Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Polarisasi Masyarakat Tak Akan Sekeras Sebelumnya

Ketua KPU Hasyim Asy’ari menjelaskan tantangan Pemilu 2004. Apakah polarisasi makin kuat?

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPU ingin waktu kampanye diperpanjang agar cukup waktu menyediakan logistik pemilu dan distribusinya ke TPS

  • Masa kampanye yang panjang dikhawatirkan memperparah beredarnya hoaks dan memicu konflik SARA

  • Tugas berat partai politik: menyediakan calon anggota legislatif di 2.593 dapil dan lebih dari 500 calon kepala daerah

PEMILIHAN Umum 2024 akan menandai hal baru. Selain pemilihan presiden dan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah dilakukan bersamaan di 33 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Pemilihan serentak ini akan menjadi beban berat tidak hanya bagi penyelenggara pemilihan, seperti Komisi Pemilihan Umum atau KPU, tapi juga partai politik. Selain menyiapkan calon anggota legislatif di 2.593 daerah pemilihan, partai mencari lebih dari 500 calon kepala daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, saat ini lembaganya memasuki tahap pembahasan kebutuhan anggaran sekitar Rp 76 triliun serta masa kampanye dan pengadaan logistik. “Semoga Mei sudah beres untuk peraturan KPU tentang tahap,” katanya ketika diwawancarai wartawan Tempo, Abdul Manan, di kantornya pada Rabu, 13 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasyim bukan orang baru dalam urusan pemilihan umum. Pada Pemilihan Umum 1999, ia menjadi Sekretaris Presidium Komite Independen Pemantau Pemilihan Umum di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Ia pernah menjadi anggota KPU Jawa Tengah sebelum menjadi anggota KPU pusat sejak 2016. Dalam wawancara sekitar satu setengah jam, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini menjelaskan tantangan yang dihadapi KPU dan soal potensi polarisasi di masyarakat.


Apa perbedaan Pemilihan Umum 2024 dengan pemilu sebelumnya?

Sejak Pemilihan Umum 2019 ada perubahan signifikan. Semua jenis pemilu jadi satu, pemilu serentak untuk memilih presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Pemilu 2024 berbeda lagi karena pada tahun yang sama digelar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak secara nasional. Pilkada serentak, seingat saya, pertama kali diselenggarakan pada 2015, kemudian pada 2017, 2018, dan 2020. Keserentakan baru tercapai dalam pemungutan suara, tapi pelantikannya belum serentak.

Pemilu kan tujuannya membentuk pemerintahan di pusat dan daerah. Pemerintah adalah relasi antara eksekutif dan legislatif. Nah, pemilu untuk membentuk pemerintahan—dalam arti mengisi jabatan eksekutif dan legislatif—yang tercapai di tahun yang sama baru saat pemilihan presiden serta anggota DPR dan DPD sejak 2004, tapi pilkada belum bisa. Sebagai contoh, yang paling kelihatan adalah pilkada 2018 yang diikuti oleh daerah dengan pemilih besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada pilkada 2018, konfigurasi untuk pencalonannya oleh partai politik (hasil Pemilu) 2014. Setahun kemudian sudah ada pemilihan anggota DPRD lagi. Kan, sangat mungkin konstelasi atau konfigurasi politik DPRD berubah. Kalau partai pendukung kepala daerah bertambah, ini akan jadi aman dan lebih stabil. Kalau defisit, ini kan berpotensi mengganggu stabilitas politik daerah.

Nah, ide itulah yang kemudian menjadikan pemilu bertujuan mengisi jabatan pemerintahan nasional (presiden serta anggota DPR dan DPD) dan kemudian jabatan pemerintah daerah (kepala daerah dan DPRD) dilakukan di tahun yang sama pada 2024. Jadi, saat mereka memulai masa jabatan, durasi lima tahunannya kemudian dilembagakan supaya dilakukan pada tahun yang sama. Dengan begitu, harapannya, pilkada 2024 nanti keserentakan bukan hanya pencoblosan, tapi juga pelantikannya.

Apa tujuan utama keserentakan itu?

Pemerintahan akan stabil, di antaranya, kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keserentakan pemilu karena konstelasi politiknya yang akan mengawal lima tahun ke depan. Konsekuensinya, pemilu dan pilkada 2024 akan menjadi kerja besar dan kerja keras semua pihak. Bagi penyelenggara pemilu, itu artinya beban keras dalam durasi waktu tertentu dan lebih berat dibanding pemilu dan pilkada sebelumnya. Ada pemilihan gubernur untuk 33 provinsi (minus Daerah Istimewa Yogyakarta) dan pemilihan kepala daerah di 514 kabupaten/kota. Konsekuensinya, beban anggaran pilkada besar.

Apa yang membuat berat bagi KPU?

Pasti berat karena ada tahap yang bersinggungan antara pemilu dan pilkada. Pencalonan pilkada pintunya ada dua: lewat partai politik dan lewat perseorangan atau dikenal sebagai calon independen. Untuk jalur partai, syaratnya (diajukan oleh) partai politik yang punya minimal 20 persen kursi DPRD provinsi, kabupaten, atau kota atau 25 persen suara sah di masing-masing daerahnya. Pertanyaannya, hasil pemilu yang mana? Hasil Pemilu 2024. Maka, mau tidak mau ada tahap Pemilu 2024 yang masih berjalan tapi tahap pilkada 2024 sudah dimulai. Tahap pilkada dimulai sebelum penetapan hasil pemilu nasional karena ada calon perseorangan yang harus mengumpulkan dukungan. Jadi pendaftaran calon perseorangan bareng dengan calon dari partai, tapi kerjanya (calon perseorangan) lebih awal dalam mencari dukungan.

Di satu sisi, pada 14 Februari 2024 ada pencoblosan pemilu nasional. Kurang-lebih antara 30 dan 35 hari sejak pemungutan suara sudah harus ada penetapan hasil pemilu nasional. Karena itu, biasanya oleh undang-undang diberi jaminan tiga hari sejak dan setelah pengumuman diberikan kesempatan untuk mengajukan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Sengketa itu, (berdasarkan) pengalaman yang lalu, penetapannya pada Mei dan hasilnya di akhir Agustus. Kurang-lebih tiga bulan diproses. Pencalonan kepala daerah (bisa dilakukan) kalau sudah ada kepastian hukum tentang partai apa di provinsi atau di DPRD mana yang mendapat kursi minimal 20 persen di daerahnya masing-masing. Di sisi lain, partai politik termasuk berat kerjanya.

Seperti apa kerja keras partai politik?

Setidak-tidaknya menyiapkan calon. Daerah pemilihan untuk pemilu nasional ada 2.593. Dalam konteks pencalonan, ya, segitu itulah partai politik bekerja untuk menyiapkan orang. Untuk DPR, satu daerah pemilihan (diisi) tiga sampai sepuluh calon dan DPRD provinsi, kabupaten, dan kota tiga sampai 12 calon. Kita asumsikan diisi semua secara maksimal, maka tinggal dikalikan jumlahnya. Jadi, selepas pemilu nasional, (partai) sudah harus ngelus jago yang mau dicalonkan sebagai gubernur, bupati, dan wali kota.

Bagaimana dengan anggarannya?

Dalam Pemilu 2019 kami siapkan anggaran Rp 25 triliun, yang riilnya terbelanjakan Rp 23 triliun. Sekarang menjadi Rp 76 triliun, tapi itu termasuk biaya kantor. Kantor kami bermacam-macam. Ada yang sudah punya KPU, ada yang masih menyewa, pinjam pakai dari pemerintah daerah, atau pinjam pakai dari instansi pusat. Ada juga (kantor) yang mungkin roboh kena angin, badai, dan segala macam. Untuk menyiapkan ini kan momentumnya pemilu. Kalau di luar (pemilu), kadang-kadang responsnya tidak positif.

Di antara komponen yang paling besar adalah honor penyelenggara karena kenaikannya tiga kali lipat dibanding pada tahun lalu. Kalau kami cek Pemilu 2014 dan 2019, anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di tempat pemungutan suara (TPS) honornya hanya Rp 550 ribu. Dengan beban kerja nanti dan kemudian juga soal penyelenggara yang meninggal (pada pemilu sebelumnya), kami usulkan untuk honor KPPS dinaikkan tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta.


Hasyim Asy'ari

Tempat dan tanggal lahir:
Pati, Jawa Tengah, 3 Maret 1973

Pendidikan

  • S-1 Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, 1995.
  • S-2 Bidang Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1998.
  • S-3 Bidang Sosiologi Politik Faculty of Arts and Social Sciences University of Malaya, Malaysia, 2012.

Karier

  • Pengajar di Universitas Diponegoro, Semarang
  • Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah, 2003-2008
  • Anggota KPU Pergantian Antar-Waktu, 29 Agustus 2016-11 April 2017

Organisasi

  • Sekretaris Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (1998-1999)
  • Sekretaris Komisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah (2001-2006)
  • Anggota Lajnah Bahtsul Masail Diniyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (2000-2003)
  • Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Bidang Demokrasi dan Pemilu, Jakarta (2012-2017)
  • Anggota Komisi Bidang Akademik dan Pengembangan Pengajaran, Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Jakarta (2015-2020)

Buku
Dinamika Negara Hukum: Relasi Negara, Hukum dan Masyarakat di Indonesia, 2021
Konsolidasi Demokrasi: Pergulatan Politik Pemilu di Indonesia, 2019

Penghargaan
Satyalancana Karya Satya X Tahun 2012


Awalnya, KPU mengajukan Rp 86 triliun. Mengapa bisa turun Rp 76 triliun?

Karena semula kami mau pakai upah minimum regional untuk penyelenggara pemilu. Upah minimum provinsi terlalu tinggi, kami harus tahu diri.

Berapa penambahan bila memakai UMP?

Di angka Rp 86 triliun, kemudian turun jadi Rp 76 triliun. Kalau nanti dikurangi biaya alat pelindung diri dan kantor difasilitasi pemerintah, itu juga bisa turun. Seingat saya, (anggaran KPU) pernah ditinjau dan masih bisa di kisaran Rp 61-62 triliun. Cuma, harus ada jaminan dari pemerintah. Kalau kami kurangi tapi tidak ada jaminan, ngantor di mana kami? Bangun tenda?

Soal anggaran pemilu sudah selesai?

Sudah relatif clear.

Bagaimana tentang masa kampanye?

Itu topik utamanya. Ada dua kegiatan yang track-nya berbeda tapi titik mulanya sama, yaitu penetapan daftar calon tetap (DCT). Pertama, kampanye. Dalam undang-undang, kampanye dimulai pada hari ketiga atau H+3 setelah penetapan DCT dan kampanye dimulai. Di sisi lain, sistem pemilu kita kan proporsional dengan daftar calon terbuka. Artinya, di surat suara, formulir penghitungan, dan rekapitulasi harus ada nama calon. Kalau belum, kan tak berani spekulasi. Artinya, DCT itu jadi titik awal untuk dua track berbeda: satu untuk kampanye serta satu untuk pengadaan logistik surat suara dan formulir.

Kalau masa kampanye panjang, dengan cara pandang seperti Pemilu 2019 kan nanti sama dengan memperpanjang masa fitnah, masa hoaks. Tapi, di sisi lain, kalau masa kampanye pendek, KPU agak kerepotan menyediakan surat suara dan formulir. Katakanlah, proses pengadaan sudah dimulai dari awal, karena daftar calon sementara (DCS) kan relatif tidak berubah dalam DCT. KPU juga punya peraturan tentang norma standar pengadaan barang. Begitu DCT ditetapkan, tidak berarti langsung bisa naik cetak karena perlu persetujuan dulu dari masing-masing partai di 2.593 daerah pemilihan (dikurangi 34 daerah pemilihan provinsi). Artinya, semua harus disetujui pengurus partai di 514 kabupaten/kota, 34 provinsi, plus DPD, dan nanti mesti dikalikan berapa jumlah partainya. Pada Pemilu 2019 ada 16 partai. Itu yang menjadi masalah di KPU. Kalau menggunakan cara pandang Pemilu 2019, pencoblosannya pada 17 April 2019 dan penetapan DCT pada 20 September 2018. Ada waktu tujuh bulan. Itu longgar. Partai politik mengusulkan durasi kampanye beragam. Ada 30 hari, 60 hari, sampai 90 hari.

KPU mengusulkan masa kampanye yang ideal berapa lama?

Sebetulnya 203 hari sebagaimana pola Pemilu 2019. Pencoblosan pada 17 April, DCT ditetapkan 21 September. Konsekuensinya, masa kampanye jadi panjang. Jadi, masalahnya di situ, kenapa terkesan ada tarik-menarik? Di satu sisi, pemerintah dan DPR, aspirasinya yang kami dengar adalah kampanye panjang berpotensi negatif. Sebenarnya, mau kampanye kapan pun kami siapkan. Tapi yang paling penting KPU dijamin ruang dan waktu untuk pengadaan dan distribusi logistik sampai TPS itu terjamin.

Mengapa tak memilih seperti 2019, yang lebih panjang?

Efeknya kampanye juga panjang. KPU menawarkan formula begini. Kalau yang dikhawatirkan adalah konflik dan kekerasan, ya, gunakan alternatif bentuk kampanye. Mulai awal sampai akhir, yang boleh hanya dua metode. Pertama, metode daring, enggak ketemu langsung. Kedua, pemasangan barang kampanye dan alat peraga kampanye dari awal sampai akhir dibolehkan. Kan, tidak harus kumpul-kumpul. Dan, nanti untuk kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas, kaitannya dengan aturan yang disepakati saja. Misalnya, rapat umum atau terbuka disepakati tidak digunakan karena potensi konflik tinggi, penularan Covid-19 tinggi. Mau dibikin 30 hari cukup, 60 hari, atau 90 hari, monggo. Yang penting tidak mengganggu dan menjadi problem kami untuk pengadaan logistik. Tapi tampaknya pemerintah dan DPR maunya masa kampanye sesingkat mungkin.

Bagaimana akhirnya disepakati 75 hari itu?

Ada partai yang usul 60 hari, ada 90 hari. Akhirnya titik temunya 75 hari.

Sikap KPU?

KPU secara formal mengajukannya 90 hari, tapi dengan beberapa prasyarat. Kemudian DPR berpendapat coba dibuat asesmen atau simulasi untuk pemilu 75 hari. Itu pun masih dengan catatan. Prasyarat yang diajukan KPU harus dipenuhi.

Ketua KPU RI periode 2022-2027 Hasyim Asy'ari menyampaikan kata sambutan saat serah terima jabatan di Kantor KPU RI, Jakarta, 12 April 2022/TEMPO/Muhammad Hidayat

Apa prasyarat itu?

Misalnya, memudahkan proses pengadaan. Misalnya lelang dan penunjukan langsung. Itu dua hal yang berbeda. Supaya bisa tunjuk langsung, kami meminta instruksi presiden atau apa supaya payung hukumnya jelas. Dan juga dibikinkan e-katalog dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Yang e-katalog itu ada kemungkinan tender dan non-tender. Nah, kalau memang waktunya mepet, ya mohon dimaklumi diperbolehkan e-katalog non-tender. Ngeri juga, katakanlah, proses lelang berhasil tapi tiba-tiba gagal produksi, padahal waktu sudah mepet. Saya lebih senang situasinya lebih longgar dan panjang dalam mempersiapkan ini.

Tanggal pemilu dan pilkada sudah pasti?

Pemilu sudah pasti 14 Februari 2024. Pilkada diatur Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Menurut undang-undang ini, pemungutan suara serentak dilakukan pada November 2024. Tanggalnya belum ditetapkan. Masih ancer-ancer pada 27 November. Hal lain, kalau pencoblosan pada November, sehabis itu ada potensi sengketa ke Mahkamah Konstitusi. Kalau itu terjadi, tujuan pelantikan serentak tidak akan tercapai karena nanti akan ada yang dilantik pada 2025. Maka kemungkinan kami mau usulkan (pencoblosan pada) September.

Kapan target pelantikan hasil pilkada?

Akhir Desember 2024. Yang paling memungkinkan jadwal pencoblosan yang maju. Yang juga harus diperhatikan, presiden terpilih dilantik pada 20 Oktober 2024. Rembukan siapa menteri belum selesai, sudah ada pilkada. Apa enggak puyeng soal pengendalian politiknya? Itu pertimbangan politiknya.

Dengan penetapan ini, sudah tidak ada lagi kemungkinan penundaan pemilu?

Enggak ada.

Ada kekhawatiran bahwa polarisasi di masyarakat akan kembali terjadi seperti pemilu sebelumnya. Bagaimana KPU mengantisipasinya?

Soal polarisasi, dugaan saya, tidak akan sekeras (pemilu) kemarin karena jadwal pemilu dan pilkada mepet. Orang habis tarung pemilu DPR mau tak mau rangkulan lagi dalam pencalonan pilkada. Kalau jaraknya agak jauh, antara waktu pemilu dan pilkada, sentimen seperti itu belum selesai. Tapi, kalau sehabis itu dilanjutkan dengan pilkada, yakinlah dalam pilkada tidak ada partai jalan sendiri. Semua pasti berkoalisi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus