Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekujur tubuhnya penuh tempelan gambar mini dengan citraan kuda pasola, kubur batu, tenun Sumba, dan sabana. Pada patung itu terdapat lubang yang berfungsi sebagai mata. Orang bisa mengintip isi tubuh patung yang berupa video film hitam-putih.
Video itu berasal dari rol-rol film yang tersisih dari pembuatan film Humba Dreams arahan sutradara Riri Riza. Video tersebut juga menggambarkan David Albert Peransi—seniman, pemi-kir, dan pembuat film—yang aktif men-ciptakan karya pada 1970-an. Peransi akademikus yang mengajarkan pen-de-katan seni rupa baru yang kaya eksperimen.
Video animasi orang-orang Sumba yang mengenakan pakaian tradisional tenun khas menghiasi dinding. Ada juga gambar kuda, babi, kerbau, kuda pasola, sabana, perbukitan, dan pepo-honan. Warna pemandangannya mirip dengan Sumba yang indah: ku--ning berpendar penuh pohon yang menge-ring. Nyanyian dan musik khas Sumba diputar mengiringi gambar yang bergerak di layar.
Karya instalasi berjudul Humba Dreams (un) Exposed itu satu di antara sejumlah karya seni rupa yang dipa-merkan dalam ArtJog, Jogja National Museum, Yogyakarta 25 Juli-25 Agustus 2019. Seni instalasi itu karya kolaborasi Riri Riza, seniman Wu-lang Sunu, dan videografer Taba Sanchabakhtiar. “Ten-tang jasad orang Sum-ba dalam tradisi kepercayaan Marapu,” kata Riri.
Dalam tradisi Sumba, jasad orang yang meninggal disimpan dulu sebe-lum dikubur. Keluarga menunggu wak-tu yang paling tepat saat mereka sanggup menjalankan upacara, yang memerlukan biaya besar. Sebagian war-ga harus menjual tanah. Ada juga yang mesti berutang.
Tradisi membawa paradoks, seperti ke-percayaan Marapu menyimpan jena-zah untuk dipestakan. Keluarga orang yang meninggal harus menabung sekian lama hanya untuk mengadakan upacara dan penguburan.
Selain keindahan pemandangan Sumba, paradoks yang terjadi di Sum-ba dieksplorasi Riri. Sebagian orang Sumba mulai hidup serba materialistis sesuai dengan apa yang mereka lihat di media sosial dan televisi. Mereka kemudian bermigrasi atau menjadi buruh migran untuk mendapat peng-hasilan. “Sumba memiliki beragam kepercayaan, ritual, paradoks, dan tantangan,” ucap Riri.
Paradoks dan kompleksitas Sumba tergambar lebih jelas dalam film Hum-ba Dreams, yang berdurasi hampir 90 menit. Film ini dimulai dengan adegan tokoh utama Martin (diperankan J.S. Khairen) yang pulang ke Sumba. Mar-tin, mahasiswa sekolah film Jakarta, mengabadikan tradisi Sumba. Dia antara lain merekam upacara ritual yang diwarnai pemotongan leher ker-bau yang diarak.
Dalam perjalanan pulang kampung itu, Martin bertemu dengan Anna (Ully Triani) dan jatuh cinta. Anna memiliki suami yang telah sepuluh tahun me--ning-galkannya dan bekerja sebagai buruh migran. Suami Anna meninggal dan Anna terlibat percintaan dengan Martin.
Dialog dalam film itu banyak meng-gunakan bahasa lokal Sumba. Mayo-ritas pemainnya pun orang Sumba. Hanya dua aktor utama yang berasal dari Jakarta. Film ini mengambil latar di kampung adat Raja Prailiu di Waingapu, Sumba Timur.
Selain menampilkan tradisi dan keindahan alam sabana, Riri me--ma-sukkan persoalan pelik yang diha-dapi orang Sumba: buruh migran pe-rempuan. Nusa Tenggara Timur sela-ma ini dikenal sebagai daerah “pengirim” buruh migran ke sejumlah negara. Di tengah impitan ekonomi, para perempuan Sumba terdorong untuk bekerja sebagai buruh migran.
Riri menggambarkan film ini seba-gai film fiksi dengan pendekatan realis yang menceritakan persoalan nyata dalam kehidupan. Film ini realis karena kamera dekat dengan setiap subyek dan apa adanya. Lokasi pun apa adanya. Martin ke mana-mana menggunakan sepeda motor tua Honda Win, yang sangat identik dengan kendaraan pegawai negeri sipil di pelosok.
Produser film Humba Dreams, Mira Lesmana, menyebutkan ide film itu muncul setelah dia dan Riri menggarap film Pendekar Tongkat Emas, yang juga berlatar Sumba, pada 2011-2012. Pengalaman itu membawa hubungan khusus dengan Sumba. Mereka men-je-lajahi Sumba Barat dan Sumba Timur. “Kami membagi pengalaman tentang sebuah tempat dan cerita kontemporer,” kata Mira.
Rumah produksi Miles Films memu-tar film Humba Dreams perdana dan terbatas di Bioskop XXI Yogyakarta, Sabtu, 27 Juli lalu. Sepekan kemudian, film ini ditayangkan untuk umum di kota yang sama dalam rangkaian acara Festival Film Asia Jogja-NETPAC. Sebelum ditayangkan perdana di Yogyakarta, Humba Dreams diputar di Shanghai International Film Festi-val 2019. Film ini memenangi CJ Enter-tainment Award di Asian Project Busan International Film Festival pada 2017.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo