Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Terlalu Manja kepada TNI

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia Purnawirawan Agus Widjojo menyoroti pelibatan TNI dalam urusan sipil dan politik. Agus menilai keterlibatan tentara dalam penertiban baliho bergambar pemimpin Front Pembela Islam Muhammad Rizieq Syihab di Jakarta beberapa waktu lalu telah menyalahi kewenangan TNI. Menurut dia, TNI seharusnya hanya berfokus mengurusi pertahanan nasional. Adapun urusan pelanggaran hukum menjadi ranah polisi dan kepala daerah. Ia menganggap campur tangan tentara dalam urusan publik adalah bentuk kerinduan pada dwifungsi TNI. Agus juga berpendapat Panglima TNI dan Kepala Polri semestinya tidak bertanggung jawab langsung kepada presiden. Menyoal konflik yang tak kunjung usai di Papua, Agus mengatakan pemerintah masih bisa menjajaki ruang musyawarah untuk menyerap aspirasi rakyat Papua.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo di gedung Lemhannas, Jakarta, Selasa, 8 Desember 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gubernur Lemhannas Agus Widjojo mengatakan keterlibatan tentara dalam penertiban baliho bergambar Rizieq Syihab telah menyalahi kewenangan TNI.

  • Menurut Agus, permasalahan pelanggaran hukum seharusnya ditangani oleh polisi ataupun kepala daerah.

  • Agus Widjojo menyoroti posisi Panglima TNI dan Kapolri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

GUBERNUR Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo tergelitik saat mengetahui anggota Tentara Nasional Indonesia ramai-ramai menurunkan baliho bergambar pemimpin Front Pembela Islam Muhammad Rizieq Syihab di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut Agus, tindakan yang diinstruksikan Panglima Daerah Militer Jayakarta Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurrachman itu tidak sesuai dengan kewenangan TNI. “TNI tidak bisa menginisiasi suatu keputusan untuk tindakannya sendiri,” ujar Agus, 73 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Selasa, 8 Desember lalu.

Agus mengatakan penertiban baliho semestinya menjadi urusan kepala daerah atau polisi. Apalagi jika alasan pencopotan itu berkaitan dengan masalah perizinan, pajak, dan isinya dianggap provokatif. “Itu semua masalah penegakan hukum,” tuturnya. Adapun TNI, kata dia, berperan dalam pertahanan nasional, yaitu menghadapi ancaman militer dari luar negeri. Tentara bisa diperbantukan jika ada permintaan dari kepala daerah. Permintaan itu pun dilayangkan kepada presiden, bukan Panglima Daerah Militer.

Menjabat Gubernur Lemhannas sejak empat tahun lalu, pensiunan jenderal bintang tiga ini banyak menyoroti peran dan tugas TNI dalam berbagai isu. Ia menilai keterlibatan TNI dalam urusan sipil bisa berbahaya. Di era Orde Baru, kata Agus, militer pernah berkuasa dan terlibat penuh dalam pemerintahan atau dwifungsi ABRI, yang tidak diamanatkan dalam konstitusi. Agus juga mencermati reformasi TNI justru melambat saat otoritas politik dibangun kembali lewat pemilihan langsung. “Banyak sisa-sisa reformasi TNI yang terbengkalai dan tidak dituntaskan,” ucap Agus.

Kepada wartawan Tempo, Stefanus Pramono, Mahardika Satria Hadi, dan Nur Alfiyah, Agus menceritakan hubungan TNI dan politik, pelibatan tentara dalam pemberantasan terorisme, hingga fenomena Rizieq Syihab. Perwira yang mendorong rekonsiliasi sebagai rekomendasi penyelesaian tragedi 1965 ini juga menyampaikan gagasan tentang perlunya menempatkan TNI dan kepolisian di bawah kementerian, serta solusi yang bisa ditempuh pemerintah soal Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa Anda menilai tindakan tentara yang turun tangan menertibkan baliho bergambar Rizieq Syihab tidak sesuai dengan kewenangan TNI?

TNI tidak bisa menginisiasi suatu keputusan untuk tindakannya sendiri. TNI itu kepunyaan presiden. Ibaratnya, Panglima TNI adalah sopir. Dia mengendarai mobil milik majikannya. Meski sopir lebih sering memegang setir, yang menentukan arah mobil adalah majikan. Sudah lampau waktunya ketika TNI merasa sebagai satu-satunya penjaga bangsa.

Jadi, TNI tidak dapat memutuskan sendiri apa yang harus diperbuat?

Yang mendapatkan mandat adalah presiden. Jadi, ndak ada hubungan langsung antara TNI dan rakyat. Rakyat sudah memberikan mandatnya kepada pejabat-pejabat publik yang dipilih langsung. Pada domain eksekutif di tingkat pusat adalah presiden. Artinya, rakyat meminjamkan kedaulatannya kepada presiden untuk menjalankan negeri ini, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan memberikan rasa aman. Begitu juga di daerah, pesannya sama.

Artinya, TNI hanya dapat diperintah oleh presiden?

Prosedur permintaan bantuan TNI adalah dimulai dari kepala daerah. Sebab, urusan keamanan dan penegakan hukum itu menjadi tanggung jawab kepala daerah. Kalau kepala daerah itu melihat keamanan di daerahnya sudah melewati ambang batas, polisi sudah tidak mampu, dia melapor kepada presiden untuk minta bantuan TNI. Karena TNI selalu kepunyaan presiden.

Apa bahayanya jika TNI memutuskan suatu tindakan sendiri?

Dia pegang senjata.

Dalam peristiwa penertiban baliho FPI dan Rizieq Syihab, apa yang membuat TNI bisa berinisiatif mengambil tindakan seperti itu?

Ini kebiasaan dwifungsi. TNI terbiasa menjaga, lalu saat melihat sesuatu yang dianggap tidak pantas, langsung ditangani. Padahal dia pegang senjata. Iya kalau senjatanya itu diarahkan secara benar. Kalau tahu-tahu senjatanya bergeser, siapa yang bisa mencegah?

Apakah kepala daerah tidak bisa meminta bantuan langsung kepada Pangdam?

Tidak boleh. Pangdam enggak bisa memulai. Dari Presiden turun kepada Menteri Pertahanan, Panglima TNI, lalu satuan yang ada di daerah, yaitu Pangdam. Negara ini harus teratur. Kalau enggak, transisi demokrasi akan berkepanjangan.

Anda menilai Indonesia sekarang masih di tahap transisi demokrasi?

Masih. Menurut Juan J. Linz (penulis buku Problems of Democratic Transition and Consolidation), transisi demokrasi itu selesai kalau semua orang sudah yakin dengan demokrasi sebagai cara untuk mencari solusi suatu masalah. Democracy as ‘the only game in town’. Lihatlah kemarin, ada pengerahan massa, intimidasi, serta tekanan-tekanan. Masih banyak yang percaya cara-cara seperti itu. Berarti kita masih berada pada masa transisi demokrasi.

Berapa lama seharusnya transisi demokrasi berlangsung di Indonesia?

Transisi demokrasi tidak diukur lewat jadwal waktu. Transisi demokrasi diukur dengan keyakinan orang untuk mencari penyelesaian perbedaan. Kalau orang percaya semua sudah lari ke prinsip-prinsip demokrasi, cara-cara demokratis, artinya kita sudah melewati transisi demokrasi.

Apakah pelibatan tentara dalam ranah publik bukan termasuk cara yang demokratis?

Legalistis, tidak? Konstitusional, tidak? Wong caranya dimulai dari Pangdam kok. Salahnya di situ.

Apakah inisiatif Pangdam tidak tepat?

Ya, salah.

Siapa yang semestinya turun tangan membereskan penertiban baliho Rizieq Syihab?

Seharusnya bukan TNI. TNI tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi penegak hukum. Tentara di mana pun itu bukan penegak hukum. Ini masalah kewenangan. Apakah baliho-baliho itu tidak punya izin, sifatnya provokatif, atau tidak membayar pajak? Itu semua masalah penegakan hukum. Seharusnya dilakukan polisi.

Bagaimana jika TNI diminta bantuan oleh polisi?

Masak menurunkan baliho minta bantuan TNI? Kecuali kalau polisinya pendek-pendek. Kita jangan hanya mengukur dari kepuasan hati, heroisme. Sistem nasional harus terus dibangun. Di Indonesia ini, untuk maju, jangan hanya TNI yang pintar. Semua harus pintar, sejajar dengan TNI. Kita terlalu manja kepada TNI. Saat Orde Baru, semua diselesaikan oleh TNI dan Soeharto. Sekarang kita sangat tergantung kepada TNI. Kalau dulu ada fungsi kementerian tidak efektif, diambil alih TNI. Sekarang tidak boleh. Jika ada fungsi kementerian yang tidak efektif, bangunkan dia.

Siapa yang seharusnya membangunkan?

Indonesia ini menganut sistem presidensial. Kita tidak punya perdana menteri.

TNI telah banyak berbenah sejak era reformasi. Mengapa belakangan peran TNI dalam kehidupan sipil tampak menguat?

TNI memang menentukan sendiri dan menginisiasi reformasinya. Tapi saat kembali kepada norma, yaitu segala keputusan untuk pengerahan TNI berasal dari otoritas politik dan otoritas politik kembali tergelar secara efektif mulai 2004, reformasi TNI justru mengalami perlambatan.

Perlambatan reformasi TNI justru terjadi sejak era pemilu langsung?

Iya, pemilihan langsung. Itu tandanya bahwa otoritas politik reestablished, telah digelar kembali, hasil dari amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Tantangannya sekarang di situ. Efektifkah otoritas politik untuk mengelola dan menangani masalah pertahanan serta mengelola komponen bersenjata? Itu semuanya harus berawal dari otoritas politik. TNI tidak bisa lagi menentukan untuk dirinya sendiri apa yang dia perbuat.

Mengapa reformasi TNI justru melambat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer?

Faktanya seperti itu. Banyak sisa-sisa reformasi TNI yang terbengkalai, lalu tidak diteruskan dan tidak dituntaskan.

Seperti apa contohnya?

Penempatan Panglima TNI di dalam Kementerian Pertahanan, reformasi dan refungsionalisasi komando teritorial, ketegasan tentang pengadilan bagi prajurit TNI. Saya tidak mengatakan reformasi tentang peradilan militer, ya. Tapi bagaimana kesepakatan kita kalau ada pelanggaran oleh prajurit TNI. Ada yang mengatakan itu harus di pengadilan umum. Tapi kita punya pengadilan militer. Jadi kesepakatan itu belum dicapai. Reformasi TNI bukan tentang kebijakan, melainkan peran dan kewenangan dan itu tidak ada alternatifnya. Itu sekrupnya. Karena itu, reformasi TNI sebetulnya pemurnian kembali peran dan kewenangan TNI sesuai dengan UUD 1945.

Apa sejatinya peran dan kewenangan TNI?

Kalau kita cek, sadarkah kita bahwa UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan dwifungsi? UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan peran TNI di luar pertahanan nasional. UUD 1945 tidak pernah mengamanatkan bahwa sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta) dilaksanakan melalui pembentukan Rakyat Terlatih, Keamanan Rakyat, Pertahanan Sipil, dan lain-lain seperti itu.

Apa yang membuat semuanya bergeser dari konstitusi?

Semuanya kemudian diwadahi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. UUD 1945 juga tidak pernah mengamanatkan integrasi Kepolisian RI ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dari situ sebetulnya adalah titik simpang dari penyelenggaraan fungsi yang kemudian menjadi pertahanan keamanan. Dalam wujud aslinya di UUD 1945, judulnya adalah pertahanan negara, bukan pertahanan keamanan.

Jika mengacu hal tersebut, Panglima TNI seharusnya berada di bawah Menteri Pertahanan?

Menteri Pertahanan itu hadir untuk apa? Kalau Panglima TNI langsung di bawah presiden, apa fungsi Menhan? Apakah Panglima TNI menerima perintah langsung dari presiden? Apakah Panglima TNI ikut dalam sidang-sidang kabinet yang sudah bersifat politik? Ini sekarang masih ambivalen. Presiden itu ex officio panglima tertinggi bagi TNI hanya dalam keadaan perang. Tapi, dalam manajemen sehari-hari, presiden memberi keleluasaan kepada menteri pertahanan untuk merumuskan kebijakan dan anggaran bagi TNI.

Mengapa menempatkan Panglima TNI di bawah Kementerian Pertahanan lebih tepat?

Itu universal. Di semua negara demokrasi seperti itu. Pakai logika saja. Institusi operasional kalau langsung di bawah presiden, apakah presiden punya waktu untuk mengurusi khusus institusi itu? Lepaskan presiden dari beban operasional. Hal itu terlalu kecil untuk presiden. Semua fungsi operasional negara hendaknya terbagi habis kepada menteri-menteri. Dengan begitu, presiden punya kebebasan untuk berpikir strategis, ke masa depan, hal-hal yang sifatnya sangat luas.

Bagaimana dengan Kepala Polri yang juga bertanggung jawab langsung kepada presiden?

Hal yang sama sekarang terjadi pada polisi. Apa mungkin presiden memikirkan tentang polisi dan fungsi penegakan hukum dan keamanan dalam negeri?

Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Jika bukan presiden, kepada siapa Kepala Polri seharusnya bertanggung jawab?

Lazimnya di negara lain, kepolisian masuk di bawah Menteri Dalam Negeri. Pernah juga dalam sejarah Indonesia polisi di bawah Jaksa Agung sebagai penegak hukum. Di beberapa negara, jika menteri dalam negeri sudah terlalu berat bebannya, Kementerian Keamanan Dalam Negeri bisa dibentuk. Seperti di Amerika Serikat, Australia, dan Singapura. Sekarang polisi itu melaksanakan kebijakan siapa? Siapa yang mengalokasikan anggaran untuk polisi? Bagaimana pembagian fungsi dan kewenangan antara polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta Badan Narkotika Nasional, walaupun anggotanya sama-sama polisi.

Dengan berada langsung di bawah presiden, apakah TNI dan Polri tidak rawan dijadikan alat politik?

Kita jangan berasumsi dan berpraduga negatif terhadap istilah politisasi. Di mana pun di negeri ini tidak bisa lepas dari politik karena presiden itu figur politik. Tapi kewenangan perlu dibagi supaya efisien. Kalau mau sebuah instansi tidak terkena politik dan bebas dari politik, bikin roket saja dan pergi ke bulan.

Bagaimana seharusnya hubungan militer dengan presiden?

Militer pada hakikatnya harus loyal dan membela konstitusi. Tapi, selama presiden adalah pemenang pemilu yang konstitusional, dia menjadi perpanjangan dari konstitusi. TNI harus loyal kepada presiden. Ketika presiden berbuat pelanggaran, TNI tidak diwajibkan untuk loyal. TNI akan loyal kepada konstitusi. Tapi TNI tidak bisa menilai presiden, apalagi menggantikannya. Urusan presiden menyimpang itu urusan politik.

Anda pernah menolak keputusan pemerintah untuk melibatkan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme. Apakah Anda masih bersikap seperti itu?

Saya masih menolaknya. Sebenarnya bukan boleh atau tidak boleh TNI ikut melawan teror. Boleh dalam pengertian kita tinjau dulu terorismenya. Ada terorisme internasional dan terorisme nasional. Semua yang terjadi di wilayah nasional pada dasarnya adalah tindakan pidana. Artinya, pelanggaran hukum. Responsnya penegakan hukum. Kedua, sifat pelaksanaan tugas antara TNI dan Polri berbeda.

Seperti apa perbedaannya?

Katakanlah TNI dikerahkan, misalnya, Komando Pasukan Khusus dalam kasus bom Bali atau bom Marriot. Kopassus membawa satu peleton dengan senjata lengkap, lalu dor dor dor, sudah enggak ada terorisnya. Tugas tentara itu melumpuhkan dan menghancurkan musuh. Adapun polisi bertugas mencari bukti-bukti untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan. Istilah kerennya criminal justice system.

Bukankah TNI juga mempunyai unit-unit antiteror?

Unit antiteror bisa dikerahkan, misalnya, kalau terjadi pembajakan pesawat Garuda Woyla. Itu operasi antiteror. Kalau di laut contohnya pembajakan kapal di perairan Somalia. Atau atas persetujuan bilateral pemerintah untuk operasi pembebasan sandera. Semua itu untuk internasional. Tapi di dalam negeri hakikatnya adalah pelanggaran hukum, sehingga responsnya penegakan hukum. Tentara di mana pun tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi penegak hukum.


•••

Pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda beberapa waktu lalu mendeklarasikan pemerintahan sementara Papua Barat. Bagaimana seharusnya pemerintah merespons hal ini?

Mendeklarasikan sebuah negara di dalam negara itu makar. Ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Konflik di Papua masih terjadi dan eskalasinya membesar. Menurut Anda, apa yang sebenarnya terjadi di Papua?

Susah bagi kita untuk mengelola kelompok etnis yang merasakan perbedaan hasil pembangunan dengan saudara-saudaranya di tempat lain. Mereka punya persepsi sendiri yang terkadang merupakan perceived deprivation, sesuatu yang tidak mereka dapatkan menurut persepsi mereka. Padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Dengan perbedaan fisik yang ada mudah diprovokasi. Ditambah kebijakan-kebijakan yang tidak efektif mencapai tujuannya, padahal notabene para pejabat di sana sudah diisi orang Papua sendiri. Semuanya kalau ditumpuk merupakan alasan yang kuat bagi mereka untuk membangkang.

Apakah keadaan faktual di Papua tidak seperti yang dipersepsikan oleh mayoritas orang Papua?

Sebenarnya pemerintah Indonesia tidak pernah punya niat untuk membedakan mereka dari kelompok etnik atau warga negara Indonesia lainnya. Anggaran yang sudah dikucurkan ke Papua cukup besar. Itu yang saya katakan persepsional.

Pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi di Papua. Kasus terbaru adalah tewasnya Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya yang diduga disiksa dan ditembak anggota TNI. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Sebetulnya itu diselesaikan saja secara hukum dan ada iktikad baik dari semua instansi terkait untuk mencari penyelesaian. Pasti ada penyebabnya yang tidak perlu disembunyikan. Kalau itu nyerempet ke dalam TNI, TNI juga harus punya kemauan untuk mengadakan klarifikasi dan reorientasi dalam membina prajuritnya. Harus ada kejujuran dari semua pihak. Bukan malah menutupi kasusnya.

Pemerintah telah mencoba berbagai pendekatan di Papua, dari keamanan, kesejahteraan, hingga politik. Tapi keinginan sebagian rakyat Papua untuk referendum semakin besar. Apa solusinya?

Mungkin perlu mencoba kebijakan-kebijakan yang tidak hanya baik dari kacamata pemerintah pusat. Tapi coba kita mendekati mereka, kriteria perlu dan baik untuk mereka itu apa. Tidak mudah memang karena mereka labil. Tapi bisa disesuaikan dengan kebutuhan sehingga memenangkan hati dan pikiran penduduk di sana.

Apakah pemerintah masih belum cukup mendengar aspirasi masyarakat Papua?

Masih ada ruang untuk memperluas cara-cara itu. Selalu akan ada dikotomi. Yang satu merasa diperlakukan tidak adil. Yang dari pusat sudah curiga bahwa ini sebetulnya aspirasi untuk merdeka. Jadi, sudah tertutup untuk negosiasi, untuk musyawarah. Mungkin itu masih bisa diperluas, dibuka, untuk memberi peluang bagi diskusi. Sama seperti waktu dulu dengan Aceh.



AGUS WIDJOJO
| Pangkat: Letnan Jenderal TNI Purnawirawan | Tempat dan tanggal lahir: Solo, Jawa Tengah, 8 Juni 1947 | Pendidikan: Akademi ABRI (1970); Jungle Warfare Course, Australia (1972); Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat (1985); Master of Military Arts and Science, US Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Amerika Serikat (1988); Sekolah Staf dan Komando TNI (1990); Master of Science in National Security, National Defense University, Fort Myers, Amerika Serikat (1994); Master of Public Administration, George Washington University, Amerika Serikat (1994) | Karier: Asisten Perencanaan Umum Kepala Staf TNI Angkatan Darat (1997-1998), Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI (1998-1999), Kepala Staf Teritorial TNI (1999-2001), Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Fraksi TNI/Polri (2001-2003), Deputi I Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (2006-2009), anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (2005-2008), anggota Dewan Penasihat Lembaga Ketahanan Nasional, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (sejak 15 April 2016)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus