Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada enaknya mendekam di penjara. Ada perasaan campur aduk antara pasrah menerima hukuman dan dendam kepada para penegak hukum. Perasaan seperti itu biasanya ada pada narapidana. Apalagi pada level yang pendidikannya kurang. Mereka dendam kepada ”simbol-simbol” yang menyebabkan mereka berada di penjara, yaitu polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, dan hakim sebagai pemutus keadilan.
Jika berpegang pada dalil itu, apa yang dilakukan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto ada benarnya. Sutanto melakukan intervensi ketika mantan anak buahnya, Komjen Suyitno Landung, dieksekusi. Suyitno, yang pernah menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal dengan tiga bintang di pundaknya, tidak digiring ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, tetapi dibawa ke rumah tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok. Alasannya, untuk menjamin keselamatan terpidana.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awalu-din memberikan izin untuk Suyitno Landung menghuni ”penjara khusus”. Bahkan Hamid menambahkan dengan cerita lebih seram, bahwa memang sering terjadi penyiksaan fisik terhadap polisi di penjara yang dilakukan oleh narapidana yang merasa dendam, umumnya yang tersangkut perkara kriminal. Sayang, Menteri tak menyebut seberapa banyak penyiksaan itu dan di penjara mana hal itu terjadi. Bukankah Samuel Ismoko, perwira polisi dalam kasus yang sama dengan Suyitno Landung, sehat-sehat saja setelah dilepas dari penjara dan tak pernah terdengar disiksa?
Perlakuan yang berlebihan untuk Suyitno Landung ini menyebabkan ada diskriminasi yang memperburuk citra hukum. Kalau ini dijadikan pembenaran, bisa jadi akan muncul intervensi dari Kejaksaan Agung dan Ketua Mahkamah Agung manakala ada jaksa dan hakim yang masuk penjara karena tindak pidana. Jaksa yang berstatus terpidana akan menjalani hukuman di rumah tahanan kejaksaan. Lalu, apa perlu di setiap pengadilan negeri dibuat ”rumah tahanan hakim”? Ini sangat mengada-ada. Bagaimana nanti menjelaskan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu? Apakah ”bulu” itu melihat instansi dan menimbang jabatan? Langit akan runtuh, begitu pakar hukum mencela.
Sejatinya, kekhawatiran Kepala Kepolisian dan Menteri Hukum bahwa akan terjadi penyiksaan fisik di penjara sudah lama diantisipasi kepala penjara masing-masing. Itu sebabnya, kepala penjara tidak seenaknya menaruh terhukum seperti kernet angkutan kota menaruh penumpang. Ada blok-blok dengan ”keistimewaan” masing-masing, dengan tingkat keamanan yang berbeda. Ada blok untuk kasus pencurian ringan dan berat. Ada blok untuk kasus narkotik, ada blok untuk kasus ”tahanan politik”, meski secara resmi istilah ini tak lagi dipakai. Bahkan, untuk terpidana mati pun, ada blok isolasi, siapa tahu terpidana itu mengamuk karena toh hukumannya mati. Jadi, seandainya Suyitno Landung mendekam di penjara biasa, rasanya tak mungkin kepala penjara akan menaruh jenderal bintang tiga itu satu sel dengan pencuri kambing.
Alasan Menteri Hukum bahwa LP Cipinang sudah penuh juga mengada-ada, seolah Pak Menteri tak tahu ilmu bumi. Tak hanya di Cipinang, semua penjara di Indonesia terbuka untuk Suyitno. Tapi bukan penjara di kompleks Brimob, karena terpidana dan penjara berada dalam satu lembaga. Ini sumber diskriminasi, jangan-jangan Jenderal Suyitno Landung tak menghuni sel, tetapi menjadi ”komandan bayangan”. Bagaimana orang luar mengontrol?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo