Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hilang Rimba Burung Surga

Pembangunan smelter dan tambang nikel di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, mengancam populasi burung endemik yang dilindungi. Hutan primer di wilayah konsesi pertambangan masih dipenuhi pohon berdiameter besar. Liputan ini hasil kerja sama Tempo dengan fellowship Pasopati Project 2020.

6 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara lokasi kawasan Industri tambang nikel milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park di Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 22 Januari lalu./Tempo/Budhy Nurgianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hutan primer dan sekunder di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara dibuka untuk pembangunan smelter dan tambang nikel proyek strategis nasional.

  • Hutan primer yang masuk kawasan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata itu merupakan habitat bagi puluhan burung endemik di antaranya weka-weka atau burung bidadari yang pertama kali ditemukan oleh Alfred Russel Wallace pada 1858 saat melakukan ekspedisi di ke

  • Laporan tahunan Forest Watch Indonesia 2018, menyebut selama 15 tahun terakhir, Halmahera Tengah setidaknya kehilangan 48 ribu hektare hutan, 16 ribu hektare di antaranya akibat tambang.

SETENGAH berlari Alboran Memele, 39 tahun, menghampiri seekor burung yang panjangnya hampir dua kepalan tangan yang tampak meronta-ronta di sela-sela cabang pohon. Burung yang bernama lokal weka-weka itu terperangkap dalam jaring yang digunakan pemburu untuk menangkap burung nuri saat Alboran tengah menuju kebun kelapa miliknya di pinggir hutan Desa Kobe, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Jumat, 22 Januari lalu.

Weka-weka betina itu didekapnya. Dengan cekat, tangan Alboran melepaskan jaring yang membelit sayap unggas cantik yang dijuluki bidadari Halmahera karena berkerabat dekat dengan cenderawasih di Papua tersebut. Sejenak ia menatap burung itu sebelum melepaskannya. “Kita harus bebaskan. Sekarang sudah susah untuk lihat burung seperti ini. Sejak ada tambang jumlah burung di hutan Teluk Weda sudah berkurang,” ucap Alboran kepada Tempo, 22 Januari lalu.

Burung bidadari (Semioptera wallacii) ditemukan pertama kali oleh Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan pada 1858 saat melakukan ekspedisi di kepulauan Maluku. Wallace menyebutnya bird of paradise karena kecantikannya. Burung pejantan berukuran sekitar 28 sentimeter, bulu tubuhnya cokelat kehijauan dengan bulu hijau zambrut di bagian dada, serta memiliki mahkota berwarna ungu mengkilat. Si betina berukuran lebih kecil dengan ekor yang lebih panjang. Ciri lainnya, terdapat dua pasang bulu berwarna putih susu yang keluar dari pangkal sayapnya.

Menurut Alboran, sekitar sepuluh tahun lalu, weka-weka jantan diburu dan dijual seharga Rp 250 ribu per ekor. Namun, karena ada larangan perburuan burung dan burung tersebut kian sulit ditemukan, para pemburu beralih memilih nuri yang kisaran harganya Rp 150-300 ribu per ekor. “Apalagi burung ini hanya muncul pada saat fajar, menjelang matahari terbit,” ujar Alboran, yang menjadi buruh lepas dalam proyek pembangunan smelter PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Alboran mengungkapkan, di rimba Weda Tengah dan Utara yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata itu banyak jenis burung yang sering beterbangan secara bebas. Sepuluh tahun lalu, warga biasanya dengan mudah menjumpai berbagai jenis burung di sepanjang jalan trans Halmahera Weda-Sagea. Namun sejak ada pertambangan dan pembangunan smelter di wilayah Tanjung Ulie, populasi burung di wilayah itu makin menyusut. “Sekarang untuk dapat satu ekor nuri saja sangat susah,” ucap Alboran.

Menurut Alboran, selama empat tahun pembangunan smelter yang dilakukan PT IWIP, banyak satwa burung yang semula bersarang di pesisir pantai berpindah lebih jauh ke dalam hutan. Pohon-pohon besar di pesisir pantai yang biasanya menjadi tempat persinggahan berbagai jenis burung kini sudah tak lagi terlihat. Beberapa bukit yang kerap dijadikan warga desa sebagai lokasi perburuan pun sudah hilang, “Kalau sekarang sudah susah dapat burung di lokasi smelter,” tuturnya.

Smelter PT Weda Bay Nickel di Tanjung Ulie itu termasuk proyek strategis nasional pembangunan kawasan industri PT IWIP yang akan mengolah mineral hingga memproduksi komponen baterai kendaraan listrik. Proyek dengan total investasi US$ 10 miliar ini dibangun di atas lahan seluas 2.600 hektare. PT IWIP merupakan perusahaan patungan investor asal Cina: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Co, dan Zhenshi Holding Group.

Adapun PT Weda Bay Nickel adalah perusahaan pertambangan nikel dan kobalt dengan luas lahan konsesi mencapai 54.874 hektare. Adapun smelter atau pabrik pengolahan pemurnian bijih nikel itu menggunakan teknologi pirometalurgi yang berkapasitas 30 ribu ton nikel per tahun. Raungan suara mesin pemotong pohon terdengar sangat jelas di tepi kanan dan kiri jalan trans Halmahera Weda-Sagea saat Tempo melintasi kawasan pembangunan smelter.

Di atas bukit, belasan ekskavator terlihat sibuk membongkar gunung dan memasukkan bongkahan batuan ke dalam deretan truk pengangkut berkapasitas 8 ton yang berjajar rapi di tepi jalan. Di samping kendaraan, berdiri orang-orang berseragam proyek dengan mantel berwarna terang dan helm pelindung. Mereka terlihat bergerombol sembari menolong rekannya yang berada di dalam sebuah truk yang terbalik.

Berjarak 3 kilometer dari situ, bangunan smelter sudah tampak menjulang. Tumpukan batu bara sejauh 600 meter dengan tinggi 10 meter terlihat di sebuah bangunan yang tak jauh dari pelabuhan. Empat alat berat pun sibuk menguruk area mangrove di utara kawasan. Tak ada lagi pohon-pohon yang berdiri di kawasan tersebut. Laporan tahunan Forest Watch Indonesia 2018 menyebutkan, selama 15 tahun terakhir, Halmahera Tengah setidaknya kehilangan 48 ribu hektare hutan. Seluas 16 ribu hektare hilang akibat pertambangan.

Hernemus Takuling, petani dari Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, mengatakan, sejak ada proyek smelter dan tambang nikel, kawasan hutan dibuka secara besar-besaran. Populasi satwa turun drastis. Hutan primer dan sekunder di wilayah Weda hingga Patani yang memiliki peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan menjadi hilang. “Dulu di lokasi smelter banyak sekali burung dan kuskus. Sekarang banyak hutan sudah terbuka, gunung juga sudah botak,” ujar Hernimus, yang dipenjara selama setahun pada 2013 karena dianggap menolak pertambangan.

Penelitian para ahli ornitologi terhadap kelompok avifauna di Halmahera menemukan bahwa kawasan hutan Kobe menjadi habitat 126 jenis burung penetap. Survei yang dilakukan Burung Indonesia pada 2011 mendapatkan 30 burung endemik di kawasan hutan bagian tengah Halmahera, di antaranya cikukua Halmahera (Melitograis gilolensis), elang alap Halmahera (Accipiter henicogrammus), cenderawasih Halmahera (Lycocorax pyrrhopterus), kepudang Halmahera (Oriolus phaeochromus), paok Halmahera (Pitta maxima), bidadari Halmahera (Semioptera wallacii), serta kakatua putih (Cacatua alba). “Hutan Halmahera bagian tengah menjadi harapan terakhir satwa endemik, setelah bagian utara dan selatan habis karena pembukaan sawit dan tambang,” ucap Benny Aladin Siregar, peneliti dari Burung Indonesia.

Benny mengungkapkan, berdasarkan hasil pengamatan, hutan primer di Halmahera bagian tengah, khususnya di wilayah konsesi pertambangan, masih dipenuhi pohon berdiameter besar. Hutan di wilayah itu masih sangat rapat dan baik untuk satwa endemik bertahan hidup. Burung paruh bengkok, seperti kakatua putih, kasturi Ternate, dan burung julang Irian, memiliki ketergantungan sangat tinggi pada hutan primer di Halmahera bagian tengah ini. “Ini juga yang membuat kami ikut waswas,” ucap Benny, menyoal kehadiran smelter dan tambang di hutan tersebut.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara juga menemukan bahwa kawasan hutan yang berada di wilayah konsesi pertambangan menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan di Halmahera Tengah. Pembangunan smelter yang masif makin mempercepat laju kerusakan hutan, terutama di wilayah pesisir Tanjung Ulie. “Perusahaan ini membutuhkan lahan yang besar. Tahap pertama saja sudah memakan lahan seluas 3.250 hektare dan tahap kedua 5.356 hektare. Belum lagi wilayah konsesinya yang mencapai 70 ribu hektare,” ujar Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara, Selasa, 2 Februari lalu.

Agnes Ide Megawati, Associate Director Media & Public Relations Department PT IWIP, tak mau menjawab pertanyaan yang disampaikan Tempo. “Bisa hubungi saya ke nomor hubungan masyarakat IWIP. Ini nomor pribadi,” kata Agnes, Jumat, 5 Februari lalu. Adapun Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara Syukur Laila tak mau ditemui saat Tempo mendatangi kantornya di Kelurahan Sofifi, Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan. Surat pertanyaan tidak dibalas, panggilan telepon pun tak diresponsnya.

BUDHY NURGIANTO (HALMAHERA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus