Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

911 untuk Australia

Australia dan Amerika Serikat menekan keras Indonesia agar memerangi terorisme. Salah satu cara: pemerintahan George W. Bush menawarkan bantuan militer.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari nanti, Stuart Henderson boleh jadi akan datang lagi ke Bali. Tapi setidaknya dia memerlukan waktu yang panjang untuk menenangkan diri sebelum kembali menginjak pulau wisata di tanah tropis ini. Berasal dari Australia, anak muda berusia 25 tahun ini memilih Bali sebagai tujuan wisata pertamanya ke luar negeri. Tapi nahas datang terlalu cepat. Sabtu malam pekan silam, saat Henderson berada di sekitar Sari Club, klub malam di Kuta itu meledak. Kuta tenggelam dalam api yang melalap apa saja, termasuk tubuh Henderson. Seorang pengendara motor segera melarikannya ke rumah sakit di Kuta. Celakanya, dia diantar ke klinik diabetes di mana tak seorang pun bisa berbahasa Inggris. Padahal, saat itu "... Rambut saya menyala terbakar, kulit lengan saya hampir lepas," ujar anak muda ini. Dia kemudian diterbangkan ke Royal Perth Hospital. Wajahnya masih bengkak, lengan kirinya hangus terbakar sehingga dokter mengambil kulit pinggulnya untuk dicangkokkan. Ini hanya sepenggal dari sekian banyak cerita memilukan yang membuat berang Perdana Menteri Australia, John Howard. Kuta adalah kampung di seberang lautan bagi rakyat Australia—hampir 110 korban yang meninggal adalah warga negara Australia. "Sembarangan, brutal, dan hina. Ini jelas tindakan teror," ujar Howard. Begitu banyak korban berkebangsaan Australia sehingga harian Washington Post menjuluki tragedi di Kuta sebagai Peristiwa 11 September Australia. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tak kalah berangnya. "Serangan ini melanggar standar moral, nasional, dan internasional yang telah kita terima bersama, serta tak dapat dibenarkan oleh ideologi apa pun," kata Annan. Dewan Keamanan PBB segera bersidang dan menelurkan Resolusi No. 1438 yang mengutuk serangan bom di Kuta. Badan itu juga mendesak semua negara anggota PBB agar membantu pemerintah Indonesia mencari dan mengadili pelakunya. Bak gayung bersambut, Presiden Amerika Serikat George W. Bush pun tak kalah kerasnya menguar-uarkan umpatan: "Tindakan pengecut untuk menciptakan teror dan kekacauan." Lalu, seperti anggota koor yang kompak, Bush dan Howard—walau secara tidak langsung—menuding Jamaah Islamiyah yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap bom Bali. Keduanya tak lupa menambahkan bahwa Ba'asyir juga berkoneksi dengan Al-Qaidah—yang selama ini dituding Amerika Serikat (AS) sebagai organisasi teroris internasional. "Bom" itulah yang kini dilemparkan Bush dan Howard ke Presiden Megawati. Menurut Howard, terorisme di Indonesia adalah soal lama. Dan dia mengatakan akan menekan pemerintahan Megawati untuk menemukan dan menghukum orang yang berada di balik serangan bom di Kuta. "Dia (Megawati) sudah berjanji pada saya lewat telepon bahwa ia akan mengambil tindakan keras," ujar Howard. Saat ini Howard menagih janji Megawati untuk membuktikan ucapannya untuk menghabisi kelompok teroris—tak peduli apa ideologi dan agamanya. Howard boleh saja menggeser prasangka agama saat memaki-maki teroris. Kalangan gereja di Australia sudah mengimbau agar pemerintah mereka tidak emosional dan terhasut untuk menjadikan penduduk muslim Australia sebagai sasaran kemarahan. Tapi rakyat sudah telanjur melihat isu terorisme identik dengan Islam. Rumah imam Ahmad Shabbir, guru sekolah Islam di kawasan barat daya Kota Sydney, dilempar orang pada Selasa malam pekan lalu. Untunglah, aksi balas dendam ini tak meluas. Pemerintah Australia kini merasa menjadi target serangan teroris. Kenapa? Ada dugaan hal itu akibat dukungan penuh Australia terhadap rencana AS memerangi Irak. Pemerintahan Howard kini mewanti-wanti warganya agar tidak pelesir dulu ke Indonesia. Bukan sekali dua pemerintah Australia mengingatkan bahaya Abu Bakar Ba'asyir, seorang ustad pesantren di Desa Ngruki di pinggir Kota Solo. Tak lama sebelum bom Kuta meletus, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menyatakan bahwa Ba'asyir adalah pemimpin Jamaah Islamiyah yang memiliki hubungan dengan Al-Qaidah. Di Malaysia dan Singapura, anggota Jamaah itu sedang diburu. Adapun Ba'asyir dengan tenang hidup di tengah pesantrennya tanpa gangguan berarti dari aparat keamanan. Sebelum kejadian berdarah pekan silam, Duta Besar AS Ralph L. Boyce sempat mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa akan ada ancaman serangan teroris di Indonesia terhadap kepentingan Amerika. Secara demonstratif Boyce sebetulnya sudah menunjukkan protes dengan cara menutup kegiatan kedutaan saat dilangsungkannya peringatan tragedi 11 September di Jakarta. Tindakan ini secara tidak langsung mempermalukan pemerintah Indonesia: tak ada jaminan keamanan bagi warga asing di Indonesia. Tapi pemerintahan Megawati rupanya tak banyak memberikan reaksi. Ini yang membuat Menteri Luar Negeri AS Colin Powell frustrasi. Dia merasa tidak terjalin kerja sama yang baik antara AS, yang selama ini dikenal sebagai "komandan antiterorisme", dan Indonesia dalam hal perang melawan terorisme. Menurut Powell, Indonesia amat naif karena mengabaikan peringatan AS tentang ancaman terorisme. Pihak Amerika juga menilai Megawati amat khawatir terhadap reaksi negatif penduduk muslim Indonesia, jika ia bekerja sama dengan AS dalam perang terhadap teroris yang melibatkan kelompok Islam radikal sebagai tersangka. "Sekarang Anda (pemerintah Indonesia) tidak bisa berpura-pura bahwa terorisme tidak ada di negeri Anda," ujar Powell dengan kesal. Presiden Bush bahkan merencanakan berdiskusi dengan Megawati tentang terorisme. "Saya akan menjelaskan secara tuntas kepadanya bahwa kita perlu bekerja sama untuk menemukan semua pembunuh orang-orang yang tak berdosa itu dan menyeret mereka ke pengadilan," kata Bush. Di kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia yang dianggap belum merespons kampanye perang global AS terhadap terorisme. Malaysia dan Singapura sudah menangkapi anggota Jamaah Islamiyah. Pemerintah Filipina mengizinkan 1.000 tentara AS terlibat dalam latihan kontrateroris yang berakhir dua bulan lalu. Tapi pemerintahan Megawati dinilai justru membiarkan Abu Bakar Ba'asyir, yang dituding sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah, hidup damai di pesantrennya. Alhasil, Bush kini tidak malu-malu lagi menekan Indonesia, baik lewat pernyataan maupun tindakan. Pemerintah AS mengisyaratkan akan menarik 100 diplomat yang tak begitu penting dan 250 anggota keluarga mereka dari Jakarta. Lewat situs web-nya, Kedutaan Amerika di Jakarta menyatakan sedang mengevaluasi kembali perluasan kehadiran mereka di Indonesia. Washington juga tak lupa mengingatkan warganya agar menimbang kembali perlu-tidaknya mereka berkunjung ke Indonesia. Penarikan diplomat AS tentu saja akan melemahkan kepercayaan investor dan arus turis asing. Buktinya, pemerintah Inggris, Australia, Jepang, dan beberapa negara lain telah mengeluarkan peringatan perjalanan kepada penduduknya yang akan bepergian ke Indonesia. Mereka dianjurkan benar untuk menghindari kawasan yang padat. Jika perlu sama sekali jangan dulu datang ke Indonesia. Biro perjalanan di Inggris menawarkan pengembalian uang kepada orang yang sudah telanjur membeli paket wisata ke Bali atau mengalihkan perjalanan wisata mereka ke tempat lain. Ancaman Amerika dan aksi teror dianggap belum cukup untuk melibatkan pemerintah Indonesia dalam perang global melawan terorisme. Maka Menteri Colin Powell mengumumkan bantuan baru sebesar US$ 50 juta (Rp 450 miliar) untuk melawan terorisme. Bantuan itu ditawarkan bagi pihak kepolisian dan anggota militer Indonesia yang ingin mengambil beasiswa ke Amerika untuk mempelajari kontraterorisme. Padahal, semasa pemerintahan Presiden Clinton, Amerika menghentikan bantuan militer terhadap Indonesia. Gara-garanya, militer Indonesia dituduh terlibat dalam bumi hangus Timor Timur pasca-jajak pendapat 1999. Situasi mulai berubah sejak naiknya Partai Republik. Paul Wolfowitz, bekas Duta Besar AS untuk Indonesia yang kini menjabat Wakil Menteri Pertahanan AS, rajin mengampanyekan pencairan bantuan militer kepada Indonesia. Partai Republik memang dikenal rajin menjalin hubungan akrab dengan penguasa militer di negara berkembang. Mungkin inilah "buah" tragedi Kuta bagi militer Indonesia: tawaran bantuan itu datang kendati dibungkus oleh perang terorisme. Raihul Fadjri (WPost, AP, International Herald Tribune), Dewi Anggraeni (Melbourne), Lenah Susianty (London), Supriyono (New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus