Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Raksasa dalam Intaian

Didi, perusahaan taksi daring raksasa Cina, bersiap masuk bursa saham Amerika Serikat. Dibayang-bayangi pengawas pasar Cina.

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Didi, perusahaan taksi daring raksasa Cina, akan menawarkan saham perdana ke bursa saham New York.

  • Ini akan menjadi perdagangan saham perdana terbesar oleh perusahaan Cina sejak Alibaba Group milik Jack Ma.

  • Regulator pasar Cina sedang menyelidiki dugaan monopoli oleh Didi.

CHENG Wei, pendiri dan Chief Executive Officer Didi Global Inc, perusahaan taksi berbasis aplikasi asal Cina, bakal menjadi pengusaha superkaya pada umur 38 tahun jika perusahaannya melantai di bursa saham Amerika Serikat. Rencana penawaran saham perdana (IPO) Didi di bursa New York pada Rabu, 30 Juni mendatang, disambut antusias oleh para investor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Didi berharap dapat menggalang dana hingga US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.445 triliun melalui IPO. Ini akan menjadi penjualan saham perdana terbesar di Amerika oleh perusahaan Cina sejak Alibaba Group milik Jack Ma masuk bursa pada 2014.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam suratnya yang menyertai dokumen tersebut, Cheng Wei memaparkan rencananya merambah ke bisnis baru, termasuk menembus pasar Eropa. “Kami bercita-cita menjadi perusahaan teknologi global sesungguhnya,” tulis Cheng dan Jean Liu. “Kami juga hendak meluncurkan berbagai bisnis yang sesuai dengan pengalaman teknologi dan operasional kami serta keuntungan dengan membangun pasar online untuk memperbaiki kehidupan masyarakat kota.”

Didi menjalankan berbagai bisnis transportasi, dari taksi daring, sewa mobil, berbagi penumpang, hingga kendaraan listrik. Perusahaan itu beroperasi di 15 negara dan memiliki lebih dari 493 juta pengguna aktif. Didi mendominasi pasar Cina setelah bermerger dengan Kuaidi, yang didukung Alibaba, dan Uber cabang Cina.

Perusahaan ini dinilai berkontribusi besar dalam pemulihan bisnis pada masa pasca-pandemi Covid-19, yang turut mendorong Cina menjadi negara pertama yang berhasil memulihkan ekonominya. Pendapatan Didi mencapai 42,2 miliar yuan atau hampir Rp 94,5 triliun pada triwulan pertama tahun ini, dua kali lipat dari triwulan akhir 2020.

Keberhasilan Didi dirintis oleh Cheng Wei, yang menilai dirinya lahir pada waktu dan tempat yang tepat. Cheng lahir pada 1983 di Jiangxi, kota kecil di selatan Cina. Dia kemudian mengambil jurusan administrasi di Beijing University of Chemical Technology dan lulus pada 2004. Pekerjaan pertamanya adalah asisten direktur sebuah perusahaan pijat kaki. Setahun di sana, Cheng merasa kurang cocok dengan pekerjaannya.

CEO Didi Chuxing Cheng Wei di Beijing, Cina 16 November 2020. REUTERS/Yilei Sun/File Foto

Saat itu Internet sudah masuk Cina dan dunia mulai berubah mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Cheng melamar ke Alibaba, yang didirikan Jack Ma pada 1999. Dia diterima di bagian penjualan Alibaba, lalu pindah ke divisi Alipay, anak usaha Alibaba, hingga menduduki jabatan manajer wilayah. Saat itulah dia menyaksikan bagaimana Alibaba mengubah bisnis dagang dan keuangan Negeri Panda dan menyadari bahwa Internet akan mengubah semua model industri.

Setelah enam tahun di Alibaba, Cheng keluar. Dia lalu mendirikan Beijing Orange Technology dan meluncurkan Didi Dache pada 2012. Perusahaan itu berkembang pesat dan pada tahun yang sama mendapatkan investasi sebesar US$ 15 juta dari Tencent. Dua tahun kemudian, Cheng mengajak Jean Liu, bekas Direktur Pelaksana Goldman Sachs Asia, bergabung.

“Lokasi itu penting,” kata Cheng dalam wawancaranya dengan Guancha Syndicate, media daring Cina, pada 2017. “Jika saya tidak lahir di Cina, tapi di Jepang, Eropa, India, atau negara Asia Tenggara lain, saya tak akan mungkin punya kesempatan mendirikan perusahaan rintisan online. Bahkan di Cina, jika saya tidak di Beijing, saya sangat mungkin akan kurang berhasil.”

Namun Cheng tak sendirian dalam melihat peluang pasar taksi online. Dia harus berhadapan dengan Kuaidi Dache, yang didirikan pada 2012 dan didukung Alibaba. Persaingan bisnis keduanya pecah. Mereka menggelontorkan ratusan juta dolar untuk menyubsidi penumpang dan membayar bonus pengemudi. Setelah tiga tahun “bakar uang”, akhirnya keduanya bersepakat bergabung menjadi Didi Kuaidi, yang kemudian menjadi Didi Chuxing, pada 2015. Hans Tung, mitra Cheng di GGV Capital sekaligus penasihatnya, kepada Reuters menggambarkan karakter Cheng. “Bila saatnya melakukan kesepakatan, dia sangat praktis.”

Saat itu Uber juga masuk ke Cina melalui perusahaan baru yang didirikan bersama perusahaan lokal. Baidu Inc, perusahaan Internet ketiga terbesar di Cina, menyuntikkan dana segar untuk Uber. Namun, pada saat yang sama, posisi Didi menguat dengan dukungan Apple Inc.

Hans Tung lalu mempertemukan Cheng Wei dengan Garrett Camp, salah satu pendiri Uber. “Saya mendorong Uber berinvestasi ke Didi karena Cina bukanlah pasar yang mudah ditembus dan terlalu dini bagi Uber,” ujar Hans Tung. Didi akhirnya membeli Uber Cina pada 2016. Penggabungan ini menjadikan Didi sebagai perusahaan taksi daring terbesar di sana.

Badai sempat melanda Didi ketika dua penumpang perempuan dibunuh oleh pengemudi Didi pada 2018. Didi menghentikan sementara layanannya dan memperbarui aplikasinya dengan menambah tombol darurat untuk memanggil polisi serta merekam suara dan video selama perjalanan. Didi juga menggelontorkan dana besar untuk melatih ribuan anggota staf layanan pelanggan serta merekrut dan melatih pengemudi.

Sejumlah orang menggambarkan Cheng Wei sebagai seorang patriot. Bagi Cheng, kemenangannya atas Uber lebih dari sekadar mengalahkan pesaing, tapi juga mengerek martabat bangsa. Ia kerap memberikan semangat kepada karyawannya dengan lagu-lagu patriotik. Salah satunya “Jingzhong Baoguo” (“Setia pada Negeri”) karya Tu Honggang. Lagu ini dipersembahkan kepada Yue Fei, jenderal bangsa Han pada masa Dinasti Song di abad ke-12.

Cheng juga berusaha menunjukkan kontribusinya kepada Partai Komunis Cina dengan merekrut veteran tentara. Didi membuat kesepakatan dengan Kementerian Urusan Veteran untuk merekrut 50 ribu veteran buat menjadi pengemudi. Lebih dari separuh veteran itu adalah anggota partai. “Lebih dari 1 juta veteran terdaftar di aplikasi Didi dan mereka menyumbang 12 persen dari semua pengemudi,” kata Cheng. “Kami ingin memberikan layanan kepada para veteran yang berhubungan dengan pekerjaan.”

Sejumlah pengamat, menurut Nikkei Asia, menilai bahwa Didi sedang memelihara hubungannya dengan pemerintah Presiden Xi Jinping untuk mempersiapkan IPO. Belakangan ini pemerintah memang memperketat pengawasan terhadap perusahaan teknologi. Pada November 2020, otoritas Cina mendadak menghentikan penawaran saham perdana Ant Group milik Jack Ma di bursa saham Hong Kong dan Shanghai.

Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar (SAMR), badan pengawas pasar Cina, memang sedang memperketat aturan antimonopoli. Mereka mengeluarkan panduan yang melarang perusahaan mempermainkan harga serta menggunakan data dan algoritma untuk memanipulasi pasar. Pada Februari lalu, SAMR menjatuhkan denda senilai hampir Rp 7,2 miliar kepada Vipshop, pengecer diskon online, karena kompetisi yang tak adil. Bulan berikutnya lembaga itu menjatuhkan denda senilai Rp 3,3 miliar lebih masing-masing kepada empat platform komunitas belanja online karena menerapkan harga yang tak adil. Keempatnya adalah Chengxin Youxuan milik Didi, Duo Duo Maicai, Meituan Select, dan Nicetuan, yang disokong Alibaba. Menurut penjelasan SAMR kepada Global Times, perusahaan-perusahaan itu menggunakan cara yang tidak patut untuk memeras toko.

Kini SAMR sedang menyelidiki dugaan monopoli terhadap Didi, apakah perusahaan itu menjalankan praktik curang untuk menyingkirkan perusahaan kecil pesaing dan penetapan harga oleh Didi cukup transparan. Menjelang IPO, Didi mengumumkan bahwa mereka sudah memenuhi semua syarat yang diatur oleh SAMR. Namun penangguhan IPO seperti yang dialami Ant Group membayang-bayangi mereka.

IWAN KURNIAWAN (GUANCHA SYNDICATE, REUTERS, GLOBAL TIMES, CNBC, BLOOMBERG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus