Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Rudy Hartono: ”Sebutan Cina Kurang Enak didengar”

19 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nio Hap Liang bukan nama yang mendatangkan ingatan tertentu bagi Indonesia, tapi Rudy Hartono? Dijamin, sebagian besar penduduk negeri ini akan mengangguk bila ditanya kenalkah mereka pada nama itu. Tak banyak yang tahu, memang—bahkan di kalangan mantan atlet bulu tangkis sekalipun—bahwa Rudy Hartono tadinya bernama Nio Hap Liang.

Hujan lebat sore itu, Kamis pekan lalu. Sehabis menjadi volunter pada turnamen golf internasional di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, maestro bulu tangkis itu mengenang bagaimana pada 1967 dia memutuskan untuk mengganti nama pada usia 18 tahun. ”Ini untuk mempercepat pembauran seperti disarankan pemerintah,” ujarnya kepada Tempo.

Majalah Time menobatkan Rudy Hartono sebagai salah satu Asian Hero. Di mata banyak orang yang mengenalnya, dia bukan hanya bintang olahraga, tapi juga tokoh di bidang pembauran. Rudy yang supel dalam pergaulan lintas suku, siapa sangka menyimpan sejumlah uneg-uneg dalam urusan pembauran. Bagi dia, persoalan penerimaan identitas warga keturunan Tionghoa di Indonesia belum tuntas benar.

Wajahnya berubah serius ketika pembicaraan menyentuh masalah kebijakan pemerintah. Ia tampak gelisah. Sembari menyorongkan badan ia berulang kali menumpangkan kaki kiri ke kaki kanan atau sebaliknya. Ayah dua anak itu berpendapat bahwa pemerintah perlu menjaga kondisi yang sudah stabil sehingga tidak keluar lagi kebijakan-kebijakan yang membuat warga Tionghoa merasa seperti dianaktirikan.

Ketika wartawan Tempo Herry Gunawan mengajaknya ke obrolan perihal kerusuhan Mei 1998, wajah lelaki 58 tahun itu menjadi muram. Dia bercerita, masih banyak warga keturunan Tionghoa yang belum mau kembali ke Indonesia lantaran belum merasa aman.

Suasana baru mencair saat obrolan kembali rileks membicarakan kemeriahan pesta Imlek. Rudy sumringah. Ia mengharapkan warga keturunan Tionghoa memanfaatkan momentum ini untuk berbaur. ”Walaupun kita sadari sulit mereka melupakan trauma,” ujarnya.

Berikut ini petikan perbincangannya.

Apakah Imlek memiliki makna khusus bagi Anda?

Bagi saya, Imlek adalah waktu yang memberikan kebahagiaan. Bisa bertemu keluarga, saling memaafkan, berkumpul dengan teman-teman. Apalagi, Imlek sekarang tidak seperti dulu. Saat ini sudah ada pengakuan resmi dari pemerintah terhadap hari raya Imlek. Ini yang membuat suasana berbeda. Tidak ada lagi rasa sungkan. Di mal-mal pun dirayakan. Ada barongsai, lampion-lampion….

Jadi, pengakuan ini penting sekali?

Ya, ini kemajuan yang besar. Terutama bagi kami warga Tionghoa, ini menjadi pemicu untuk mendarmakan bakti lebih banyak lagi kepada bangsa.

Sebelumnya, apa yang Anda rasakan?

Saya merasa seakan-akan diakui, tapi juga tidak.

Menurut Anda, apakah peran pemerintah dalam soal pembauran kini sudah cukup?

Kami akan melihat apakah pemerintahan sekarang konsisten menjaga ini (persamaan). Bukan apa-apa. Sejak kerusuhan Mei 1998, banyak warga yang melarikan diri ke luar negeri. Mereka merasa tidak diterima di rumah sendiri. Diserbu; keluarganya diperkosa.. Mereka menyelamatkan diri karena takut.

Ini bukan soal tidak adanya nasionalisme pada diri mereka. Ketika itu, semua orang takut. Untuk menghapus perasaan yang mereka terima, perlu waktu bertahun-tahun. Kita tidak bisa memaksakan. Karena itulah, peran pemerintah amat penting agar semua warga negara merasa sama. Pemerintah harus membuat warganya betah tinggal di rumahnya.

Tanpa kerusuhan Mei 1998 pun, bukankah banyak warga Tionghoa yang hidup eksklusif di Indonesia?

Ya, mereka yang belum mau membaur lantaran belum merasa nyaman. Biarlah. Jangan ditekan. Orang-orang yang hidup eksklusif itu harus diajak terlibat lebih banyak kegiatan, misalnya olahraga. Lama-lama mereka akan sadar. Kepada warga Tionghoa, saya mengatakan, sadarilah ini Tanah Air kita. Kalaupun ada kejadian-kejadian terdahulu, harus bisa memaafkan agar muncul kelegaan. Jangan lagi ada sakit hati.

Apa pendapat Anda tentang warga Tionghoa kita yang masih merasa dirinya warga negeri Cina dan bukan Indonesia?

Memang benar bahwa masih ada yang berpikiran mereka adalah warga negeri Cina dan tetap akan kembali ke tanah leluhurnya. Tapi, menurut saya, itu bisa berubah, tergantung kondisi tempat dia tinggal dan tergantung ajakan (dari pemerintah dan warga). Seperti Singapura, di sana yang tinggal multirasial. Warga di sana merasa nyaman karena negaranya aman.

Maksud Anda betah atau tidaknya warga Tionghoa di sini sangat tergantung pada peran pemerintah?

Ya. Suasana aman adalah daya tarik bagi siapa pun. Bukan hanya kita, tapi juga investor yang mau menanamkan modal. Kami tidak ingin diistimewakan, tapi kami juga berharap jangan sampai, misalnya, ada pengkotak-kotakan dalam mendapatkan kartu tanda penduduk atau paspor.

Memangnya Anda sendiri masih merasa tidak aman?

Kalau saya sih merasa aman. Bagi saya, rasa aman harus diciptakan pada diri sendiri. Tapi tugas pemerintah, menurut saya, adalah harus tegas memberikan perlindungan hukum dalam rasa aman.

Mengapa banyak warga Tionghoa yang tidak suka disebut Cina?

Sebutan Cina itu kurang enak didengar. Misalnya, ”Cina, lu.” Ini kan nada yang tidak enak. Sedangkan sebutan Tionghoa lebih merakyat dan enak didengar. Buat saya pribadi sebenarnya tidak ada masalah dengan sebutan itu. Yang penting kan perilakunya.

Anda sendiri pernah di-Cina-Cina-in?

Kalau di-Cina-Cina-in sih nggak pernah. Semua orang kan tahu saya, baik sejak remaja hingga sekarang.

Sejak kapan Anda menyadari diri sebagai orang Tionghoa?

Sejak kecil. Saya ganti nama sekitar usia 18 tahun. Ini saya lakukan mengikuti anjuran pemerintah. Saya secara pribadi ingin mempercepat terjadinya pembauran.

Apakah itu yang menyebabkan anak-anak Anda tidak menyandang nama Tionghoa?

Bagi saya, nama punya makna. Contohnya pada anak saya, nama depan dua-duanya ada Chris. Chris itu kan maksudnya taat pada Kristus. Itu nama permandian. Kalau akhirnya kebarat-baratan, ya ini masalah selera.

Wah, Anda tampaknya orang religius juga. Bagaimana Anda menentukan pilihan agama yang Anda anut sekarang?

Awalnya hanya ikut tradisi dari orang tua saya yang menganut agama Kristen. Lama-kelamaan saya mengerti, ternyata agama memang perlu sebagai pegangan dalam hidup.

Selain tradisi Imlek, ada ritual lain dari leluhur yang Anda jalani?

Tidak. Perabuan pun saya tidak punya. Agama saya melarang hal itu. Namun, saya tetap menghargainya. Bagi saya, penghargaan terhadap orang tua bukan dari menyimpan abunya, sementara, misalnya, semasa hidupnya tidak pernah orang tua disenangkan.

Anda setuju kawin campur?

Ya, biarkanlah orang menikah antarsuku atau agama. Ini kan mempercepat pembauran. Tapi cinta kan tidak bisa dipaksa.

Tapi mengapa Anda sendiri memilih istri dari etnis Tionghoa?

Haha… ada alasannya. Pertama, karena tidak bisa menikah dengan beda agama. Kedua, saya sebagai anak yang taat pada orang tua, ya mau saja dijodohkan. Kebanggaan saya adalah ketika bisa berbakti atau taat pada orang tua—kita akan diberkati. Lagi pula, ketika disodorkan, ”Nih, cocok tidak?” Saya bilang, cocok. Tidak ada pilihan orang tua yang jelek. Mereka kan tahu asal-usul keluarganya. Tapi anak-anak saya bebaskan memilih. Asal jangan sampai calonnya tidak beragama.

Presiden Soekarno ketika masih memimpin negara ini pernah mengungkapkan bahwa Tionghoa merupakan salah satu suku di Indonesia. Masih perlukah pengakuan seperti ini?

Kalau ada pengakuan seperti itu, kami senang sekali. Pemerintah juga tidak ada ruginya. Pengakuan ini akan memberikan dampak yang amat bagus. Toh, warga Tionghoa sudah banyak yang berperan di Indonesia, dari olahraga, bisnis, sampai pemerintahan. Mereka kan juga cinta Indonesia. Anak saya saja yang sekolah di Amerika mau balik ke sini.
Rudy Hartono Kurniawan

Nama lahir: Nio Hap Liang

Tempat/tanggal lahir: Surabaya, 18 Agustus 1949

Agama: Kristen Protestan

Pendidikan: Sarjana Muda Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti

Penghargaan: Asian Hero 2006,dari majalah Time

Istri: Jane Anwar

Anak: Christopher Kurniawan dan Christine Natalia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus