Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Gugatan dari Kamar Ganti

Kasus pelecehan seksual oleh pemandu acara televisi di Beijing menjadi batu ujian gerakan #MeToo di Cina. Sangat sedikit kasus serupa yang sampai ke meja hijau.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Sejumlah demonstrasn memegang poster bertuliskan #MeToo di depn gedung pengadilan sebelum dimulainya persidangan Zhou Xiaoxuan, di Beijing, Cina, 2 Desember 2020. REUTERS/Florence Lo
Perbesar
Sejumlah demonstrasn memegang poster bertuliskan #MeToo di depn gedung pengadilan sebelum dimulainya persidangan Zhou Xiaoxuan, di Beijing, Cina, 2 Desember 2020. REUTERS/Florence Lo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Korban dilecehkan secara seksual ketika sedang bekerja magang di stasiun televisi CCTV.

  • Penegakan hukuman dalam perlindungan terhadap perempuan belum bergigi.

  • Korban diserang balik oleh pelaku pelecehan seksual.

KEDATANGAN Zhou Xiaoxuan di Pengadilan Rakyat Haidian di Beijing, Cina, pada Rabu, 2 Desember lalu, disambut puluhan pendukungnya yang berkumpul di depan gedung pengadilan. Mereka mengangkat poster bertulisan “mi tu”, homonim dalam bahasa Mandarin untuk “me too. Gadis 27 tahun yang populer di kalangan warganet sebagai Xianzi itu menghadiri sidang pertama kasusnya. Dia menggugat Zhu Jun, pemandu acara terkenal di stasiun televisi pemerintah, CCTV, yang diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.

“Kami menunggumu untuk menjawab sejarah,” demikian bunyi salah satu poster. Unjuk rasa damai itu sempat terganggu ketika polisi berusaha membubarkan massa dan menggelandang beberapa wartawan asing.

Pengadilan atas kasus pelecehan seksual terbilang langka di Negeri Tirai Bambu. Hal ini membuat sidang kasus Xianzi menjadi sorotan, tidak hanya bagi masyarakat Cina, tapi juga media internasional. Berbagai media menyebut kasusnya sebagai bagian dari gerakan #MeToo di Cina dan sidangnya menentukan keberlanjutan gerakan tersebut.

Xianzi mengatakan, apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyesal. “Jika saya menang, ini akan mendorong banyak perempuan untuk maju dan menceritakan kisah mereka. Jika saya kalah, saya akan terus mengajukan banding sampai keadilan ditegakkan,” kata penulis skenario itu kepada BBC.

Kasus Xianzi terjadi pada 2014. Saat itu ia magang di CCTV. Menurut pengakuannya, dia bertugas di Kehidupan Seni, acara yang diasuh Zhu Jun. Ketika sedang berada di ruang ganti pakaian, Zhu menggerayangi dan memaksa menciumnya. Xianzi sendirian saat insiden itu terjadi. Pelecehan berakhir ketika ada orang lain yang masuk ruangan itu.

Zhu Jun bukan pemandu acara biasa. Lelaki kelahiran 1964 ini adalah anggota Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina, badan penasihat pemerintah dan bagian penting dari sistem Partai Komunis Cina. Dia juga anggota Komite Nasional Federasi Lingkaran Sastra dan Seni Cina dan anggota Komite Nasional Federasi Pemuda Seluruh Cina. Kariernya di televisi diganjar dengan Golden Mike Award pada 1999 dan 2003 serta Golden Eagle Award untuk Pemandu Acara Terbaik pada 2003.

Xianzi mulai mengangkat kasus ini pada musim panas 2018. Dia menulis pengalaman buruknya itu di media sosial Cina, Weibo, dengan tagar #MeToo. Dia memutuskan menulis kasusnya setelah mendengar kasus pelecehan seksual oleh produser Hollywood, Harvey Weinstein, yang memicu gerakan #MeToo di Amerika Serikat. Xianzi mengaku pernah melaporkan kasusnya ke kepolisian tapi ditolak karena hal itu dianggap akan “merusak citra positif” sang pemandu di mata masyarakat. Belakangan, tulisannya itu dihapus. Meski didera penyensoran, kisah Xianzi telanjur menular dan menuai banyak dukungan dari warganet.

Xianzi kemudian menuntut Zhu agar meminta maaf dan meminta ganti rugi senilai 50 ribu yuan atau sekitar Rp 107 juta. Namun beberapa pekan kemudian Zhu menyerang balik dengan menggugat Xianzi dengan tuduhan telah menyebar “rumor yang direkayasa” dan “informasi palsu”. Zhu berkali-kali membantah semua tuduhan Xianzi.

Pada mulanya gugatan Xianzi masuk ranah “hak-hak pribadi”, istilah hukum di Cina yang mencakup berbagai hak yang berhubungan dengan kesehatan dan tubuh individu. Ini terjadi karena pelecehan seksual tak dikenal dalam kamus hukum pada masa itu. Namun, pada Mei lalu, Cina menerbitkan Undang-Undang Sipil, hukum sipil pertama di negeri itu yang memungkinkan korban menggugat kasus sipil untuk pelecehan seksual. Xianzi menambahkan undang-undang baru itu dalam gugatannya.

Pada 1 Desember lalu, Xianzi menulis di Weibo tentang gugatannya. “Ada masa-masa sulit, seperti ketika pengacara Xhu menuduh saya mengalami gangguan delusional dalam perundingan pertama kami pada 2018 setelah saya mendaftarkan gugatan,” tulisnya. “Setelah ke rumah sakit untuk pemeriksaan psikiatris, saya menyadari tak akan punya privasi dan martabat lagi.”

Kasus Xianzi telah memicu meruyaknya berbagai kasus lain. Salah satunya kasus seorang mahasiswa di Zhejiang University yang bernama Nu pada awal tahun ini. Pria itu dituduh telah menyerang seorang perempuan secara seksual. Pada mulanya, kampus memutuskan untuk menjatuhkan skors kepada Nu. Namun, pada April lalu, pengadilan di Hangzhou menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Nu dengan dakwaan pemerkosaan. Hal ini membuat kampus menuai banyak kritik dari warganet karena masih mengizinkan Nu berkuliah setelah masa skors nanti selesai.

Keadaan berubah ketika beberapa mahasiswa kemudian mengadukan Nu telah melakukan hal serupa terhadap mereka. Kampus kemudian melakukan penyelidikan yang berujung dikeluarkannya Nu dari universitas negeri yang prestisius itu. Dalam pernyataan yang dirilis pada 31 Juli lalu, universitas menyatakan keputusan akhir itu dicapai oleh komite disiplin mahasiswa melalui diskusi yang “mendalam dan hati-hati”. “Zhejiang University adalah sekolah yang dikenal dengan lingkungan pendidikan yang unggul dan disiplin yang ketat. Kami selalu memperlakukan mahasiswa yang melanggar aturan dengan hukuman maksimal, apa pun latar belakangnya,” demikian pernyataan kampus itu, seperti dikutip oleh media Shanghai, SupChina.

Gerakan #MeToo di Cina memang menghadapi ujian berat. Sejak gerakan ini mencuat pada 2018, khususnya di media sosial daring, serangan balik terus terjadi, termasuk penyensoran terhadap tulisan di akun-akun Weibo dan WeChat.

Hukum Cina sebenarnya sudah cukup maju dalam melindungi perempuan. Pada 2005, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Hak-hak dan Kepentingan Perempuan, aturan pertama yang secara umum melarang pelecehan seksual dan memberi hak kepada perempuan pekerja untuk melaporkan atasannya. Pada 2012, Dewan Negara mengeluarkan regulasi yang mewajibkan majikan mencegah pelecehan seksual di tempat kerja. Pada 2019, Mahkamah Agung Rakyat memasukkan kompensasi atas penderitaan akibat pelecehan seksual ke dalam daftar gugatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Zhou Xiaoxuan, memberikan keterangan kepada pers sesaat sebelum menjalani persidangan pelecehan seksual yang dialaminya di Beijing, Cina, 2 Desember 2020. REUTERS/Florece Lo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Namun penegakan hukumannya belum bergigi. Dalam 15 tahun terakhir, “Tak ada satu pun kasus pelecehan seksual yang korbannya berhasil menuntut majikannya memenuhi kewajiban hukum,” ucap Jin Wenjing, guru besar ilmu politik dan hukum di China University, kepada The Diplomat.

Gugatan terhadap pelaku perseorangan pun juga begitu. Organisasi hak-hak perempuan Yuanzhong Gender Development Center di Beijing telah memeriksa basis data puluhan juta kasus pengadilan selama 2010-2017. Mereka hanya menemukan dua kasus pelecehan seksual dan kedua penggugatnya kalah.

Kasus Xianzi kini juga mengambang. Sidang pada 2 Desember lalu berlangsung lebih dari 10 jam tanpa kehadiran tergugat Zhu Jun. Menjelang tengah malam, pengadilan dinyatakan selesai tanpa ada dakwaan. Xianzi menyatakan, dia dan pengacaranya telah meminta sidang terbuka, pergantian hakim, keterlibatan juri, dan kehadiran Zhu dalam sidang selanjutnya yang belum dijadwalkan.

Zhang Jing, pendiri organisasi Hak-hak Asasi Perempuan di Cina yang berbasis di New York, pesimistis atas penyelesaian kasus ini. “Sangatlah mustahil untuk mengadili orang kuat, entah karena alasan keuangan entah karena pelecehan seksual dan kekerasan rumah tangga,” tuturnya kepada RFA. Tapi Zhang menyatakan, siapa pun yang membela hak-hak perempuan di Cina adalah orang-orang yang luar biasa, karena harga yang mereka bayar jauh lebih besar daripada yang dibayar rekan mereka di negara demokrasi liberal.

IWAN KURNIAWAN (BBC, SUPCHINA, THE DIPLOMAT, RFA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus