Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bertahan di Tengah Sepi

Penjualan toko buku tua terus menurun seiring perkembangan teknologi. Beberapa pedagang beradaptasi dengan membuka toko di platform digital.

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Toko buku tua di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang mulai sepi pengunjung.

  • Beberapa pedagang mulai membuka toko buku online di sejumlah marketplace.

  • Pedagang juga menempuh strategi lain dengan menawarkan langsung barang dagangan kepada pelanggan atau kolektor.

SEPARUH toko buku di sepanjang Jalan Kahar Muzakir, Terban, Yogyakarta, tutup. Gembok masih tergantung, mengunci pintu dan jendela toko-toko tua selebar sekitar tiga meter tersebut. Hanya beberapa penjual yang masih bertahan dan rutin menjajakan buku serta dokumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cipto Bintoro, 60 tahun, pemilik Kios Buku Tantular, tampak tak tergesa-gesa saat membuka pintu dan jendela kios dari kayu berlapis seng berwarna hijau menjelang petang, Selasa, 17 Mei lalu. Ia seolah-olah tak khawatir kehilangan pembeli yang bisa tiba-tiba datang. “Sudah tak ramai. Hanya ada satu-dua orang yang datang,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kios Buku Terban—sebutan untuk deretan kios itu—sempat menjadi pusat buku pelajaran dan bacaan di Yogyakarta selain Shopping Centre atau Toko Buku Taman Pintar. Saat ini beberapa koleksi dan stok buku pelajaran bahkan sudah disisihkan karena para pedagang yakin tak akan laku. Pelajar sudah lebih banyak menggunakan buku digital atau cetakan penerbit lain.

Menurut Cipto, para pedagang lebih mengutamakan penjualan buku bertema khusus, seperti filsafat, hukum, sastra, dan ilmu lain. Mereka tetap berharap ada seniman, mahasiswa, atau dosen yang berburu buku dan dokumen kuno yang diyakini bernilai jual tinggi.

Cipto memiliki cetakan pertama buku Presiden Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, meski koleksi itu sudah menjadi sarang semut merah. Ia juga punya beberapa buku lawas lain, seperti Alexis Lichine’s New Encyclopedia of Wines & Spirits karya Alexis Lichine dan William Fifields terbitan 1977, yang beberapa halamannya bolong disantap rayap.

Para pedagang di Pasar Buku & Seni Velodroom, Malang, Jawa Timur, mengalami hal sama. Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Buku Hudiyana Hutama mengatakan hanya 45 dari 75 kios buku yang masih bertahan. Minat masyarakat membaca buku mulai turun beberapa tahun terakhir. Kondisi memburuk saat pemerintah membatasi kegiatan masyarakat di masa pandemi Covid-19.

Pelajar dan pencinta buku mulai terbiasa menggunakan e-book. Mereka pun merasa nyaman menggunakan aplikasi digital atau marketplace untuk berbelanja buku. “Saya bertahan dengan menjual buku juga secara daring sejak 15 tahun lalu. Meski toko sepi, pembeli online terus ada, bahkan dari berbagai daerah,” ujarnya.

Pemilik lapak buku di Cikapundung Barat, Bandung, Simon, 63 tahun, mengatakan omzetnya turun sejak 2018. Padahal kios bukunya berada di pusat keramaian dan wisata. Ia mengatakan tak bisa berjualan buku di platform digital. Ia memilih menjual secara langsung kepada kolektor atau pelanggan. Ia mengaku sering menawarkan buku antik ke politikus Partai Gerindra, Fadli Zon.

Tren serupa terjadi di Jakarta. Kios Buku Murah di lantai dasar Blok M Square, Jakarta Selatan, awalnya dipenuhi sekitar 100 pedagang gusuran pasar buku Kwitang dan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Perkembangan teknologi digital dan pembatasan kegiatan selama masa pandemi membuat beberapa puluh kios saja yang bertahan. "Masih banyak yang belum kembali buka," ucap Ali, 30 tahun, penjual seri buku ilmu pengetahuan dan motivasi.

Pemandangan serupa bisa ditemukan di lantai tiga gedung Pasar Kenari, Jakarta Pusat. Di lokasi itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun Jakbook dan sejumlah bilik toko yang menjual buku sejak April 2019. Belum sempat ramai, jumlah pengunjung tergerus hingga 70 persen akibat pandemi.

Padahal Jakbook dan kios buku Pasar Kenari menawarkan pengalaman berbelanja modern. Pembeli tak akan menemukan tumpukan buku berdebu dan beraroma apek. Hampir semua kios menata rapi koleksi masing-masing di rak dan meja. Ruangan berpenyejuk udara terjaga kebersihannya. Pengunjung pun bisa bersantai karena toko dilengkapi kafe dan minimarket. "Pasar ini sepi sejak awal karena kurang promosi," tutur seorang pemilik kios, Annisa, 40 tahun.

Seniman teater Jose Rizal Manua mengatakan kios buku tua miliknya, Galeri Buku Bengkel Deklamasi, dulu bisa dikunjungi lebih dari 20 calon pembeli tiap hari. Sejak masa pagebluk, kios di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu hanya didatangi sekitar 10 orang sebulan. “Omzet turun bisa mencapai 80-90 persen. Kondisi saat ini sangat sulit,” kata Jose, yang bersama sejumlah rekannya merintis toko daring dan jejaring di media sosial.

AHMAD FIKRI (BANDUNG), PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), EKO WIDIANTO (MALANG)   
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus