AHAD pagi, 13 Oktober lalu. Begitu mendengar kabar ada bom meledak di kawasan Kuta, Nyonya Eka buru-buru datang ke lokasi. Orang Bali ini berusaha mencari Made Sujana, suaminya, yang bekerja sebagai petugas keamanan di bar Sari Club di Jalan Legian. Alangkah remuk hatinya ketika dia menemukan tempat hiburan itu sudah berkeping-keping, rata dengan tanah. Suaminya tidak bisa ditemukan, pun sekadar potongan jenazahnya.
Dia juga sudah mengobok-obok tempat penampungan mayat di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Hasilnya nol. Padahal dia ingin sekali mendapatkan kepastian apakah sang suami selamat atau sudah meninggal. "Saya hanya bisa menunggu dan menangis," ujarnya pekan lalu.
Eka hanya salah satu anggota keluarga korban yang digerus rasa gundah. Sampai pekan silam, tim forensik baru bisa mengenali 42 dari 184 korban yang tewas dalam tragedi Bali. Soalnya, kebanyakan tubuh mereka sudah hangus dan tulangnya remuk. Jangankan mengetahui namanya, membedakan antara mayat laki-laki dan perempuan atau antara orang lokal dan bule pun susahnya setengah mati.
Padahal anggota Tim Forensik Disaster Victims Identification (DVI) yang bertugas mengidentifikasi mereka cukup banyak. Selain 36 dokter Indonesia, dalam tim itu ada 15 dokter ahli dari Australia, 1 dari Hong Kong, 1 dari Swiss, 3 dari Swedia, 1 dari Finlandia, dan 5 dari Jepang. Profesor Christopher J.G. Griffiths, ahli forensik Australia, pun dilibatkan.
Segenap jurus telah diterapkan untuk mengenali korban. Mula-mula dipakai metode konvensional. Ciri-ciri visual korban seperti bentuk tubuh dan ciri khusus seperti tato diamati jika jenazahnya masih cukup utuh. Selain itu, dipakai metode odontologi forensik. Dengan teknik ini, gigi korban dicocokkan dengan antemortem, data yang ada sebelum korban tewas. Metode ini dilengkapi dengan analisis rontgen.
Jika upaya itu tak manjur lagi, dilakukanlah cara yang lebih canggih lewat uji deoxyribonucleic acid (DNA), yakni molekul besar dalam inti sel yang menyimpan semua sifat makhluk hidup. Data bahwa seseorang memiliki hidung mancung atau kulit kuning langsat, misalnya, disimpan di setiap DNA yang berada dalam sel seseorang. Karena itu, DNA seseorang pasti berbeda dari orang lain. Seperti sidik jari, temuan ini bisa menjadi alat identifikasi. Kelebihannya, semua bagian tubuh, dari ujung rambut hingga kuku, bisa dicomot untuk melihat data DNA seseorang.
DNA sudah menjadi salah satu alat forensik sejak 1980. Menurut Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekul Eijkman, Jakarta, memang baru tahun itu tersedia komputer untuk melihat DNA seseorang. Temuan DNA juga berguna untuk investigasi kriminal. DNA seseorang bisa ditemukan dalam bagian tubuh yang tercecer, misalnya darah atau sperma seperti dalam kasus selingkuh Presiden Clinton dan Monica Lewinsky.
Kini Tim Forensik DVI menguras keringat untuk mengambil sampel bahan uji DNA dari bagian tubuh mayat, terutama yang mengandung inti sel, antara lain gigi, rambut, dan akar rambut. "Sehancur-hancurnya tubuh manusia, bagian giginya akan tetap utuh," kata Komisaris Besar Polisi Dr. Eddy Saparwoko, ketua tim tersebut.
Sampel DNA itu akan dicocokkan dengan DNA pembanding yang dicomot dari keluarganya. Karena itu, Eddy berharap keluarga korban ikut membantunya buat mempermudah identifikasi. Cara ini telah membuahkan hasil. Paling tidak, kata sang ketua tim, sudah ada satu mayat orang Bali yang dikenali lewat uji DNA. Hanya, penelisikan lewat DNA memang memakan waktu. Nyonya Eka pun mesti bersabar menunggu.
KMN, Sunudyantoro (Denpasar), Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini