Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Terbuka Lagi

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro berbicara ihwal kemungkinan-kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

5 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komnas HAM menyambut baik hasil dan rekomendasi Tim PPHAM.

  • Pengakuan Presiden Jokowi penting bagi para korban secara politik.

  • Komnas HAM berupaya menyepakati prosedur penyelidikan dengan Kejaksaan Agung.

PERNYATAAN Presiden Joko Widodo pada Rabu, 11 Januari lalu, yang mengakui telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, membuka harapan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Ada 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang disebut Presiden. Dia menyesalkan peristiwa-peristiwa tersebut dan berjanji memulihkan hak-hak para korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelesaikan kasus-kasus tersebut melalui jalur hukum selalu mentok. Bertahun-tahun laporan Komnas HAM hanya sampai di meja Kejaksaan Agung. Hanya kasus penembakan di Paniai, Papua, oleh tentara pada 2014 yang masuk ruang pengadilan. Itu pun terdakwa tunggal Mayor Infanteri Isak Sattu mendapat vonis bebas pada akhir 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski Presiden Jokowi tak secara eksplisit meminta maaf, banyak pihak yang menilai pengakuan dan penyesalan itu sudah mengandung dimensi permintaan maaf dari negara terhadap kejadian-kejadian kekerasan aparatur negara terhadap rakyatnya. "Suka atau tidak suka, pilihan kata 'menyesalkan' itu cerdik," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, di kantornya pada Selasa, 24 Januari lalu.

Pengakuan Jokowi itu keluar setelah ia menerima laporan akhir Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang memeriksa dan menganalisis 12 kasus pelanggaran HAM. Jokowi menugaskan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengawal penyelesaian di luar hukum pelanggaran-pelanggaran HAM berat di masa lalu tersebut.

Apa tanggapan Komnas HAM tentang rekomendasi Tim PPHAM?

Sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM. Presiden menyatakan penyesalan. Itu bentuk pengakuan yang penting bagi korban secara politik. Pengakuan politik ini penting karena ada sebagian pihak yang melihat korban sebagai bukan korban, tapi pelaku. Misalnya, dalam kerusuhan Mei, mereka disebut penjarah. Dalam kasus peristiwa 1965, mereka pemberontak. Pernyataan Presiden itu mengandung dimensi pemulihan secara publik.

Tapi Presiden tidak meminta maaf. Apakah itu krusial?

Kalimat atau kata "menyesalkan" itu secara implisit mengandung permintaan maaf. Tapi memang kurang to the point. Tentu ada pembacaan politik mengapa kata "menyesalkan" yang dipilih ketimbang "saya meminta maaf". Mungkin supaya bisa diinterpretasikan beragam oleh berbagai kelompok. Suka atau tidak suka, pilihan kata "menyesalkan" itu cerdik.

Apakah itu mengurangi signifikansi hasil Tim PPHAM?

Kritik besar terhadap Tim PPHAM itu karena ada harapan yang begitu besar. Saya sadar sejak awal Tim PPHAM diinginkan (pemerintah) sebagai upaya yang mungkin, minimalis, di tengah kebuntuan politik hukum dan politik hak asasi sekarang. Kalau kita berharap sesuatu yang luar biasa kepada Tim PPHAM, kita menempatkan ekspektasi pada mekanisme yang tidak tepat.

Kalau pemerintah serius, mengapa tak menyelesaikan secara yudisial?

Mekanisme keadilan seperti pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, itu mekanisme-mekanisme keadilan yang khas dari negara-negara yang mengalami transisi politik. Salah satu faktor yang menentukan mekanisme berjalan atau yang dipilih sangat ditentukan oleh dukungan politik terhadap mekanisme itu. Yang disebut transisi politik dalam konteks 12 pelanggaran HAM berat ini kan yang terjadi pada 1998. Tapi kondisi politik sekarang tidak lagi sama dengan 1998, ketika ide-ide mengenai keadilan transisi, penyelesaian pelanggaran HAM di masa otoritarian itu muncul dan bergaung dengan kuat. Sudah berbeda jauh dukungan politiknya.

Apa dampaknya terhadap proses yudisial?

Membuka kembali diskursus penyelesaian pelanggaran HAM berat yang kemarin tidak dibicarakan. Dengan pernyataan Presiden itu, publik dan institusi-institusi yang memiliki relevansi dengan penyelesaian yudisial bersikap alert lagi. Artinya, kita diajak bangun lagi karena ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Bolanya tidak bisa bergulir kalau kita diam saja. Salah satu rekomendasi atau permohonan kami kepada pemerintah, kepada Presiden serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, adalah mendukung koordinasi dan penguatan prosedur penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM berat, yang merupakan tanggung jawab Komnas HAM untuk penyelidikan dan Kejaksaan Agung untuk penyidikan. Itu momentum yang kami gunakan untuk mengingatkan. Kalau memang non-yudisial tidak meniadakan yudisial, kami juga menagih komitmen pemerintah (terhadap penyelesaian yudisial)

Apa yang akan dilakukan Komnas HAM?

Ketika kami bertemu dengan Kejaksaan Agung pada November 2022, kami sampaikan, mari kita perbaiki prosedur. Sejak awal kami melihat perlu ada koordinasi dan komunikasi yang efektif antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung agar ada standar yang bisa disepakati terkait dengan penyelidikan dan penyidikan yang selama ini buntu. Ketika kami bertemu Menkopolhukam pada November lalu, kami juga meminta agar Menko mendukung komunikasi kami dengan Kejaksaan Agung. Ketika kami bertemu Presiden, kami meminta agar kedua lembaga ini berkomunikasi lebih efektif sehingga ada perbaikan prosedur. Mudah-mudahan perbaikan prosedur itu bergulir kembali menuju mekanisme yudisial.

Apa tanggapan Jaksa Agung?

Jaksa agung positif. Tapi, ya, normatif. Kami berusaha mendekati Kejaksaan Agung melalui persoalan-persoalan yang teknis, yang prosedural, yaitu di mana kelemahan-kelemahan penyelidikan Komnas HAM. Apa yang sebetulnya diharapkan dari sebuah penyelidikan. Jadi kami ingin ada ruang bicaranya. Kalau tidak ada ruang bicara, bagaimana bisa ada kesepakatan mengenai standar prosedur penyelidikan dan penyidikan? Itu yang kelihatannya buntu di masa lalu.

Apakah ada catatan Kejaksaan soal kelemahan berkas penyelidikan Komnas HAM?

Ada catatannya. Tapi kebanyakan itu adalah hal teknis mengenai barang bukti, saksi, dan petugas yang mengambil kesaksian, yang melakukan penyelidikan. Buktinya cukup atau tidak untuk sebuah penyidikan bisa dilakukan. Dalam komunikasi selama ini, itu kan tugas penyidik melengkapinya.

Sementara Kejaksaan beranggapan sebaliknya?

Jadi bolak-balik. Berarti kan harus ada kesepakatan tentang penyelidikan yang cukup.

Bagaimana dengan kasus HAM berat yang sudah lewat?

Makanya kita harus duduk. Yang 12 kasus ini, bagaimana memperbaiki berkasnya? Harus duduk. Enggak bisa kemudian dilempar saja ke Komnas HAM untuk menyelesaikan sendiri dan nanti dikembalikan lagi. Nanti tetap kurang. Tapi itu juga harus realistis. Yang disebut penyelidikan tidak bisa sama dengan penyidikan.

Mungkinkah Komnas HAM menambal catatan Kejaksaan?

Sedang coba kami lakukan. Kami akan membedah beberapa berkas hasil penyelidikan dan menganalisis kenapa Kejaksaan Agung membuat catatan seperti ini.

Apakah prosesnya berjalan atau menunggu ada kesepahaman?

Kami mempelajari berkas dan berusaha mengevaluasi prosedur penyelidikan. Semuanya paralel. Kami memperbaiki prosedur tidak semata-mata untuk merespons pelanggaran HAM masa lalu. Kami harus mengantisipasi jangan sampai kebuntuan dalam prosedur ini terjadi lagi. Memang harus ada perbaikan mekanisme HAM yudisial. Bukan hanya Komnas HAM yang harus diperkuat, juga Kejaksaan Agung, pengadilan HAM, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro (tengah) saat rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Januari 2023/Antara/Rivan Awal Lingga

Perbaikan di LPSK tentang apa?

Pemulihan. Contohnya kasus Tanjungpriok. Dalam pengadilan tingkat pertama ada yang terbukti bersalah. Pengadilan mengeluarkan rekomendasi kompensasi (bagi korban). Lalu terdakwanya mengajukan permohonan banding dan dinyatakan bebas. Rekomendasi soal kompensasi itu kemudian hilang. Karena itu, dalam pernyataan Komnas HAM mengenai Tim PPHAM, kami menyebutkan agar keempat kasus yang sudah diadili melalui pengadilan HAM diikutsertakan dalam kebijakan pemulihan.

Putusan bebas itu mementahkan perihal pelanggaran HAM?

Yang tidak terbukti adalah siapa yang bertanggung jawab. Kan, korbannya ada. Korbannya enggak dinyatakan tidak ada. Yang tidak terbukti adalah pelakunya atau apa yang bertanggung jawab. Itulah keterbatasan yudisial. Ia hanya berkonsentrasi pada upaya pembuktian pelaku, bukan mengungkapkan apa yang dialami korban. Nah, mekanisme non-yudisial melengkapi aspek-aspek yang tidak ada di dalam yudisial.

Bagaimana ihwal dukungan politik?

Faktor politik tetap lebih menentukan daripada prosedur. Tapi justru karena itu penting Komnas HAM menjaga mekanisme ini. Agar ketika faktor politik itu mendukung, apa yang dilakukan Komnas HAM bisa digunakan untuk menghasilkan sesuatu bagi korban dan masyarakat. Misalnya, kasus Paniai. Kalau Komnas HAM abai terhadap tugasnya menyelidiki pelanggaran HAM berat, ketika faktor politiknya mendukung, enggak ada berkas penyelidikan yang memadai. Hasil pengadilan Paniai jelas tidak memberikan keadilan, tapi pengadilan Paniai menyebutkan terbukti ada pelanggaran HAM berat.

Anda menyampaikan apa saat bertemu dengan Presiden dan Menkopolhukam?

Mendapatkan dukungan dan mengingatkan. "Pak, yang ini mohon tidak dilupakan karena korban berharap ada mekanisme pengadilan." Adil bagi korban itu beragam. Ada korban yang (menganggap) pengadilan terlalu mewah. "Sudah, lah. Daripada tidak tercapai, saya dipulihkan namanya saja sudah cukup. Saya mendapatkan ganti rugi sudah cukup." Tapi ada yang mau pengadilan, mau ada pelurusan sejarah, dan kompensasi. Ada (yang menuntut) 100 persen, keadilan absolut, memulihkan korban pada posisinya sebelum terjadinya kekerasan. Istilahnya "restitutio in integrum". Jadi, kalau mereka merasa Tim PPHAM tidak cukup, pengadilan tidak cukup, semuanya tidak cukup, itu hak mereka.

Bagaimana dukungan politik terhadap Komnas HAM sekarang?

Kadang-kadang kita enggak perlu menunggu ucapan untuk bisa membacanya. Selama mereka menyatakan akan mendukung Komnas HAM, untuk memperkuat penyelidikan Komnas HAM, itu sebuah tanda bahwa sebuah kasus belum atau tidak akan dihilangkan.

Bagaimana kondisi pengadilan HAM kita dewasa ini?

Dalam prosedur hukum acara memang ada ekspektasi yang berbeda antara pidana HAM dan pidana umum. Dalam hukum acara pidana umum bukti-bukti sangat ketat, saksi, barang bukti, visum, dan sebagainya. Sementara pengadilan HAM dibentuk untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan prosedur hukum. Kasus 1965, Tanjungpriok, Talangsari, penembakan misterius, Aceh, itu satu peristiwa masif, sementara hakim mengadili sesuatu yang spesifik, kasus per kasus. Ya, tidak muat kalau pelanggaran HAM yang besar, sistematis, dan meluas mau ditempatkan dengan kerangka hukum pidana seperti itu.

Hukum pidana umum mengadili orang secara individual sebagai penanggung jawab, sedangkan tujuan pengadilan HAM membuktikan tanggung jawab negara, yang hadir dalam bentuk orang-orang yang memiliki otoritas. Ada sistem, hierarki, komando yang bekerja dalam kasus-kasus kekerasan. Maka di pengadilan selalu ada kesulitan membuktikan motif orang, terutama karena yang dijadikan tersangka orang-orang di lapangan. Membuktikan bahwa ada motif, mens rea-nya apa? Orang-orang di lapangan itu enggak ada motif pribadi sehingga dia tidak terbukti bersalah. Kalau dia tidak terbukti bersalah, bagaimana komandan atau atasannya? Maka konsep pengadilan HAM harus betul-betul dipahami kejaksaan dan pengadilan. Selama pemahamannya tidak sejalan dengan konsep pengadilan HAM, selamanya akan selalu ada masalah teknis. Selamanya juga pengadilan HAM bergantung kepada politik, bukan prosedur.

Sementara prosedur hukum acaranya tidak mendukung?

Ya. Masih memakai hukum acara pidana biasa. Sebenarnya, dalam mekanisme HAM internasional, pengadilan HAM itu mengadili negara. Dia ada di atas negara. Kalau ini negara mengadakan pengadilan untuk mengadili dirinya. Tentu banyak komplikasi. Di Amerika Latin, ada Inter-American Court on Human Right, pengadilan yang mengadili negara-negara Amerika Latin. Uni Eropa punya European Court. Kalau negara mengadili dirinya sudah pasti sulit.

Masih ada harapan?

Waktu transisi kami untuk memutus dengan masa lalu terlambat. Sekarang sudah berlarut-larut, sudah kompleks. Antara pelaku dan korban itu berkelindan. Yang disebut korban juga sekarang ada di kekuasaan. Yang disebut pelaku juga ada yang membela korban. Idealnya, mekanisme keadilan transisi itu dilakukan secara cepat. Makanya dulu Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) mengusulkan pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Itu konteksnya supaya pertentangan-pertentangan di masa lalu segera dibereskan.

Komnas HAM juga merintis jeda kemanusiaan di Papua melalui nota kesepahaman (MoU) di Jenewa, Swiss.

Kami mengetahui ada jeda kemanusiaan pada 23 November setelah kami bekerja sepuluh hari. Ketika kami menerima berkas itu, ada penjelasan sedikit dari komisioner lama. Tapi sebagai komisioner baru kami memiliki beberapa pertanyaan (baca artikel jeda kemanusiaan Papua di tautan ini).

Apa pertanyaannya?

Kenapa Komnas HAM mengambil peran itu? Pertemuan di Jenewa itu ada dimensi internasionalnya. Apakah kewenangan Komnas sejauh itu? Jeda kemanusiaan itu ditandatangani pada 11 November 2022 ketika masa jabatan komisioner lama sudah habis. Jadi legalitasnya patut dipertanyakan. Juga ada ambiguitas apakah Komnas HAM mewakili pemerintah atau dirinya sendiri? Itu juga samar-sama. Setelah kami pelajari, ternyata yang disebut jeda kemanusiaan adalah perjanjian menangani persoalan di wilayah Maybrat, tempat terjadi pengungsian. Nama jeda kemanusiaan seolah-olah perjanjian Helsinki untuk Aceh, padahal enggak. Itu kesepakatan agar Komnas HAM mendorong penyelesaian pengungsi di Maybrat.

Apa penjelasan komisioner lama?

Kami bingung mengapa Komnas HAM menjadi pihak di dalam MoU karena Komnas HAM tidak berkonflik dengan masyarakat Papua.


Atnike Nova Sigiro

Tempat dan tanggal lahir: Medan, 24 April 1976

Pendidikan

  • S-1 Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
  • S-2 Kebijakan Sosial dan Pembangunan London School of Economics and Political Science London University, London, Inggris, 2007
  • S-3 Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia, 2018

Pekerjaan

  • Asisten Program Pelanggaran Hak Asasi Manusia Masa Lalu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2000-2002
  • Koordinator Program Kampanye HAM ELSAM, Jakarta, 2002-2010
  • Manajer Program Departemen Advokasi ASEAN Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia), 2010-2012
  • Manajer Program Departemen Advokasi ASEAN dan Asia Timur Forum-Asia, 2013-2017
  • Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, 2019-2021
  • Pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina, 2010-sekarang
  • Ketua Komnas HAM, 2022-sekarang
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus