Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRODUKSI minyak dan gas bumi Indonesia terus menurun, sementara konsumsi terus meningkat. Hingga akhir semester pertama tahun ini, realisasi produksi siap jual (lifting) migas mencapai 1,81 juta barel setara minyak per hari. Realisasi tersebut mencapai 86 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019.
Untuk minyak, misalnya, produksi pada 2017 hanya 838 ribu barel per hari. Padahal konsumsinya mencapai 1,69 juta barel. Sedangkan pada 2018, dengan produksi hanya 808 ribu barel per hari, tingkat konsumsi mencapai 1,78 juta barel per hari. Selama semester I 2019 tercatat minyak siap jual anjlok 3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi 745 ribu barel per hari.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengakui target lifting migas turun antara lain karena mayoritas sumur di blok-blok yang selama ini menjadi andalan Indonesia sudah berumur di atas 25 tahun. Menurut dia, tak gampang mengeluarkan minyak dari sumur tua. “Turun 3 persen dibanding 2018 itu enggak jelek. Sebab, kalau enggak ada usaha sama sekali, bisa turun sampai 20 persen,” kata Dwi dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantor SKK Migas, Menara Mulia, Jakarta, Selasa, 30 Juli lalu.
Kepada wartawan Tempo, Retno Sulistyowati, Sapto Yunus, dan Nur Alfiyah, Dwi, yang dilantik menjadi Kepala SKK Migas pada Desember 2018, menjelaskan soal defisit produksi dan lifting migas, keputusan memenangkan konsorsium untuk mengelola Blok Corridor, juga kesepakatan terbaru antara pemerintah dan Inpex Corporation di Blok Masela. Wakil Kepala SKK Migas saat itu, Sukandar, dan Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffe Arizon Suardin mendampingi Dwi dan ikut menjawab sejumlah pertanyaan Tempo. Sukandar, yang memasuki masa pensiun, digantikan Fatar Yani Abdurrahman pada Senin, 12 Agustus lalu.
Mengapa realisasi produksi siap jual migas tahun ini masih turun?
Salah satunya karena sekitar 64 persen sumur berumur di atas 25 tahun. Susah mengeluarkan minyak dari sumur tua. Misalnya di Blok Rokan yang dikelola Chevron Pacific Indonesia, 98 persen itu yang keluar air. Lalu ada kelebihan suplai di daerah Sumatera Selatan karena serapan dari pasarnya, Singapura, agak kurang bagus. Di Blok Kangean, karena proyek semester pertama terlambat, produksi rata-rata rendah. Adapun di Blok Husky Madura Strait ada fasilitas yang tertunda.
Ada penyebab lain?
Di Pertamina Hulu Kalimantan Timur ada kendala market. Kami terpaksa memotong produksi dua bulan lebih karena Pertamina mengembalikan sebelas kargo yang seharusnya dipakai PLN. PLN mendadak tidak mengambil. Itu disampaikan kepada kami dalam waktu yang sangat mepet. Karena itu, kalau kami jual, kargo yang dikembalikan ini akan menjadi distress cargo, harganya sangat jatuh. Dan yang turun besar itu di Pertamina Hulu Mahakam, sampai 80 persen.
Mengapa realisasi produksi siap jual migas PT Pertamina Hulu Mahakam turun begitu besar?
Pertama, transisi yang tak mulus (dari Total E&P Indonesie ke Pertamina Hulu Mahakam). Kontraktor yang lama habis kontraknya awal 2018, sedangkan keputusan penunjukan Pertamina sudah ada sejak 2016. Harapannya, transisi sudah terjadi pada 2017. Tapi, mungkin karena waktu itu investor lama masih berharap, ternyata tidak diberi kesempatan lagi. Transisinya tidak mulus sehingga produksi pada 2018 turun. Harapannya pada 2019 naik, tapi ternyata semester pertama masih belum mengangkat.
Apa yang harus dilakukan Pertamina untuk meningkatkannya?
Investasi di Hulu Mahakam harus ditingkatkan. Ini sudah menjadi wilayah kerja Pertamina sehingga Pertamina-lah yang punya kewajiban melakukan eksploitasi. Kami menganalisis potensi Mahakam seperti apa, kami diskusikan dengan mereka. Dengan potensi ini, mereka harus berinvestasi. Kalau enggak ada investasi, ya enggak mungkin produksi bisa optimal.
Dengan penurunan tersebut, apakah ada penurunan target pada tahun depan?
Ya, kami masih berusaha agar bertahan pada 3-4 persen.
Tahun-tahun berikutnya bagaimana?
Sampai kira-kira empat tahun ke depan, yang bisa kami lakukan hanya bertahan dulu.
Apa yang dilakukan supaya produksi tahun depan tidak terus turun?
Kami membantu kontraktor mempercepat produksi di wilayah yang tadinya cadangan. POD-nya (plan of development atau rencana pengembangan) dibagi-bagi menjadi beberapa pun enggak apa-apa. Pokoknya apa saja usaha yang bisa dipakai untuk mempercepat sumber daya bisa berproduksi. Ini yang menjadi tumpuan kami sampai 2023 dan mungkin 2024.
Bagaimana dengan metode injeksi atau enhanced oil recovery (EOR), yang bisa mengoptimalkan kinerja sumur lama? Apakah juga dilakukan?
Kami berharap EOR bisa masuk pada 2023. Baru kemudian eksplorasi.
Jaffe Arizon Suardin: EOR dan eksplorasi itu volumenya besar, tapi waktunya agak panjang. Butuh antara lain uji coba lapangan.
Belajar dari Blok Mahakam, bagaimana agar produksi di wilayah kerja lain yang akan berganti kontraktor tak menurun signifikan?
Sebaiknya perpindahan ini, bila dimungkinkan, mengikutkan operator lama. Meskipun bukan lagi operator, paling tidak mereka memiliki kepentingan. Mereka mendapatkan imbal balik supaya transisi berjalan baik. Ada pembagian berapa persen, secara bertahap. Kalau langsung putus seperti kejadian di Mahakam itu, mereka tak memiliki kepentingan agar transisi berjalan baik.
Apakah karena alasan ini pemerintah memilih konsorsium yang melibatkan operator lama, ConocoPhillips (Grissik) Ltd, untuk mengelola Blok Corridor di Sumatera Selatan ketimbang memberikannya ke Pertamina dalam kontrak yang baru?
Ini menjadi salah satu pertimbangan. Sebab, kalau kami mau mempertahankan produksi dan lifting nasional migas tetap baik, ya alih kelola ini harus berjalan baik.
Hanya itu dasar pertimbangannya?
Dalam proses penawaran, siapa yang memberikan penawaran terbaik, itulah yang ditetapkan menjadi pemenang. Dalam hal ini, penawaran secara bersama Pertamina (Pertamina Hulu Energi Corridor), Repsol (Talisman Corridor Ltd), dan ConocoPhillips ini yang terbaik.
Sukandar: Dasar pemilihannya yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi negara.
Apa saja manfaat yang dimaksud?
Manfaat itu bisa dilihat dari nilai signature bonus (bonus tanda tangan), komitmen kerja pasti, karena akan mempengaruhi seberapa besar investasi mereka ke depan. Juga smoothness transisi ini, perpindahan dari operator lama ke operator baru. Dari pertimbangan itulah pemerintah menetapkan konsorsium tersebut yang menjadi pemenang.
Jaffe: Blok Corridor ini tipenya fractured basement (rekahan batuan dalam). Di Indonesia, belum banyak yang memproduksi dengan tipe ini. Blok Corridor ini yang terbesar. Keterlibatan yang berpengalaman sangat dibutuhkan.
Lalu apa yang mereka tawarkan saat mengajukan proposal sendiri-sendiri dan saat bersama-sama?
Saat mengajukan sendiri-sendiri, awalnya ConocoPhillips mengajukan hak partisipasi pengelolaan 45 persen, Repsol 36 persen, Pertamina 10 persen. Kemudian mereka mengajukan penawaran bersama, ConocoPhillips menjadi 46 persen, Repsol 24 persen, dan Pertamina naik tiga kali lipat menjadi 30 persen. Mereka menawarkan signature bonus US$ 250 juta dan komitmen kerja pasti US$ 250 juta. Soal operatorship masih dipegang ConocoPhillips sampai tiga tahun setelah jatuh tempo. Kemudian baru Pertamina yang memegang sampai masa habis kontrak, 20 tahun setelah 2023.
Bagaimana dengan pembagian dana bagi hasil ke daerah? Apakah semuanya dari Pertamina?
Enggak. Nanti ConocoPhillips dikurangi 4,6 persen, Pertamina dikurangi 3 persen, Repsol dikurangi 2,4 persen sehingga total 10 persen.
Bagaimana prospek Blok Corridor ke depan?
Blok Corridor diharapkan menjadi produsen gas. Sekarang menjadi blok kedua terbesar setelah Blok Tangguh, yang dikelola BP. Fasilitasnya juga bisa mendukung blok di sekitarnya karena sudah ada fasilitas pemurnian gas sebelum dijual, supaya invetasinya tak besar. Maka Repsol, yang mengelola Blok Sakakemang (tak jauh dari Blok Corridor), punya kepentingan tetap ikut dalam konsorsium. Sinergi di bidang aset ini yang sedang kami coba kembangkan. Dengan penggunaan fasilitas oleh yang lain, karena skema bagi hasil dengan pemerintah gross split, ya mungkin ada pembayaran sewa. Tapi paling enggak negara tak terbebani oleh investasi tambahan untuk fasilitas blok-blok di sekitarnya karena ini juga masuk cost recovery (pengembalian biaya operasi).
Lalu, untuk Blok Rokan, apa yang membuat pemerintah memilih Pertamina ketimbang operator lama, PT Chevron Pacific Indonesia?
Sukandar: Mereka memberikan penawaran signature bonus US$ 784 juta, terbesar sepanjang sejarah.
Dwi: Itu komitmen mereka untuk memenangi persaingan dengan Chevron, bukan dipaksa. Asalkan nanti jangan minta turun komitmennya. Mereka harus membuktikan. Tugas kami mengawasi.
Sampai 2020, Rokan masih dipegang Chevron. Bagaimana proses transisi dari Chevron ke Pertamina?
Sedang dalam perundingan polanya seperti apa. Saat ini masih alot. Ini business to business sehingga kami tak bisa memaksa. Kami mengkoordinasi agar transisi ini berjalan baik. Kami khawatir, kalau transisi ini tak segera disepakati, imbasnya produksi pada 2020 dan 2021 menurun. Sedangkan untuk mengangkat kembali akan susah. Mudah-mudahan segera selesai.
Pemerintah juga baru menyetujui proposal rencana pengembangan Blok Masela dari Inpex Corporation. Apa persyaratan dari Inpex yang disetujui?
Yang pertama, penggantian waktu yang hilang akibat perubahan skema pengembangan dari lepas pantai menjadi kilang gas alam cair (LNG), disetujui tujuh tahun. Rencana fase pertama yang berakhir pada 2028 berubah menjadi 2035. Setelah itu, dari 2035 menjadi 2055. Lalu IRR (internal rate of return atau nilai pengembalian investasi bagi kontraktor) sebanyak 15 persen juga disetujui. Untuk proyek di hulu, ini tergolong nilai pengembalian yang low profile. Hulu itu penuh ketidakpastian. Biasanya angka IRR-nya tinggi sehingga, kalau meleset, masih di level yang ekonomis. Sebagai komparasi, Blok Cepu, yang onshore, dengan risiko jauh lebih ringan daripada yang offshore, IRR-nya 37 persen; ENI Muara Bakau yang sama-sama di laut dalam, 18 persen; BP Tangguh 20 persen.
Dwi Soetjipto di kantor SKK Migas, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, 30 Juli 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dengan penambahan waktu tujuh tahun, kapan Inpex bisa mulai berproduksi?
Pada 2027. Tak boleh mundur lagi. Kenaikan atau penurunan biaya proyek paling besar itu dipengaruhi waktu. Kalau bisa dipercepat, dampaknya akan besar. Maju atau mundur setahun bisa bertambah atau berkurang sekitar US$ 700 juta. Makanya, saat pelaksanaan kerja sama antara SKK Migas, Inpex, dan Royal Dutch Shell (masuk konsorsium Inpex), kami memperketat pengawalan. Kalau biaya proyeknya dapat ditekan, bagi hasil untuk pemerintah bisa naik.
Pemerintah akan mendapat bagi hasil berapa persen?
Minimum 50 persen. Kalau kami bisa menurunkan biaya pengembangan dari US$ 19,8 miliar, bagi hasil untuk pemerintah akan naik, bisa sampai 58 persen.
Setelah kesepakatan ini, apa tantangan untuk Blok Masela?
Investasi di Indonesia selalu berhadapan dengan masyarakat. Harus diawali dengan masuk yang mulus. Jadi kegiatan-kegiatan lingkungan harus dilakukan jauh sebelum proyek tersebut ramai. Kalau masuknya bagus, diharapkan saat pelaksanaan proyek juga lancar. Sampai sekarang keadaannya aman.
Ada tim khusus untuk menangani Blok Masela?
Iya, sudah kami rancang, orangnya sudah. Tahap saat ini adalah persiapan di lapangan dan sosialisasi dengan pemerintah daerah serta masyarakat. Dari sisi pasar, Inpex akan mencari pembeli. Komitmen dari pembeli penting karena, kalau belum yakin pembelinya sudah ada, proyek ini tak akan berjalan. Juga mulai mendesain proyek itu dan melihat masalah pembiayaan. SKK Migas akan melihat mana yang akan berpengaruh pada biaya.
Ada yang ragu Anda bisa mengepalai SKK Migas karena Anda sudah tidak muda lagi. Pembelaan Anda?
Tua dan muda itu tidak ditentukan hanya oleh angka usia, tapi juga produktivitas dan hasil karya atau kinerjanya. Dalam hal ini, orang lain yang menilai. Pak Mahathir Mohamad (Perdana Menteri Malaysia) saja pada usia 94 tahun bisa menjadi kepala pemerintahan, kok. Dan saya masih bisa bergerak lebih cepat daripada kawan-kawan yang berusia 40-50-an tahun.
Apa yang membuat Anda bisa bergerak lebih cepat dibanding yang lebih muda? Berkat olahraga?
Saya pikir demikian. Tapi, dalam hidup, harus seimbang antara olahraga, olah pikir, dan olah rasa. Dan, karena itu, alhamdulillah, saya masih bisa bekerja di kantor SKK Migas sejak pukul 07.00 hingga 21.00 rata-rata setiap hari. Ditambah kunjungan ke lapangan tiap akhir pekan.
Apa olahraga Anda?
Saya rutin berolahraga sejak masih kecil. Dulu saya atlet silat Jawa Timur dan menjadi juara nasional silat di salah satu kelas. Sampai sekarang saya masih rutin berlatih dan melatih silat, bahkan menjadi ketua umum salah satu perguruan pencak silat di Indonesia. (Dwi Soetjipto menjabat Ketua Umum Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri periode 2015-2019.)
Olahraga selain silat?
Sekarang saya juga rutin bersepeda ke tempat kerja dan saat akhir pekan dengan target sekitar 100 kilometer per minggu. Saya juga rutin bermain tenis dua kali seminggu. Kalau ada kesempatan lowong, saya juga lari. Saya pun masih bisa push-up 30 kali dan sit-up 60 kali, he-he-he…. Rasanya tiada hari tanpa olahraga. Untuk menjaga kebugaran fisik, faktor penting adalah pola pikir menikmati dan mencintai tugas atau pekerjaan yang diamanahkan.
Dwi Soetjipto
Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 10 November 1955
Pendidikan: Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (1975), Magister Manajemen Universitas Andalas, Doktor bidang ekonomi di Universitas Indonesia
Karier: Direktur Penelitian dan Pengembangan Semen Padang (1995-2003), Komisaris Utama PT Igasar (1998-2003), Direktur Utama Semen Padang (2003-2005), Direktur Utama PT Semen Gresik Tbk (2005-2014), Direktur Utama PT Pertamina (Persero) (2014-2017), Kepala SKK Migas (2018-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo