Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA saatnya kita dengan giat ingin menghapus jejak masa lalu. Ada saatnya kita justru mengenang-ngenangnya dan ingin mengulang segala yang manis. Untuk waktu yang lama, J.D. Vance, seorang pengacara dan pemodal ventura alumnus Yale University, tak sekadar risih pada masa lalunya yang jauh dari kemegahan hidupnya di kampus Ivy League. Dia juga malas memperkenalkan masa kecilnya dan keluarganya kepada kekasihnya, lebih karena ia tak ingin membuka luka lama yang masih sangat basah dan menyakiti hatinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam memoarnya yang berjudul Hillbilly Elegy: A Memoir of a Family and Culture in Crisis (Harper Press, 2016), Vance bercerita bagaimana hidupnya sebagai putra Bev, ibunya yang hamil saat remaja dan ditinggal suami; kecanduan narkotik dan alkohol serta berganti-ganti suami dan kekasih dengan tujuan agar anak-anaknya memperoleh “rumah yang tenteram”. Memoar ini adalah sebuah perjalanan Vance kembali ke masa kecil yang penuh kekerasan di Middletown, Ohio, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Glen Close dan Amy Adam (kanan) beradu akting dalam Hillbily Elegy. Netflix/Lacey Terrell
Novel yang kemudian menghebohkan itu menempati peringkat tertinggi daftar The New York Times Best Seller 2016 dan diangkat menjadi film oleh sutradara Ron Howard. Dalam bentuk film, kisah kemiskinan serangkaian keluarga di beberapa negara bagian selatan Amerika Serikat dan apa yang disebut sebagai kebudayaan Appalachian dibenturkan dengan snobisme para penghuni “Ivy League”. Dalam sebuah acara makan malam, para alumnus dan petinggi Yale University langsung risih ketika mendengar tokoh J.D. Vance (Gabriel Basso) berasal dari Ohio dan merendahkannya dengan sebutan “redneck”, sementara dia tercenung melihat deretan garpu dan pisau di hadapannya.
Howard membuat serangkaian adegan kilas balik: Vance masa kecil (diperankan dengan bagus oleh Owen Asztalos) yang menyaksikan sang ibu bekerja sebagai perawat rumah sakit, yang berganti-ganti pasangan dan melakukan kekerasan kepada anak-anaknya saat di bawah pengaruh narkotik. Lantas kita akan langsung terbang ke Vance dewasa yang berada di tengah kesibukan mencari kesempatan magang setelah lulus sekolah hukum Yale University. Di masa dewasa ini pula kita mengenal kekasih Vance bernama Usha (Freida Pinto) yang sangat mendukung dan mengakomodasi segala kegelisahan Vance menghadapi dunia snob itu.
(Dari kiri) Haley Bennett, Gabriel Basso, dan Amy Adams dalam Hillbily Elegy. Netflix
Tapi, di jagat akademik dan intelektual itu, Vance tetap merasa “ditarik” ke masa lalunya. Sang ibu masuk rumah sakit, dan Vance harus segera merelakan jadwalnya koyak-moyak untuk mengurus keluarganya karena pada akhirnya “saya tetap harus bertanggung jawab atas keluarga saya”. Sang ibu (Amy Adams, yang menambah beberapa kilogram lemak dan memainkan seni peran yang cemerlang), yang sudah terlalu bergantung pada heroin dan menjadi langganan didepak pacar, akhirnya menyeret Vance ke fase yang memaksa dia teringat akan luka lama. Vance berada di persimpangan: apakah dia harus memikirkan masa depan atau tetap menemani ibunya yang tergeletak karena heroin di kampung halaman?
Ron Howard adalah sutradara yang pernah membuat kita terpana dengan karya-karyanya, seperti A Beautiful Mind (2001) dan Frost/Nixon (2008), tapi dia juga pernah menghasilkan film serial Robert Langdon yang membuat kita garuk-garuk kepala.
Problem film ini bukan pada kontroversi para pembaca dan penonton yang menuduh J.D. Vance (juga sutradara Ron Howard) membuat generalisasi tentang kemiskinan struktural yang menyebabkan kemerosotan moral pendidikan, melainkan pada tidak adanya upaya Howard untuk membuat gaya penceritaan yang unik. Kisah keluarga disfungsional adalah sesuatu yang sudah diceritakan ratusan atau ribuan kali oleh sineas dari negara mana pun.
Glen Close dan Owen Asztalos dalam Hillbliy Elegy. Netflix
Sineas Hollywood sudah sangat sering mengangkat kisah keluarga Amerika lengkap dengan stereotipe mereka yang dianggap anti-orang asing (karena itu anti-imigran), mengabdi kepada keluarga dan klan (ingat, area ini adalah akar berdirinya Ku Klux Klan), serta anti-intelektualisme. Tidak aneh memoar Vance menjadi populer di antara kaum demokrat dan liberal serta menjadi pegangan mereka karena konon mereka ingin memahami mengapa sosok seperti Donald Trump dipilih, dianggap bisa menjadi “penyelamat” bagi warga selatan dalam pemilihan umum empat tahun silam.
Meski Glenn Close, yang berperan sebagai Nenek Mamaw, dan Amy Adams sama-sama didengungkan bakal meluncur masuk perhitungan Academy Awards 2021, film ini secara keseluruhan bukan karya terbaik Ron Howard.
Karya lain yang mengangkat kisah keluarga di negara bagian selatan Amerika, sebutlah The Prince of Tides (Barbra Streisand, 1991) dari novel Pat Conroy, jauh lebih meninggalkan jejak ketimbang film ini. Namun Hillbilly Elegy tetap wajib ditonton karena, seperti kata J.D. Vance, ini sebuah komentar sosial dan problem budaya yang didasarkan pada pengalaman pribadi yang tak terbantahkan. Pada akhir cerita, Vance mengaku: seberapa pun buruk masa lalunya, dia tak akan bisa meralat, apalagi menghapusnya. Itu menjadi bagian dirinya yang akhirnya bisa membawa keberhasilan yang diperolehnya.
LEILA S. CHUDORI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo