ia mampu mengoptimalkan kedua kakinya saat bermain.
Apa reaksi Evan Dimas saat Anda menasihatinya?
Dia sangat gembira dan mengucapkan terima kasih. Dimas adalah pemain muda yang amat bijak. Saya berharap ia mau menjalankan nasihat itu demi saya. Ketika meninggalkan negeri ini, saya akan tetap memantau perkembangan mereka.
Andik Vermansyah cedera di leg pertama dan absen di leg kedua partai final. Seberapa besar dampaknya?
Saya tak mengatakan bahwa jika dia bermain pada leg kedua, Indonesia bisa menjuarai turnamen. Andik adalah pemain yang bagus. Dia juga merupakan orang yang bisa memotivasi tim. Itulah alasan saya selalu senang memanggilnya ke timnas. Tapi Thailand memang lebih baik dari kita.
Bagaimana dengan cedera Irfan Bachdim—pencetak tiga gol di empat partai pemanasan praturnamen—di AFF 2016?
Absennya Irfan adalah masalah besar bagi timnas. Sebab, dia adalah starter tetap, khususnya di barisan penyerang. Sayangnya, ia mendapat cedera pada sesi latihan. Kejadian yang tak dapat dipercaya.... (Riedl menggeleng-gelengkan kepala.)
Tampaknya Anda kecewa terhadap cederanya Irfan....
Dalam sebuah sesi latihan, seharusnya pemain tak mendapatkan cedera. Cedera saat pertandingan adalah hal yang lumrah. Namun, sekali lagi, dalam sesi latihan menjelang turnamen, kejadian itu tak seharusnya terjadi.
Pemain kunci Anda cedera ketika manajemen Liga Indonesia hanya memperbolehkan Anda mengambil dua pemain per klub. Apakah Anda merasa mendapatkan skuad terbaik?
Tentu saja tidak. Bagaimana saya bisa mendapatkan pemain terbaik ketika hanya boleh memilih dua pemain? Ada beberapa klub yang punya tiga sampai empat pemain bagus. Aturan itu memberi dampak besar pada skuad.
Anda tak puas terhadap pembatasan itu?
Saya dapat memahami kondisi klub. Sebab, mereka juga sedang mengarungi turnamen yang cukup ketat. Mereka kehilangan pemain minimal sebulan bila pemainnya dipanggil Timnas. Saya harus berkompromi dengan regulasi tersebut. Namun, pada akhirnya, timnas tak bisa menjadi yang terbaik.
Ini soal lain. Bagaimana dampak pembekuan PSSI oleh FIFA terhadap persiapan Tim Garuda?
Tentu saja itu mempengaruhi penampilan timnas. Tanpa adanya pertandingan rutin, para pemain tak pernah berkumpul bersama, masuk kamp pelatihan jangka waktu pendek ataupun panjang. Efeknya sangat buruk.
Ke depan, Anda masih ingin menangani timnas?
Saya siap berbicara dengan PSSI, tapi bukan berarti bahwa saya menginginkan pekerjaan itu. Jika PSSI tak ingin membuka pembicaraan dengan saya, tak jadi masalah. Namun, bila mereka menginginkan saya menjadi pelatih timnas, mereka yang seharusnya memulai pembicaraan, bukan saya. (Di Tempo edisi 28 November-4 Desember 2016, Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi mengatakan tidak akan memperpanjang kontrak Riedl.)
Anda menjadi pelatih di era beberapa Ketua Umum PSSI, dari Nurdin Halid, Djohar Arifin, sampai Edy Rahmayadi. Apa perbedaan kepemimpinan mereka dan apa pengaruhnya buat timnas?
Djohar Arifin berbohong saat dia mengatakan saya tak punya kontrak sebagai pelatih pada 2011. Karena itu, saya mengadu ke FIFA. (Ketika terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin memberhentikan Riedl dengan alasan Riedl tak memiliki kontrak resmi yang ditandatangani PSSI.)
Sementara itu, Nurdin Halid yang membawa saya ke sini. Dia seseorang yang amat spesial karena mencoba meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia. Adapun Edy, menurut saya, bisa membawa perubahan. Dia punya kekuasaan untuk melakukan itu.
Karena Edy tentara?
Bukan itu. Dia membawa semacam angin segar bagi PSSI. Bersama Djoko Driyono, dia bisa mewujudkan perubahan itu.
Pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengundang timnas ke Istana Negara. Apa yang Anda perbincangkan?
Presiden mengatakan terima kasih. Hanya itu. Saya dan Presiden Jokowi tidak berbicara panjang. Pembicaraan saya dan Presiden bukan hal yang penting.
Namun Presiden Jokowi sempat berbicara banyak dengan para pemain....
Ya, betul. Presiden Jokowi memang menanyakan sesuatu kepada beberapa pemain. Mereka terlibat dalam sebuah diskusi kecil.
Apakah Anda melihat ada perbedaan perhatian dari Presiden Jokowi dibanding presiden sebelumnya soal dukungan kepada perkembangan sepak bola nasional?
(Nada bicara Riedl meninggi) Saya tidak tahu. Saya orang asing di negara ini, sehingga saya tak punya pendapat soal itu!
Alfred Riedl Tempat dan tanggal lahir: Wina, Austria, 2 November 1949 Karier sebagai pemain: n Klub l Austria Wien (1967-1972) l Sint-Truiden, Belgia (1972-1974) l FC Antwerp, Belgia (1974-1976) l Standard Liège, Belgia (1976-1980) l FC Metz, Prancis (1980) l Grazer AK, Austria (1981-1982) l Wiener Sportclub, Austria (1982-1984) l VfB Mödling, Austria (1984-1985) n Tim nasional l Austria (1975-1978) | Karier sebagai pelatih: l Palestina (2004-2005) l Vietnam (2005-2007) l Xi Mãng Hai Phòng FC, Vietnam (2008-2009) l Laos (2009-2010) l Indonesia (2010-2011) l Laos (2011-2012) l C.S. Visé, Belgia (2012-2013) l Indonesia (2013-2014) l PSM Makassar (2015) l Indonesia (2016) | Prestasi di Asia Tenggara: l Perempat final Piala Asia 2007 bersama Vietnam l Runner-up Piala AFF: bersama Vietnam (1998) dan Indonesia (2010 dan 2016) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo