Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah waris tak mampu dan tak paham merawat buku tua.
Beberapa buku yang dilarang pada pemerintahan Orde Baru kembali beredar di pasar buku tua.
Seno Gumira Ajidarma membeli beragam buku sebagai bahan tulisan dan penelitian.
PENYAIR dan seniman Jose Rizal Manua masih ingat sejumlah detail peristiwa pembelian ratusan buku yang tertumpuk padat pada dua unit bajaj, pertengahan 2001. Saat itu dia mendapat kabar dari rekannya, pemilik toko buku tua di kawasan Matraman, Jakarta Timur, yang baru saja mendapat kiriman sejumlah buku dan arsip kuno. Pendiri Teater Tanah Air itu diminta memeriksa dan membeli beberapa koleksi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiba di lokasi, Jose kaget melihat beraneka ragam buku tersebut memiliki identitas Wiratmo Soekito—budayawan dan guru besar Institut Kesenian Jakarta yang meninggal pada Maret 2001. Dia pun langsung memutuskan membeli dan membawa semua buku yang diduga milik salah seorang konseptor Manifes Kebudayaan 1963 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jose kemudian memilah dan menyisihkan beberapa buku menjadi koleksi pribadi di rumahnya. Sebagian besar lainnya dibawa dan dijual di kios buku tuanya, Galeri Buku Bengkel Deklamasi, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. “Wiratmo dosen saya juga. Jadi saya borong sekitar Rp 3 juta ketika itu,” kata Jose saat ditemui wartawan Tempo, Fransisco Rosarians, di TIM pada Senin, 16 Mei lalu.
Selain menjadi kolektor, Jose adalah penjual buku dan dokumen arkais sejak 1980-an. Dia mendirikan Galeri Buku Bengkel Deklamasi setelah mendapat izin dari Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirdja pada 27 Juli 1996. Selama puluhan tahun kios ini menjadi salah satu destinasi perburuan buku lawas bagi kolektor, seniman, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Jose mengatakan banyak buku dan dokumen dagangannya berasal dari warisan. Beberapa tokoh dan kolektor memiliki perpustakaan pribadi yang koleksinya memenuhi rak, bahkan ruangan. Setelah pemilik koleksi meninggal, sebagian besar anggota keluarganya tak berminat dan tak mampu merawat koleksi jadul tersebut. Akhirnya, mereka menghubungi sejumlah pedagang buku atau perantara untuk menjualnya dengan harga murah.
Pemilik Galeri Buku Bengkel Deklamasi Jose Rizal Manua di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 Mei 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat
“Beberapa waktu lalu saya ditawari buku koleksi Mansur Samin (sastrawan yang meninggal pada 3 Juni 2003). Tapi kondisi sedang pandemi seperti ini, tak ada dana untuk membeli,” ujar Jose.
Salah satu tokoh yang juga mewariskan ratusan koleksinya adalah aktivis dan politikus Rahman Tolleng, yang meninggal pada 29 Januari 2019. Sebagian besar buku dan dokumennya masih tersimpan di dua kamar kediaman keluarganya di Cipedes Tengah, Bandung. Beberapa koleksi bukunya telah dicatat dan disimpan di dalam kardus. Sejumlah seri lain masih bertahan di lemari buku, seperti jurnal dan ensiklopedia.
Keluarga Rahman memutuskan memindahkan semua koleksi anggota legislatif 1968-1974 itu. Mereka bahkan meminta bantuan relawan untuk mencatat dan mengemas semua dokumen.
Salah seorang relawan, Ratih, mengatakan koleksi aktivis mahasiswa angkatan 1966 tersebut diperkirakan menembus 11 ribu eksemplar. Koleksi ini terbagi menjadi 20 kategori, seperti politik, demokrasi, hukum, ekonomi, filsafat, budaya, dan karya ilmiah. Salah satu koleksi tertuanya adalah buku Jim Eggert berjudul Investigating Microeconomics terbitan 1943. Selain itu, Rahman menyimpan koran mingguan Mahasiswa Indonesia edisi 1971. “Sebanyak 40 persen buku koleksi Rahman Tolleng diterbitkan sebelum 1980,” tutur Ratih, Kamis, 19 Mei lalu.
Rahman membaca dan mengumpulkan sejumlah seri buku sejak berusia muda. Koleksinya bertambah seiring dengan perjalanan dan kegiatannya ke beberapa daerah di dalam dan luar negeri. Ia terkenal rajin menitip pembelian buku kepada rekan-rekannya yang melakukan perjalanan ke luar kota dan luar negeri.
Menurut Erman Avantgarda Rahman, anak sulung Rahman Tolleng, sebagian besar buku dan arsip tua tersebut masih dalam kondisi baik. Semasa hidup, ayahnya sangat mencintai dan merawat semua koleksi tersebut bak anak.
Awalnya keluarga Rahman berencana membangun sebuah kafe dan perpustakaan terbuka untuk melestarikan koleksi itu. Tapi rencana ini batal karena keluarga beralasan belum memiliki waktu, dana, pengalaman, dan kemampuan mengelola.
Mereka juga pernah berpikir untuk menghibahkan koleksi tersebut. Namun niat itu juga diurungkan karena keluarga belum menemukan orang yang bisa dipastikan mampu merawat buku dan arsip berusia tua. Mereka tengah mempertimbangkan rencana menjualnya, meski ragu koleksi itu masih memiliki peminat di era digital. “Sejak enam bulan lalu koleksi buku telah dicatat dan dikemas dalam kardus, karena Ibu (Tati Rahman Tolleng) punya rencana pindah rumah,” ucap Erman.
Dodit Sulaksono, 45 tahun, kolektor di Kota Yogyakarta, juga memiliki pengalaman menemukan “harta karun” dari perpustakaan pribadi milik seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah yang meninggal pada 2006 atau 2007. Dia menemukan setumpuk dokumen tua yang diduga draf awal buku Presiden Sukarno berjudul Dibawah Bendera Revolusi—cetakan awalnya menjadi salah satu buku tua yang paling banyak dicari. Tapi dokumen tersebut akhirnya dibuang karena kondisi sebagian besar lembaran kertasnya sudah rapuh, rusak, atau hancur.
Pada waktu berdekatan, dia membeli 150 eksemplar buku tua seharga Rp 1 juta dari seorang penjual perantara di Malang, Jawa Timur. Buku-buku ini kabarnya berasal dari gudang militer. Beberapa dari 150 buku itu bertema sosialisme dan komunisme yang disita tentara pada masa Orde Baru.
“Ada satu buku yang masih saya simpan, Program Kerja Partai Komunis Indonesia Cabang Malang, yang dibuat menjelang Pemilu 1955,” ujar kolektor koran edisi era penjajahan Jepang, 1942-1945, itu.
Buku bertema kiri yang masuk daftar larangan beredar pemerintah Soeharto memang masih menjadi incaran para kolektor. Syarif Oemar Said, kolektor buku tua di Malang, mengaku rutin menghabiskan waktu beberapa jam mengunjungi sejumlah toko di Pasar Buku & Seni Velodroom, Malang. Di lokasi ini, dia menemukan buku-buku langka yang pernah masuk daftar haram, seperti Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka pada 1948.
Dodit Sulaksono. Dok Pribadi
Pasar buku yang berdiri sejak 2009 itu memang biasa menjual buku, dokumen, dan arsip tua. Syarif pun pernah mendapatkan surat kabar terbitan 1960 dan dokumen obligasi era revolusi. Dia juga menemukan dan membeli arsip gambar kerja atau blueprint pembangunan Monumen Tugu Pahlawan, Surabaya, di sana. Dokumen ini dipercaya autentik dan hanya satu-satunya atau tanpa salinan. “Awalnya ditawari untuk beli dengan harga Rp 10 juta. Tapi belakangan saya bisa dapat dengan harga lebih murah,” katanya.
Selain berasal dari warisan, buku dan arsip lawas beredar di antara kolektor dan penikmatnya. Deni Rachman, 43 tahun, kolektor dan penjual buku tua di Bandung, kerap mendapatkan koleksi dan barang dagangan dari rekan-rekannya. Dia bahkan pernah memperoleh hibah pustaka kuno dan langka semobil. Pemiliknya adalah kolektor sepuh yang merasa tak mampu lagi merawat koleksi tersebut.
Dengan alasan lain, beberapa kolektor melego perbendaharaan buku langkanya pada masa pandemi Covid-19. Kondisi ekonomi yang sulit membuat mereka berani menjual buku-buku yang banyak dicari tersebut di bawah harga pasar. “Ketika 2010, saat kondisi ekonomi sulit, saya pun pernah menjual koleksi buku roman Pramoedya Ananta Toer yang ditandatangani pengarangnya,” ujar Deni.
Deni adalah kolektor pemburu buku tua dengan tanda tangan asli penulisnya. Dia juga meminati buku yang dibubuhi paraf kerabat atau orang-orang yang berkaitan dengan pengarangnya.
Koleksinya antara lain cetakan pertama buku Pramoedya berjudul Sang Pemula yang ditandatangani adik sang penulis, Soesilo Toer. Juga buku biografi Soeharto, Anak Desa, dengan tanda tangan asli presiden kedua Indonesia itu.
Deni juga mengoleksi buku berbahasa Belanda, Indonesische Overpeinzingen, yang berisi kumpulan surat cinta Sutan Sjahrir kepada istrinya, Maria Duchateau, saat menjalani masa pembuangan di Boven Digoel, Papua, 1932-1940. Buku ini memiliki dua goresan tanda tangan yang diduga milik Sjahrir dan Gusti Noeroel Koesoemowardhani—putri Mangkunegara VII yang dekat dengan Sjahrir. “Saya dapat saat membeli borongan koleksi buku sesama kolektor,” ucap Deni.
Pemilik toko Lawang Buku ini memiliki koleksi pribadi yang berisi 800 buku, dokumen, dan arsip tua. Sebanyak 400 koleksi di antaranya terbagi menjadi tiga tema besar, yaitu perbukuan, sejarah Kota Bandung, dan Konferensi Asia-Afrika 1955.
Seorang pemilik toko menunjukan buku lama yang dijual di Pasar Buku dan Seni Velodroom, Malang, Jawa Timur. Tempo/Eko Widianto
Beberapa kolektor lain bisa menemukan buku dan arsip langka tanpa perlu menyusuri deretan kios tua. Mereka juga tak perlu menggeledah dan membongkar tumpukan buku lawas yang kerap berbau dan penuh debu. Beberapa pemburu dokumen tua ini telah bertukar nomor telepon dengan para penjual.
Salah satunya Dede, 52 tahun, pemilik sekitar 20 ribu koleksi buku, majalah, komik, arsip, dan koran arkais yang berdomisili di Cimanuk, Bandung. Ketertarikannya pada koleksi literatur ini berawal dari kesenangannya mengumpulkan kartu pos pada 2006.
Saat itu dia mulai menjalin komunikasi dengan para penjual buku tua di Pasar Buku Palasari dan Lapak Buku Bekas Cikapundung. Awalnya dia bahkan bisa menghabiskan banyak waktu untuk blusukan ke sejumlah bandar barang rongsok di kawasan Cikaso, Cigadung, Arcamanik, dan Buah Batu.
Seiring dengan waktu, para penjual ini mengirimkan pesan pendek atau menelepon ketika menemukan buku atau arsip lawas yang menarik. Bahkan hampir setiap hari tukang loak bergantian datang ke depan rumahnya menawarkan buku atau cetakan dokumen antik. “Lama-lama jadi seperti penyakit, menyebar. Bahkan sekarang penjual di Yogyakarta juga sering menawarkan dan mengirimkan buku,” katanya.
Dede lebih tertarik pada cetakan lawas yang memuat banyak foto atau ilustrasi. Koleksinya sangat beraneka ragam, dari buku kereta api Indonesia, sejarah kebudayaan Jawa, geologi, hingga majalah dan komik. Dua arsip yang cukup tua adalah koran Sin Po dan majalah D’Orient edisi 1920-1940, masing-masing sekitar 200 eksemplar. “Kalau dikonversi nilainya sekarang sekitar Rp 100 juta,” tuturnya.
Namun tak semua pemburu bersedia membeli mahal buku atau arsip yang menyandang status langka. Penulis dan ilmuwan sastra, Seno Gumira Ajidarma, salah satunya. Dia mengatakan masih sering mencari dan membeli dokumen tua terutama untuk bahan tulisan dan penelitian. Beberapa kios yang kerap menjadi destinasinya adalah Galeri Buku Bengkel Deklamasi dan lapak buku mburi atau belakang Sriwedari, Solo, Jawa Tengah. Meski demikian, pemilik 6.000-an buku dan dokumen ini enggan menyandang predikat kolektor.
Dosen Institut Kesenian Jakarta ini membeli buku untuk memperkaya pengetahuannya. Dia enggan membeli buku langka yang dipatok pedagang dengan harga tinggi. Meski memiliki nilai historis, menurut dia, kriteria langka sebuah buku atau dokumen bukan hanya tuanya usia dan keterbatasan jumlah cetakan. Banyak naskah lawas yang saat ini sudah disadur, dikutip, dirangkum, dan dicetak ulang.
Deni Rachman pelapak buku dari Lawang Buku di antara koleksi buku-buku di rumahnya di Bandung, Jawa Barat, 21 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia
Dia juga menilai tak sepadan membeli mahal sebuah naskah tua yang sudah rusak, berdebu, dan lapuk. Pada dasarnya, sebuah buku memiliki nilai karena pembeli bisa mendapatkan isinya. Hal ini juga yang membuat dia heran menemukan beberapa karya awalnya dijual dalam kemasan bingkai kaca di toko barang antik. “Bagaimana pembeli bisa baca buku itu? Saya tetap berpikir buku itu yang terpenting isinya,” kata Seno.
Salah satu contoh koleksinya yang menarik adalah Katalog Kantor Hak Paten. Pemberian rekannya ini berisi logo dan identitas sejumlah jenama produk lawas yang populer di era tersebut. Dokumen ini memiliki nilai karena memberikan gambaran yang sangat luas tentang kondisi ekonomi, minat, gaya iklan, dan kehidupan sosial masyarakat.
Dia pun membeli buku dengan topik beraneka ragam, seperti cara bertinju dan cara bermain kartu. “Banyak yang kemudian bisa menjadi bahan saya menulis kolom dan lainnya,” ujarnya.
EKO WIDIANTO (MALANG), PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), AHMAD FIKRI, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo